[caption id="attachment_365397" align="aligncenter" width="600" caption="Â Mucikari prostitusi online yang ditangkap Polres Metro Jakarta Selatan saat digelandang aparat, Sabtu (9/5/2015). Kompas.com/Kahfi Dirga Cahya"][/caption]
Praktik prostitusi online kembali menjadi fokus pemberitaan lagi setelah Polisi Resor (Polres) Jakarta Selatan berhasil menangkap seorang artis berinisial AA yang diduga terlibat kasus prostitusi online, Jumat (08/05/2015) malam. AA ditangkap bersama RA, di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Selatan.
RA bertugas meminta uang muka kepada pelanggan, sebesar 30 persen dari harga, kisaran Rp 80-200 juta.Praktik prostitusi yang dilakukan RA tergolong sangat privat. Karena hanya menggunakan layanan BlackBerry Messenger (BBM) dan WhatsApp untuk menawarkan PSK kelas tinggi tersebut.
Polres Metro Jakarta Selatan menjerat tersangka RA (32) dengan Pasal 296 KUHPjo 506 KUHP tentang Kejahatan Kesusilaan (Prostitusi). RA diduga secara sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh satu pihak dengan pihak lain.
"Sesuai dengan pasal 296 (KUHP), tersangka menjadikan para artis sebagai mata pencaharian atau kebiasaan. Ancamannya pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah," kata Kasat Reskrim Polres Jaksel, AKBP Audie Latuheru saat dihubungi Kompas.com.
Selain pasal 296 KUHP, RA juga terancam jeratan pasal 506 KUHP dengan ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun. Sebab, RA diduga mengambil keuntungan dari pihak lain menggunakan modus prostitusi.
Pasal 296 KUHP itu selengkapnya berbunyi demikian: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 506 KUHP: Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Khusus mengenai hukuman berupa denda di Pasal 296 KUHP itu, Anda tentu bertanya-tanya: Kok dendanya sangat kecil atau sedikit sekali? Cuma paling banyak lima belas ribu rupiah!? Makan seporsi bakmi goreng di restoran saja, pasti tidak cukup.
Sebenarnya, tidak hanya Pasal 296 KUHP itu saja yang mengatur tentang hukuman jumlah denda yang saking kecilnya sampai terasa sangat tak masuk akal (tidak adil) di zaman sekarang ini, tetapi seluruh pasal, kecuali Pasal 303 dan 303 bis, yang mengatur tentang sanksi pidana yang berupa denda yang tercantum di KUHP itu jumlahnya memang hanya dalam bilangan ribuan sampai puluhan ribu rupiah.
Kenapa bisa begitu, dan apakah memang hakim akan menjatuhkan sanksi denda kepada terdakwa yang divonis bersalah itu hanya sedemikian kecil jumlahnya? Dalam kasus AA dan RA tersebut di atas, apakah jika nanti divonis bersalah RA hanya akan dijatuhi hukuman denda paling banyak lima belas ribu rupiah?!
Itulah salah satu dampak dari sampai sekarang kita masih menggunakan undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana warisan kolonial Belanda, dan sampai sekarang belum juga berhasil menggantikannya dengan undang-undang asli produk bangsa sendiri.
Bayangkan saja KUHP yang aslinya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie itu sudah diundangkan melalui Staatsblad (Lembaran Negara, tempatundang-undang yang telah disahkan diumumkan) Tahun 1915 nomor 732 dan sudah mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918!, atau 97 tahun yang lampau!
Meskipun demikian, di dalam hal-hal tertentu, seperti besaran jumlah ancaman denda di KUHP itu, sudah dilakukan penyesuaiannya dengan perkembangan nilai uang (rupiah) terkini.
Khusus tentang besarannya jumlah hukuman denda di KUHP itu pernah diadakan penyesuaian nilai uangnya dengan perkembangan zaman di kala itu, tetapi itu juga sejak 1960!
Baru pada 27 Februari 2012 terbit Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Perma tersebut ditujukan kepada semua hakim di seluruh tingkatan peradilan di seluruh Indonesia sebagai pedoman yang wajib digunakan saat menjatuhkan vonis hukuman berupa denda kepada terdakwa.
Perma itu hanya dimaksud untuk menyesuaikan perkembangan nilai rupiah sesuai dengan perkembangan terkini, sehingga tercipta suatu rasa keadilan di dalam masyarakat. Dengan Perma itu MA bukan mengubah bagian dari KUHP, karena MA tidak berwenang untuk mengubah undang-undang. Yang berwenang mengubah KUHP adalah DPR dan Pemerintah, yang ironisnya selama 97 tahun ini, pemerintah dan periode DPR-nya sudah berganti-ganti, belum juga berhasil menjalankan tugasnya tersebut.
Yang ada selama ini (sejak 1958) baru berupa berbagai upaya melakukan perubahan terhadap KUHP, sampai dengan sudah adanya Rancangan KUHP, tetapi realisasinya sampai sekarang tetap saja belum. Bahkan untuk periode 2014-2019 ini, DPR yang sekarang harus membahas rancangan perubahan KUHP itu mulai dari awal lagi, tidak menggunakan rancangan warisan dari DPR periode sebelumnya.
Dalam pertimbangannya Perma itu menyebutkan bahwa sejak 1960 belum pernah ada ketentuan tentang penyesuaian nilai uang denda di KUHP, sedangkan jika harus menunggu perubahan undang-undangnya masih memerlukan waktu yang lama, sementara perkara-perkara terus masuk di pengadilan-pengadilan. Maka itu, MA memandang perlu melakukan penyesuaian nilai rupiah terkait dengan ancaman hukuman denda yang ada dalam KUHP tersebut. Penyesuaian yang disebutkan di dalam Perma itu, didasarkan pada harga emas yang berlaku pada tahun 1960, yang dibandingkan dengan saat itu (2012) nilai rupiah telah mengalami penurunan sebesar kira-kira 10.000 kali.
Di dalam Pasal 3 Perma Nomor 02 Tahun 2012 diatur mengenai cara hakim menentukan jumlah hukuman dendanya kepada terdakwa yang dinyatakan bersalah, yaitu:
Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat l dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.
Pasal 303 ayat 1 dan 2, 303bis ayat 1 dan 2 dikecualikan, karena kedua Pasal itu yang mengatur tentang tindak pidana perjudian itu, dianggap ancaman pidananya sudah sesuai dengan perkembangan terkini.
Sedangkan Pasal 4-nya berbunyi: Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan pasal 3 diatas.
Jadi, jika dikaitkan dengan kasus prostitusi dengan tersangka RA tersebut di atas, maka ancaman maksimal dendanya bukan lagi lima belas ribu rupiah, tetapi maksimal seribukalinya, atau lima belas juta rupiah.
Ditinjau dengan perkembangan sekarang (2015), dengan nilai mata uang Rupiah yang terus merosot tergerus devaluasi, jumlah denda maksimal yang lima belas juta rupiah itu pun masih tetap dirasakan kurang, khususnya untuk menimbulkan efek jera, selain ancaman hukuman penjaranya.
Berapa besar jumlah dendan yang lebih pas, para ahli yang berkompeten lebih pas menghitungnya. Mungkin ditambahkan sepuluh kali lipatnya lagi, menjadi maksimal seratus lima pulih juta rupiah? Para ahlilah yang bisa menghitungnya secara tepat. Tetapi, sebaiknya yang ditentukan adalah patokan sistem cara perhitungannya yang bisa fleksibel mengikuti perkembangan nilau mata uang, sehingga tidak perlu harus diubah terus-menerus peraturannya. *****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI