[caption id="attachment_361713" align="aligncenter" width="460" caption="Tommy Soeharto bersama Haji Lulung, Sabtu, 18/04/2015, di acara gala dinner penggemar batu akik, di TMII, Jakarta (detik.com)"][/caption]
Sabtu, 18 April 2015, di Balai Panjang Museum Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, asosiasi Great Stone Nusantara (GSN), mengadakan acara gala dinner untuk para penggemar batu akik, pada kesempatan itu hadir sebagai pembicara putra bungsu sekaligus anak kesayangan mantan Presiden Soeharto (alm.), Tommy Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Dia hadir dalam kapasitasnya sebagai pembina GSN.
Pada acara itulah Tommy mendapat sambutan yang meriah dari peserta pameran, mereka berebutan berjabat tangan dan foto bersama dengannya sambil mengelu-elukannya untuk mau maju sebagai calon presiden (di Pilpres 2019).
Hadir pula atas undangan Tommy, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham “Lulung” Lunggana. Saat acara lelang cincin batu akik milik Tommy Soeharto, Lulung memenanginya dengan harga Rp. 150 juta.
Lulung pun menyatakan langsung kepada Tommy bahwa dia adalah calon pemimpin masa depan bangsa. "Saya cukup bangga dan mengapresiasi Mas Tommy, calon pemimpin bangsa," ujar Lulung (Kompas.com).
Sebelumnya, setelah Prabowo Subianto gagal menjadi presiden, sudah mulai ada suara-suara yang hendak mengangkat Tommy Soeharto untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres 2019 mendatang. Sejumlah elemen masyarakat pun sudah ada yang punya rencana untuk mendirikan partai politik dengan nama Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo). Di antara tujuan pendirian partai ini adalah untuk mengusung Tommy Soeharto menjadi calon presiden pada Pilpres 2019 itu.
Demikian kabar yang disampaikan Presiden Lumbung Informasi Rakyat (Lira), Jusuf Rizal, dalam keterangan beberapa waktu yang lalu (13/03/2015).
Rizal menilai, munculnya partai-partai baru seperti Parsindo ini dipicu oleh kekecewaan rakyat terhadap hasil Pilpres 2014. Di saat yang sama, kinerja pemerintahan Kabinet Kerja yang masih jauh dari harapan rakyat Indonesia (rmol.com). Seolah-olah Tommy Soeharto bisa diharapkan jauh lebih baik.
Tetapi, apakah mungkin Tommy bisa mereka ajukan sebagai calon presiden? Orang-orang ini rupanya lupa bahwa masa lalu Tommy telah menutup rapat-rapat kemungkinan dirinya bisa menjadi presiden, maupun wakil presiden.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menentukan beberapa syarat mutlak untuk seseorang bisa menjadi presiden, maupun wakil presdien. Dari sekian banyak, ada dua syarat yang menutup rapat-rapat peluang Tommy untuk menjadi presiden, yaitu seorang presiden, maupun wakil presiden harus:
- Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya
- Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Tommy Soeharto pernah melakukan tindak pidana yang bukan saja berat, tetapi sangat berat, bukan hanya satu, tetapi sedikitnya tiga kejahatan luar biasa sekaligus! Mana mungkin ia bisa menjadi Presiden? Apakah Haji Lulung juga sudah lupa akan peristiwa itu?
Soeharto lengser dari singgasana presidennya pada 21 Mei 1998 yang sudah diduduki selama 32 tahun, dan meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Kekuasaan dan kekuatannya yang membuat banyak orang, mulai dari rakyat biasa sampai ke pejabat-pejabat tinggi negara takut kepadanya dan anggota keluarganya pun sirnah hampir tak tersisa.
**
Pada 1999, Tommy Soeharto, bersama dengan mantan Kepala Bulog Beddu Amang dan pengusaha Ricardo Gelalel diseret ke hadapan hakim karena terlibat dalam kasus korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT Goro Batara Sakti milik Tommy dan Ricardo, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 96 miliar.
Di tingkat Pengadilan Negeri (Jakarta Selatan) dan Pengadilan Tinggi, hakim membebaskan ketiganya dengan alasan tidak cukup bukti. Tetapi di tingkat kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung, yang diketuai M Syafiuddin Kartasmita menjatuhkan vonis bersalah kepada meraka.
Tommy dinyatakan bersalah dengan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp. 30,6 miliar. Tentu saja anak manja Soeharto yang selama ayahnya berkuasa itu bergelimpangan harta dan kekuasaan itu mendadak merasa harga dirinya dihancurkan oleh keberanian Hakim Agung Syafiuddin Kartasmita itu memenjarakannya dengan kewajiban membayar denda sebesar Rp. 30,6 miliar itu. Melalui kuasa hukumnya Tommy masih berusaha untuk melakukan Peninjauan Kembali, tetapi ditolak. Demikian juga permohonan grasinya kepada Presiden Abrrachman Wahid alias Gus Dur pun ditolak.
Saat hendak dijebloskan ke penjara, Tommy melarikan diri. Statusnya pun menjadi buronan. Di dalam pelariannya itu Tommy yang sangat marah dan dendam kepada Hakim Agung Syaifuiddin itu pun mengontak dua orang pembunuh bayaran. Ia membayar mereka total Rp 150 juta, dan menyerahkan sendiri sepucuk pistol Baretta FN Kaliber 9 mm lengkap dengan pelurunya miliknya untuk membunuh Hakim Agung itu.
Pada 26 Juli 2001 saat hendak berangkat dari rumahnya ke kantornya di Gedung Mahkamah Agung, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung, dicegat di tengah jalan oleh dua orang pembunuh bayaran suruhan Tommy itu bersama dua orang teman mereka. Salah satu dari mereka langsung menghampiri Hakim Agung itu dan melepaskan empat kali tembakan dari pistol milik Tommy itu ke tubuhnya, Syafiuddin pun tewas di tempat, dalam usia 60 tahun. Setelah pembunuhan itu selesai, pistol Baretta itu dikembalikan kepada Tommy.
Para pembunuh bayaran itu berhasil ditangkap, dari merekalah kemudian diketahui yang menyuruh mereka membunuh Hakim Agung itu adalah Tommy Soeharto. Perburuan terhadap Tommy pun semakin ditingkatkan. Akhirnya ia berhasil ditangkap polisi pada 28 November 2001 sore, di tempat persembunyiannya di Jalan Maelo Nomor 9, Sektor IX Bintaro, Jakarta Selatan. Saat penangkapannya, polisi juga menemukan dan menyita sejumlah senjata api, peluru, dan rompi antipeluru milik Tommy.
[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Tommy Soeharto, saat ditangkap polisi di tempat persembunyiannya, 28/11/2001 (asiafinest.com)"]
Selain harus menjalani hukuman penjara untuk kasus korupsinya, Tommy juga diadili untuk kasus pembunuhan Hakim Agung Syafuiddin Kartasmita itu. Pada 2002, hakim menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepadanya. Namun setelah Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, pada Juni 2005, hukuman Tommy itu dikurangi menjadi hanya 10 tahun penjara.
Sejak divonis pada tahun 2002 hingga November 2005, Tommy juga telah mendapatkan remisi sebanyak enam kali dari Presiden SBY, yang jika ditotal berjumlah 20 bulan, termasuk remisi lima bulan pada peringatan Kemerdekaan Indonesia dan 6 minggu pada perayaan Idul Fitri pada tahun 2006. Dengan potongan itu, Tommy yang seharusnya bebas pada 2012, keluar menjadi orang merdeka, meskipun dengan embel-embel “pembebasan bersyarat”, pada 30 Oktober 2006.
Padahal para pembunuh bayaran yang disuruh Tommy untuk membunuh Hakim Agung itu divonis mati!
Demikian rekaman kejahatan masa lalu Tommy Soeharto yang dirangkum dari berbagai sumber (wikipedia, liputan6.com, detik.com, dll).
Dengan dinyatakan terbukti bersalah sebagai otak pembunuhan berencana, Tommy Soeharto itu sudah layak divonis mati! Minimal seumur hidup. Karena yang dibunuh itu pun bukan orang sembarangan, tetapi adalah seorang pejabat tinggi negara, seorang Hakim Agung!
Bandingkan dengan kasus yang serupa, yang terjadinya pun dalam masa waktu yang hampir sama, yaitu kasus pembunuhan berencana atas Bos PT Asaba Boedyharto Angsono. Otak pembunuhan berencana itu adalah mantan anak mantunya sendiri, Gunawan Santosa, yang sakit hati karena dipecat setelah ketahuan menggelapkan uang perusahaan, dan diceraikan istrinya, yang adalah anak Boedyharto Angsono itu.
Gunawan Santosa membayar dua oknum anggota Marinir untuk membunuh mantan ayah mertuanya itu, yang dilaksanakan dengan baik pada 2003. Boedy dan pengawalnya yang juga anggota TNI ditembak mati di tempat parkir Gelanggang Olah Raga Sasana Krida, Jembatan Tiga, Pluit, Jakarta Utara, pada 19 Juli 2003 pagi, saat hendak berolah raga di sana.
Dua oknum marinir itu akhirnya ditangkap, demikian juga Gunawan. Ketiganya yang divonis mati, sempat melarikan diri dari penjara, lebih dari sekali. Salah satu dari marinir itu ditembak mati ketika hendak melawan saat mau ditangkap kembali.
Gunawan Santosa divonis mati dengan alasan dia adalah otak pembunuhan berencana itu. Padahal yang disuruh bunuh itu “hanya” orang sipil biasa, sedangkan yang disuruh bunuh oleh Tommy Soeharto itu adalah seorang pejabat tinggi negara, seorang Hakim Agung!
Hukuman Tommy hanya 15 tahun penjara, kemudian dikorting menjadi 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung, lalu diberi diskon besar lagi oleh Presiden SBY sampai enam kali dalam bentuk remisi yang jika ditotalkan 20 bulan banyaknya, diakhiri dengan “hadiah” pembebasan bersyarat, sehingga praktis Tommy hanya menjalani hukuman penjara selama 4 tahun! Itu pun entah benar-benar berada di penjara selama itu, atau selama itu lebih sering berada di luar penjara? Benar-benar luar biasa istimewanya perlakuan terhadap seorang koruptor dan otak pembunuhan berencana terhadap seorang Hakim Agung itu.
Dan, sekarang ada sebagian masyarakat kita sudah lupa, atau tidak tahu? Termasuk seorang Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang bernama Haji Lulung itu menyatakan Tommy Soeharto adalah seorang pemimpin masa depan bangsa ini? Bahkan mau diusung sebagai calon presiden di Pilpres 2019?
Semoga saja mereka hanya bercanda.
Seandainya pun serius, untung saja ada Undang-Undang yang sudah siap menghadangnya, yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sudah saya sebutkan di atas, yang antara lain mensyaratkan secara mutlak seorang presiden, maupun wakil presiden antara lain harus tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, dan/atau tindak pidana berat lainnya, seperti pembunuhan (apalagi pembunuhan terhadap seorang Hakim Agung), dan tidak pernah dijatuhi hukuman penjara 5 tahun atau lebih.
Tommy Soeharto tak mungkin bisa menjadi Presiden, kecuali Undang-undangnya diubah sedemikian rupa, supaya Tommy memenuhi syarat untuk itu. Suatu hal yang lazim dilakukan di era kekuasaan ayahnya. Hukum dibuat seturut kehendak dan kepentingan kekuasaan dan bisnis mereka.
Kondisi seperti itu tak bakal kembali, jika rakyat Indonesia masih tertarik belajar dari sejarah, atau sejarahlah yang akan menghukum mereka, yang tidak mau belajar darinya. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H