Tanah mulai bergerak kesana kemari. Bebatuan mulai berjatuhan dari atas gunung. Kami berusaha untuk berlari ke daerah aman. Namun, tidak ada tempat aman lagi bagi kami. Kami saling memeluk. Suara gemuruh menambah hitamnya pendakian saat itu. Hujan datang. Lengkap sudah buat kami untuk mengakhiri hidup.Â
Aku hanya bisa diam sementara teman-temanku yang lain menangis, ada yang menyerah, ada yang mohon ampun sama bapak ibu mereka. Ada yang seakan menyembah pepohonan di sekitar sana. Kemudia di tengah kacaunya pendakian saat itu, aku tiba-tiba teringat akan perkataan Bambini sebelum aku meninggalkannya. Aku mulai menyalakan radarku, berbisik, memanggil alam, memanggil Bambini. "Bersahabatlah dengan kami.aku berjanji untuk tidak melukai kalian lagi Keluarga Oksigen." Seakan mendengar perkataanku, aku pun semakin berimajinasi bahwa alam telah berbicara tadi lewat bencana yang kami rasakan dan mendengar seruanku. Kini ia tenang, diam dalam pelukan sang bunda. Semua reda, kami saling memeluk kegirangan seakan kiamat telah usai dan akan tidak terjadi.
Aku saat itu berbicara kepada teman-temanku bahwa alam tadi sedang berbicara kepada mereka. Awalnya teman-temanku menganggapku gila, hingga akhirnya mereka menerima alasan masuk akal dariku bahwa penting untuk merawat alam. Aku hanya bisa berkata bahwa alam tidak hanya bisa mendengar tapi juga bisa berbicara kepada kita, jadi jangan sepelekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H