[caption id="attachment_320306" align="aligncenter" width="700" caption="Salah satu sisi Fakfak, di lihat dari gunung (Foto oleh Suherlan Sunarto / panaramio.com)"][/caption]
Fakfak adalah sebuah kota kecil di Papua Barat. Sangat jarang disebut-sebut di media massa nasional. Oleh karena itu ketika kota asal saya itu ikut disebutkan di berkas gugatan hasil Pilpres 2014 oleh kuasa hukum Prabowo-Hatta di MK, sebagai salah satu kabupaten di Papua Barat, tempat terjadinya kecurangan tersruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh kubu pasangan capres-cawapres nomor urut dua, hal itu cukup menjadi pembicaraan hangat di sana. Kalau hanya menyatakan telah terjadi kecurangan di sana, tanpa embel-embel lainnya, pasti masyarakat Fakfak akan biasa-biasa saja mendengar tudingan itu. Tudingan itu menjadi pembicaran hangat di sana karena tim hukum Prabowo-Hatta itu menyebut masyarakat kabupaten Fakfak dengan stigma SARA, ditambah dengan tudingan sebagai masyarakat yang pro-kemerdekaan. Tudingan itu ditujukan kepada mereka yang telah memilih Jokowi-JK.
Fitnah SARA dan Isu Kemerdekaan kepada Masyarakat Fakfak
Tim hukum Prabowo-Hatta menyebutkan Jokowi-JK menang dengan angka telak di Fakfak tersebut karena di daerah-daerah pemilihan yang mayoritasnya beragama Nasrani juga adalah basis “Papua Merdeka,” dan mereka dijanjikan kubu Jokowi-JK bisa merdeka, atau ada kemudahan dialog (untuk itu) jika memilih Jokowi-JK. Sedangkan di daerah-daerah yang mayoritas Muslim dan perkotaan lebih memilih Prabowo-Hatta.
Fakta ini diungkapkan oleh anggota KPU Papua Barat, Filep Wamafma, pada Kamis, 14 Agustus 2014, ketika dia bersaksi di sidang MK. Ketika itu Filep menyatakan kepada Ketua Majelis Sidang MK Hamdan Zoelva, keberatannya terhadap isi berkas permohonan pemohon (Prabowo-Hatta), mengenai uraian masalah di halaman 186 huruf e, karena memberi stigma yang meresahkan masyarakat di Fakfak, dan Papua Barat.