Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teori Konspirasi Koalisi Merah Putih di Parlemen

7 September 2014   07:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:24 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14100231981108567705

[caption id="attachment_322601" align="aligncenter" width="490" caption="Koalisi Merah Putih ketika mengdeklarasikan dirinya sebagai koalisi permanen, 15/8/2014 (Tribunnews.com)"][/caption]

Kalah di Pilpres 2014, kalah di MK, ditolak di PTUN, dan pasti akan ditolak lagi di MA, tidak menyurutkan niat Koalisi Merah-Putih di bawah pimpinan Prabowo Subianto berhenti berupaya menguasai negeri ini, dengan berbagai cara, termasuk mengabaikan hukum, mengkhianati demokrasi, dan merampok kedaulatan rakyat. Lewat kekuatan mereka di parlemen mereka akan melakukan itu.

Salah satu hasrat besar mereka adalah melampiaskan dendam politik mereka kepada Jokowi dan PDIP, dan jika memungkinakn merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Jokowi! Dengan cara membentuk pansus Pilpres 2014 untuk mempermasalahkan kembali kedudukan Jokowi sebagai presiden secara politik, yaitu politik kotor yang menjijikkan. Itu akan dilakukan untuk menggoyang kedudukan Jokowi secara terus-menerus dengan berbagai cara dan rekayasa. Meskipun jelas-jelas kedudukan Jokowi sebagai Presiden sudah sah secara konstitusional. Jika rencana itu benar-benar mereka lakukan, dapat dikatakan mereka juga hendak  mengkhianati Konstitusi Negara (UUD 1945).

Koalisi Merah Putih jelas tidak menghormati hukum ketika mereka tidak menghargai dan mengabaikan putusan MK yang secara tegas telah memutuskan menolak semua permohonan mereka berkaitan dengan Pilpres 2014, yang sekaligus berarti memperkuat keputusan KPU tentang hasil Pilpres 2014 bahwa Jokowi dan JK adalah pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih secara sah konstitusional, dan sesuai dengan UU Pilpres mereka akan dilantik pada 20 Oktober 2014.

UUD 1945 dan UU MK antara lain menyatakan dengan tegas bahwa MK adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang menyidangkan sengketa semua pemilu, termasuk pilpres. Dan, semua putusan MK bersifat final dan mengikat. Berarti setelah keputusan MK, tidak ada lagi upaya hukum apapun yang bisa dilakukan untuk perkara yang sama.

Di mulut saja Koalisi Merah Putih itu menyatakan menghargai dan mengakui keputusan MK itu, tetapi kenyataannya tidak. Buktinya mereka masih mengganggu KPU dengan gugatannya di PTUN (yang sudah ditolak itu), dan sedang dalam proses di MA.

Gugatan hukum tersebut kelihatannya hanya basa-basi Koalisi Merah Putih untuk terus mengganggu KPU. Hal yang serius yang akan mereka lakukan untuk melakukan perlawanan demi perlawanan untuk mengganggu Jokowi-JK adalah melalui cara politik. Padahal baik hukum, mapun politik itu dilaksanakan semata-mata demi kepentingan rakyat banyak, demi kepentingan bangsa dan negara. Tetapi yang dilakukan oleh Koalisi Merah Putih dengan perlawanan politiknya itu sangat jelas semata-mata demi kepentingan dan ambisi politik kelompok mereka, bukan demi kepentingan rakyat. Bahkan, sebaliknya, seperti yang saya sebutkan di atas, demi mencapai ambisi, kepentingan, dan tujuan politik mereka, demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata pada Mei 1998 itu, pun mereka khianati.Ini namanya politik hitam, namanya Koalisi Merah Putih, tetapi perpolitikannya adalah politik hitam.

Sistem dan cara memperoleh kekuasaan yang telah berhasil melanggengkan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun dengan cara meredam demokrasi dan kedaulatan rakyat itu  akan mereka kembalikan. Sebenarnya hal ini sudah mulai terlihat dari apa yang tercantum di manifesto politik Partai Gerindra, yang antara lain berkehendak untuk mengembalikan UUD 1945 kembali seperti sebelum diamandemenkan.

UUD 1945 sebelum diamandemenkan mengatur, pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan dengan sistem perwakilan, yaitu oleh MPR (yang sebagian anggotanya juga adalah semua anggota DPR), bukan langsung oleh rakyat seperti sekarang (berdasakan UUD 1945 amandeman). Juga tidak ada batasan berapakali seorang presiden itu bisa dipilih kembali.  Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh DPRD, dan tidak ada batasan waktu berapakali mereka bisa dipilih kembali.

Para politikus bermental feodal dan korup yang bergabung di Koalisi Merah Putih telah merasakan bagaimana dahsyatnya demokrasi dan kedaulatan rakyat yang sukses memilih beberapa kepala daerah yang sangat berkualitas, seperti Jokowi-Ahok di DKI Jakarta, dan Tri Rismaharini di Surabaya. Dan, yang membuat mereka paling ketakutan, kedua lututnya bergemetaran, dan giginya bergemelatuk adalah kedaulatan rakyat yang berhasil memilih Jokowi sebegai presiden. Sebelum demokrasi dan kedaulatan rakyat itu semakin kokoh, maka sekarang mereka hendak menghancurkannya.

*

Kudeta bukan hanya bisa dilakukan dengan cara kekuatan bersenjata, tetapi juga bisa direkayasa dan dikamuflasekan di parlemen. Hal ini paling memungkinkan ketika kekuatan lawan politik presiden lebih kuat di parlemen. Dari tindak-tanduk kubu Koalisi Merah Putih selama Pilpres 2014 ini berlangsung, hal tersebut bukan sesuatu yang haram untuk mereka lakukan. Hal tersebut pernah terjadi di Paraguay pada 2012. Presiden Fernando Lugo, yang dikenal sebagai presiden yang sangat dekat dengan rakyatnya, sekaligus menjadi musuh utama kelompok kekuatan status quo yang korup, lewat kekuatan rekayasa di parlemen berhasil menglengserkan “Presiden Rakyat” tersebut secara paksa, kemudian mengambil-alih kekuasaan kepresidenan (baca artikel saya: Jangan Sampai Sejarah Fernando Lugo di Paraguay Terulang pada Jokowi di Indonesia)

Kalau di Paraguay, kekuatan politik anti Fernando Lugo itu diduga merekayasa bentrokan berdarah dalam suatu aksi unjuk rasa berkaitan dengan sengketa agraria antara petani dengan polisi, yang menyebabkan tewasnya 10 orang petani dan 7 polisi, maka di Indonesia, bisa saja kelak kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM bersubsidi setelah dia resmi menjadi presiden itu dimanfaatkan seperti itu.

Ketika Jokowi mengumumkan kenaikkan harga BBM bersubsidi, diperkirakan akan memicu demonstrasi (besar-besaran) entah itu murni ataukah direkayasa (bayaran), pada momen inilah rawan terjadi rekayasa kerusuhan yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Seperti di Paraguay, bisa terjadi di antara para demonstran itu, disusupkan orang-orang tertentu yang memancing terjadinya bentrokan berdarah dengan polisi, supaya ada korban jiwanya.

Jika ini sudah terjadi, maka sesuai dengan ketentuan di Pasal 7A dan 7B UUD 1945, Koalisi Merah Putih akan berupaya agar DPR menggunakan hak interpelasi dan hak angketnya, melaksanakan sidang paripurna untuk memutuskan bahwa Jokowi sebagai Presiden harus bertanggung jawab, dan bersalah karena tidak dapat menjalankankan tugas jabatannya dengan baik.

Jika keputusan tersebut berhasil diambil DPR melalui mekanisme voting sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 7B tersebut, maka hasil keputusan DPR itu akan dibawa ke MK. Di MK akan disidangkan berdasarkan permohonan dari DPR itu, untuk menetapkan secara hukum bahwa benar Jokowi bersalah dan harus bertanggung jawab atas kerusuhan yang membawa korban jiwa tersebut.

Jika DPR berhasil menang di MK (MK membenarkan Jokowi bersalah secara hukum), maka hasil putusan MK itu selanjutnya akan dibawa ke MPR. MPR akan melaksanakan sidang paripurna istimewa, dengan mekanisme voting juga, berdasarkan keputusan MK itu akan menetapkan apakah Jokowi sebagai presiden terhadap kesalahannya itu patut diberhentikan (impeachment) ataukah tidak sebagai presiden.

Dengan kekuatan mereka di parlemen dan MPR, Koalisi Merah Putih berharap mereka akhirnya akan menang, dan berhasil melengserkan Jokowi dengan cara seperti itu. Serupa tapi tidak sama: Jokowi bisa di-Fernando-Lugo-kan.

Memang benar, tidak akan mudah untuk memberhentikan (impeachment) presiden (dan wakil presiden), karena harus memenuhi syarat dan prosedur yang sangat ketat sebagaimana diatur di Pasal 7A dan 7B UUD1945 itu, tetapi bukan namanya Koalisi Merah Putih kalau semua upaya seperti itu akan mereka lakukan. Setidaknya itu akan membuat pemerintahan Jokowi-JK semakin repot dan terkuras waktu dan tenaganya menghadapi mereka di parlemen.

Namun, sebelum itu semua terjadi, Koalisi Merah Putih akan menyusun kekuatan-kekuatan politik mereka terlebih dulu agar kekuatan mereka semakin tertancap mantap demi lancarnya rencana tersebut.

Langkah pertama, di parlemen, mereka mengubah dua undang-undang, yaitu UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), dan UU No. 12 Tahun 2008  tentang Pilkada. UU MD3 sudah direvisi, sedangkan UU Pilkada akan segera dibahas minggu depan dengan mengandalkan kekuatan voting.  Padahal revisi itu sama sekali tidak diperlukan, karena dua UU itu sudah sesuai dengan aspirasi rakyat, demokratis dan berdasarkan kedaulatan rakyat.

Dilihat dari waktunya masing-masing dua UU itu direvisi secara terburu-buru itu saja sudah mengundang kecurigaan yang sangat kuat bahwa upaya tersebut hanya demi kepentingan politik pragmatis Koalisi Merah Putih. Sama sekali bukan demi kepentingan rakyat.

Masa jabatan semua anggota DPR periode 2009-2014 ini akan berakhir pada 1 Oktober 2014, ketika setelah menunggu kondisi politik pasca pilpres tidak menguntungkan kubunya, maka segera para politisi Koalisi Merah Putih di parlemen itu bergerak secara terburu-buru untuk merancang dan menyusun kekuatan mereka di parlemen melalaui kedua UU tersebut sebelum masa jabatan mereka itu berakhir.

Cara lain yang bisa mereka lakukan dengan tetap keliharan konstitusional dan tampak lebih bisa berjalan mulus adalah setelah menguasai DPR dan MPR, melakukan perubahan (amandemen) UUD 1945 sebagaimana saya sebutkan di atas. Dengan mengandalkan kekuatan mayoritasnya di MPR dilakukanlah perubahan kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen, yang antara lain mengatur presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, tetapi melalui MPR. Mahkamah Konstitusi, bahkan KPK pun bisa dibubarkan berdasarkan UUD 1945 yang diamandemenkan kembali ke UUD 1945 asli itu. Setelah itu pelengseran paksa Jokowi-JK jauh lebih gampang, karena tidak lagi melalui mekanisme Pasa 7A dan Pasal 7B tersebut di atas, pasal-pasal tersebut dihapus, MK juga tidak ada lagi. Maka MPR berkuasa penuh untuk melengserkan Jokowi-JK melalui rekayasa kasus sebagai alasan untuk melakukan itu. Seperti yang terjadi pada Fernando Lugo di Paraguay pada Juli 2012.

Inilah teori konspirasi Koalisi Merah Putih di Parlemen.

Namun, semua rancangan tersebut bisa saja tiba-tiba berantakan, ketika ada satu atau dua parpol dari Koalisi Merah Putih itu berbalik arah, pindah ke koalisi yang dipimpin oleh PDIP itu.***

Artikel terkait:

Jangan Sampai Sejarah Fernando Lugo di Paraguay Terulang pada Jokowi di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun