[caption id="attachment_202479" align="aligncenter" width="620" caption="KOMPAS.COM/VITALIS YOGI TRISNA Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar."][/caption] Akhirnya “hanya” ada 5 penyidik Polri yang sampai hari ini tetap pada pendiriannya untuk berkehendak mundur dari institusinya, dan lebih memilih bekerja di KPK. Iming-iming kenaikan pangkat seperti yang telah diberikan Mabes Polri kepada koleganya yang telah kembali ke Mabes Polri tidak mempengaruhi prinsip mereka itu. Proses waktulah yang akan mengfilter siapakah polisi-polisi yang benar-benar berteguh pada prinsipnya itu untuk tetap berjuang bersama KPK memberantas korupsi, dan manakah yang hanya terkena euforia sesaat, kemudian tergiur (?) pada iming-iming kenaikkan pangkat. Tidak seperti biasa, Mabes Polri serentak memberi tanda kenaikkan pangkat kepada semua penyidiknya yang mau kembali dari KPK. Tindakan Mabes Polri (c.q. Kapolri) ini memperlihatkan betapa Polri benar-benar hendak membalas dendam kepada KPK dengan cara menarik semua secara serentak sejumlah besar penyidiknya dari sana agar KPK lumpuh. Ketika ada sekitar 20 penyidiknya yang hendak mengundurkan diri, dan memilih tetap bekerja di KPK, Mabes Polri segera mengiming-iming mereka dengan kenaikkan pangkat! Ini baru pertamakali dilakukan, dan sangat terkesan didesain demikian agar para penyidiknya itu mau kembali. Apakah kenaikkan pangkat itu dibarengi dengan penempatan kerja di bidang yang prospektif bagi karier mereka jangka panjang di Polri? Semoga mereka yang lebih memilih kembali ke Mabes Polri karena iming-iming kenaikkan pangkat itu sudah berpikir panjang perihal tersebut. Merasa masih ada 5 penyidiknya yang tetap bersikeras untuk tetap di KPK, tak mempan diiming-iming kenaikkan pangkat, rupanya membuat Mabes Polri gusar juga. Lewat Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Boy Rafil Amar, pada Rabu, 3 Oktober 2012, di Mabes Polri menyerukan kepada kelima penyidiknya itu agar jika benar-benar ingin mundur dari Polri, harus mengikuti peraturan yang berlaku di Polri. “Kita menghimbau untuk bisa memahami, mengingat-ingat kembali aturan-aturan di internal kita. Jangan lupa dengan aturan-aturan yang ada. Sampai kapan pun kita menjadi anggota Polri ketentuan itu berlaku bagi kita,” papar Boy. Boy menegaskan, tidak pernah ada paksaan untuk berkarir di kepolisian. Setiap anggotanya pun diberikan hak jika ingin keluar dari Korps Bhayangkara. Menurut Boy, hingga kini Polri belum mendapatkan pernyataan resmi terkait pengunduran diri anggotanya. Jika benar ingin mengundurkan diri, Polri meminta mereka mengajukan permohonan mengundurkan diri kepada pimpinan Polri. Secara terpisah, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, lima penyidik Kepolisian yang dipekerjakan di KPKdalam proses alih status menjadi pegawai tetap. Proses alih status ini sudah diatur Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia di KPK. PP ini merupakan turunan UU KPK yang secara khusus mengatur sistem sumber daya manusia di KPK (Kompas.com, 03/10/2012). Boleh-boleh saja, bahkan memang harus demikian Mabes Polri mengingatkan anggotanya sebagai prajurit yang baik, harus selalu patuh kepada peraturan yang berlaku di Kepolisian. Termasuk mematuhi prosedur pengunduran dirinya dari Kepolisian. Saya yakin 5 orang penyidik Polri yang memilih tetap berkarier di KPK akan dengan senang hati memenuhi prosedur tersebut. Mungkin yang membuat mereka masih belum menjalani prosedur tersebut adalah mereka masih menuggu adanya kepastian tentang ditetapkannya mereka sebagai pegawai penyidik KPK tetap oleh KPK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia di KPK itu. Semoga Mabes Polri juga konsisten dengan peratutan internal Polri dan pernyataannya bahwa tidak akan mempersulit anggotanya yang mau mundur dari Kepolisian, dan bekerja seterusnya di KPK. Berbicara tentang seruan Mabes Polri agar anggotanya di KPK itu mematuhi peraturan yang berlaku, kita bertanya kepada Mabes Polri, apakah Mabes Polri sendiri, para petingginya, Jenderal-Jenderalnya, termasuk Kapolri sendiri telah memberi teladan yang baik kepada para anggotanya yang berpangkat jauh di bawah mereka? Rata-rata penyidik Polri di KPK itu berpangkat Komisaris Polisi (Kompol). Teladan untuk patuh pada hukum, bukan hanya peraturan internal Polri, tetapi hukum nasional RI? Ketika Irjen (Pol) Djoko Susilo membangkang terhadap UU, yang mewajibkan dia memenuhi panggilan dari KPK untuk diperiksa sebagai tersangka, pada Jumat, 28 September 2012 lalu, adakah Mabes Polri memberi seruan yang sama kepada Irjen Djoko Susilo itu untuk patuh pada UU? Yang ada, Mabes Polri menjawab bahwa perihal tersebut adalah urusan pribadi Djoko Susilo, Mabes tidak ikut-ikut. Padahal, Djoko Susilo itu masih polisi aktif, berpangkat Jenderal lagi. Kasus Djoko Susilo itu jelas sangat jauh lebih serius daripada 5 orang penyidik Polri yang masih bertahan di KPK itu. Kelakuannya itu malah semakin merusak nama Polri. Bagaimana pula teladan yang telah diberikan Mabes Polri, termasuk Kapolri Jenderal Timur Pradopo, yang nekad menyerobot kewenangan KPK dalam menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri itu? Yang membuat KPK menjadi sangat terganggu dalam menjalankan tugas penyidikannnya itu. Polri telah merekayasa kasus tersebut menjadi “dualisme kewenangan menyidik,” diikuti dengan penarikan sekaligus 20 orang penyidiknya dari KPK itu. Padahal UU KPK dengan tegas, dan lebih dari jelas menyatakan bahwa dalam kasus korupsi KPK-lah yang paling berwenang menyidiknya. Memang, Kepolisian dan Kejaksaan juga adalah penyidik, tetapi UU KPK merupakan lex specialis derogat legi generali¸yang memberi kewenangan lebih dan khusus kepada KPK untuk menyidik kasus korupsi. Khusus kasus korupsi. Justru, untuk keperluan itu diberlakukan UU KPK. UU dengan jelas menetapkan apabila KPK telah menyidik suatu kasus korupsi, maka Kepolisian dan Kejaksaan tidak berwenang lagi. Dalam kasus dugaan korupsi simulator mengemudi itu, diketahui bahwa KPK-lah yang pertamakali menyidik kasus itu dan menetapkan tersangkanya. Baru kemudian Polri menyusul dengan versi mereka. Bahkan UU itu juga menetapkan bahwa KPK dapat mengambil-alih penyidikan suatu kasus korupsi yang sedang disidik Kepolian, maupun Kejaksaan. Apabila KPK hendak mengambil-alih penyidikan tersebut, Kepolisian dan Kejaksaan harus “mengalah”, dengan menyerahkan wewenang penyidikan tersebut kepada KPK, berikut semua berkas penyidikan yang diperlukan. Ini menunjukkan bahwa betapa istimewanya kewenangan yang diberikan UU kepada KPK dalam menangani kasus korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan harus mematuhinya. Di gambar di atas, terlihat Brigjen Boy Rafil Amar duduk membelakagi sebuah banner besar yang berisi pesan kepada masyarakat Indonesia: “AWASI, KOREKSI & TEGURLAH KAMI!” Pesan itu sudah dilaksankan oleh segenap masyarakat Indonesia. Oleh segenap tokoh masyarakat, tokoh lintasagama, dan tokoh akademisi. Mengingatkan, dan menegur Polri, entah sudah berapa kali, agar mematuhi hukum, dengan menyerahkan sepenuhnya kewenangan menyidik itu kepada KPK, dan janganlah buru-buru dulu menarik kembali penyidiknya dari KPK. Apalagi serentak sampai 20 sekaligus. Tetapi, kenapa Mabes Polri seperti pura-pura tuli? Mabes Polri jangan hanya mau menegur 5 orang penyidiknya yang masih bertahan di KPK itu, tetapi tolong dengarkanlah suara rakyat, seperti kalian sendiri minta: AWASI, KOREKSI & TEGURLAH KAMI! Tentu ini bukan sekadar slogan kosong belaka, bukan? Berikut adalah peraturan hukum yang sudah sangat jelas menunjukkan KPK adalah satu-satu lembaga yang khusus dan paling berwenang menangani kasus korupsi: Pasal 6 huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 11 UU KPK: Dalam melaksnakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a.Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Bahkan terhadap suatu kasus korupsi yang sedang disidik dan dilakukan penuntutan oleh Kepolisian atau Kejaksaan, KPK punya wewenang untuk mengambil-alihnya. Pasal 8 ayat (2): KPK berwenang mengambil-alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Pasal 8 ayat (3): Kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Pasal 9, mengatur tentang alasan-alasan yang membuat KPK berwenang mengambil-alih kasus korupsi dari tangan kepolisian atau kejaksaan. Antara lain, karena laporan masyarakat tentang kasus korupsi tidak ditindaklanjuti, proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut, dan seterusnya. Pasal 50 ayat (1): Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada KPK paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Pasal 50 ayat (2): Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan KPK. Pasal 50 ayat (3):Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
***
Artikel lain yang terkait:
- Menelanjangi Sikap DPR (dan Pemerintah) dalam Revisi UU KPK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H