Dalam tulisan saya di Kompasiana edisi tanggal 7 Maret 2011 dengan judul “SBY si Raja Sambal”, saya telah berbicara tentang begitu tidak ada wibawanya SBY sebagai seorang Presiden di mata para bawahannya. Dalam hal ini para menterinya, dan pejabat tinggi negara setingkat menteri. Karena banyak sekali instruksinya yang disampaikannya tidak dilaksanakan. Dibiarkan berlalu seperti angin. SBY pun membiarkannya.
Seolah-olah baru sadar SBY, pada 8 Juli 2011 lalusecara terbuka mengakui bahwa kurang dari 50% instruksi yang disampaikan ke para menterinya yang benar-benar dijalankan. Artinya sebagian besar diabaikan, atau tidak mampu dijalankan.
Ironisnya pengakuan terbuka tersebut justru sekaligus sekali lagi menunjukkan begitu tidak ada wibawanya SBY sebagai seorang Presiden, atasan para menteri itu. Karena tidak pernah ada tindakan apapun dari SBY sebagai atasan langsung para menteri yang tidak menjalankan instruksinya itu.
Di level sebuah perusahaan saja, kalau ada bawahan (staf) yang tidak punya kemampuan yang memadai, atau tidak melaksanakan perintah atasannya (dengan benar) sudah pasti dalam waktu relatif singkat ada sanksi baginya. Mulai dari peringatan sampai dengan pemecatan.
Jelas urusan suatu negara jauh lebih besar dan penting daripada urusan dalam skala suatu perusahaan. Tetapi ketegasan dan kewibawaan SBY sebagai Presiden yang memimpin negara Republik Indonesia dengan lebih dari 230 juta penduduk ini bisa jadi lebih rendah daripada ketegasan dan wibawa seorang direktur sebuah perusahaan biasa.
Sudah sedemikian lama para menterinya “memperlakukan” instruksi-instruksi Presiden seperti itu, tetapi tidak ada satu tindakan apapun yang dia lakukan terhadap mereka. Menegur mereka saja tidak pernah. Atau tidak berani? Atasan kok takut sama bawahan?
Memang pada 1 Maret 2011 SBY pernah menebarkan signal ancaman perombakan kabinet karena menilai koalisi parpol pendukung pemerintah tidak solid. Terutama Golkar, yang terus menyudutkannya. Tetapi ketika Golkar balik mengancam, mengatakan mereka tidak gentar dengan ancaman perombakan kabinet itu. SBY malah balik kucing sendiri. Isu penggantian beberapa menteri yang sempat menghangat akibat pidato peringatan SBY itu pun berangsur-angsur sirnah. SBY pun balik gusar kepada media, dan membantah bahwa dia pernah menyatakan maksudnya mengganti beberapa menterinya itu yang berasal dari parpol “pembangkang”..
Maka tidak heran, para menterinya pun tidak mempunyai rasa segan kepada SBY. Instruksi-instruksi SBY yang dilontarkan seringkali diberi tafsiran macam-macam, yang ujung-ujungnya, ya, tidak dilaksanakan. Dan itu dibiarkan begitu saja oleh SBY.
Sekarang dia baru mengeluh. Tetapi keluhannya itu, sekali lagi, malah mempertegas kemandulannya dalam menghadapi para menteri itu. Karena hal ini sudah berlangsung lama, dan SBY-nya hanya bisa diam, dan kemudian mengeluh saja.
Kalau saya saja punya pegawai seperti ini, sudah saya pecat sejak lama.
Keluhan tentang kinerja para menterinya itu pun dengan berani dibantah oleh beberapa menterinya. Dan, lagi-lagi SBY pun hanya bisa diam.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, misalnya, mengatakan, Presiden SBY tidak menegur mereka. Karena sebenarnya banyak instruksi telah dijalankan dengan baik. Hanya belum dilaporkan saja. Instruksi Presiden yang belum dilaksanakan pun menurut dia hanya 25%. (Kompas, Sabtu 9 Juli 2011). Seolah-olah hendak menantang SBY data siapa sebenarnya yang benar.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa bilang, tidak ada menteri perekonomian yang tidak menjalankan instruksi Presiden. Laporan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tentang realisasi pelaksanaan berbagai instruksi Presiden tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, pun tak mau kalah membantah bahwa instansinya tidak atau lamban dalam menjalankan instruksi Presiden. Padahal, nyata-nyata berbagai masalah TKI yang bertumpuk-tumpuk, ruwet tidak keruan, termasuk TKI-TKI disiksa, diperkosa, dan dihukum mati, dipancung, terjadi di bawah pengawasan dan kewenangan instansinya.
Ketika sapi-sapi Australia yang sudah dibeli dan menjadi milik Indonesia diperlakukan secara sadis sebelum disembelih di Indonesia, Pemerintah Australia bisa langsung melakukan respon yang tegas dan cepat, menghentikan ekspor sapi hidupnya ke Indonesia. Padahal itu “hanya” binatang.
Bagaimana dengan respon pemerintah Indonesia c.q. Kementerian Tenaga Kerja ketika begitu banyak TKI yang diperlakukan sama atau bahkan melebihi sapi-sapi Australia itu?
Guru Besar The Australia National University (ANU) Greg Fealy pun bingung dengan kinerja para menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 ini. Dalam kasus hukuman pancung TKI Ruyati, misalnya, membuat dia tercengang. Tiga Kementerian, yakni Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Hukum dan HAM justru saling melempar tanggung jawab. Tidak ada kementerian yang mengambil inisiatif atas persoalan tersebut (Inilah.com, 9 Juli 2011).
Bagaimana bisa para menteri itu sedemikian berani dengan atasannya? Seorang Presiden? Hal ini hanya mungkin terjadi kalau sosok presiden itu memang tidak punya wibawa, tidak punya prinsip, di mata para menterinya.
Inilah akibatnya kalau politik balas budi, dagang sapi, bagi-bagi kekuasaan sebagai balas jasa dukungan politik terus dipraktekkan. Menteri-menteri itu tidak punya rasa segan kepada Presidennya. Karena mereka itu sesungguhnya dibeking oleh parpolnya. Dan, SBY sangat takut kepada parpol-parpol tersebut. Karena setiap waktubisa kehilangan dukungan politiknya, yang dapat mengakibatkan buruk di parlemen. SBY lebih takut parpol daripada rakyatnya, yang katanya 60% mendukungnya sebagai Presiden untuk kedua kalinya.
SBY tidak mau belajar dari sejarah, bahwa kemarahan rakyat jauh lebih menakutkan daripada kemarahan parpol-parpol itu.
Negara dibuatnya seperti milik pemenang pemilu (pilpres), dan para pendukungnya. Oleh karena itu setelah tokoh tertentu berhasil menang pilpres, dia harus berbagi kekuasaan dengan para pendukungnya. Kekuasaan tersebut harus dibagi, bukan untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara, tetapi lebih untuk dijadikan prasarana untuk memproleh kedudukan, kekuasaan, uang dan harta pribadi, dan kepentingan-kepentingan politik sesaat mereka.
Maka yang terjadi adalah kabinet yang “gemuk-gemuk air” alias secara kuantitas sangat banyak (karena demi bisa menampung hasrat bagi-bagi kekuasaan itu), tetapi secara kualitas rendah. Sangat rendah. Bahkan ada yang sebenarnya tidak punya kemampuan yang memadai, tetapi bisa jadi menteri.
Pejabat menteri jenis ini mungkin lebih cocok menjadi mantri di Puskesmas daripada menteri di kabinet.
Dengan mengakui lebih dari 50% perintahnya tidak dijalankan oleh para menterinya, sebenarnya sama saja dengan SBY mengakui bahwa dia tidak mempunyai kemampuan lagi untuk memerintah. Bagaimana bisa memerintah kalau para bawahannya terus tidak taat seperti itu?
Di perusahaan biasa saja kalau ada manajer atau direkturnya yang tidak becus memimpin anak buahnya perusahaan pasti tidak bisa berjalan memenuhi targetnya. Yang bersangkutan akan dipecat oleh para pemegang sahamnya. Bagaimana bisa dalam skala negara hal ini terus dibiarkan berlarur-larut.
Mengatasi para menteri dan mengurus parpolnya saja tidak becus, bagaimana bisa mengurus negara?
Inilah akibat juga dari pengurus parpol merangkap menjadi pengurus negara (ketua dewan pembina, ketua umum, dan seterusnya). Dalam kondisi biasa saja dia harus memecah konsentrasi antara mengurus parpol-nya dengan mengurus negara. Apalagi ketika parpol-nya penuh dengan kekisruhan seperti yang dialami Partai Demokrat sekarang. Skandal korupsi bertubi-tubi ditambah dengan munculnya faksi-faksi yang saling bersitegang. Masih adakah waktu tersisa dan atensi mereka untuk mengurus negara sesuai dengan jabatannya itu?
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan boleh-boleh saja bilang dia merasa geli dan tertawa dengan hasil lembaga Survei Indonesia pada Juni 2011 lalu, yang menghasilkan angka kepercayaan terhadap SBY merosot tajam sampai hanya tersisa 30 persen lebih, tetapi nanti kita lihat saja, apa akibatnya bagi mereka yang lebih percaya angan-angannya daripada fakta. Dan, terpenting, siapakah yang tertawa terakhir itulah dia pemenangnya.
Ramalan Suku Maya tentang dunia kiamat di tahun 2012 boleh jadi hanya mitos, tetapi kiamat Partai Demokrat dan SBY bisa jadi benar-benar akan terjadi di tahun 2012.****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H