[caption id="attachment_332913" align="aligncenter" width="620" caption="Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (Tempo.co)"][/caption]
Ignatius Ryan Tumiwa (48) pada Agustus 2014 sempat membuat geger kita, karena pada saat itu dia mengajukan uji materi Pasal 344 KUHP terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 344 KUHP itu adalah mengenai ancaman hukuman penjara bagi mereka yang melakukan euthanesia.
Ryan mengharapkan MK mengabulkan permohonannya itu dengan mencabut ketentuan pidana terhadap orang yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaannya sendiri. Menurut Ryan adalah hak asasi setiap manusia untuk menghilangkan nyawanya sendiri, termasuk dengan bantuan orang lain.
Motivasi Ryan mengambil langkah hukum itu adalah supaya dia bisa bunuh diri dengan cara disuntik mati oleh dokter. Dasarnya karena dia sudah sangat depresi menghadapi masa depannya yang suram. Sudah lebih dari setahun dia belum memperoleh pekerjaan, padahal alumnus FISIP UI Tahun 1998 ini mempunyai gelar S-2 jurusan Ilmu Administrasi, dengan IPK 3,32. Termasuk tinggi, apalagi kuliahnya di UI.
Untuk mengekspresikan depresinya itu Ryan juga menampilkan dirinya ke publik dengan memperlihatkan ijazah S2 jurusan Ilmu Administrasi FISI UI itu. Itulah cara Ryan mengeksplotasikan kekecewaannya secara maksimal. Betapa tidak kuliahnya di UI, Sarjana S-2, IPK tinggi, tapi apa hasilnya? Sia-sia, tak terpakai sama sekali, pengangguran!
[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="Ryan Tumewa (Tribunnews.com)"]
Padahal tetangga-tetangganya pun mengatakan Ryan adalah sosok yang genius. Ia pernah menjadi dosen. Kehidupannya mulai menjadi tak menentu setelah orang tuanya meninggal dunia. Frustrasi, depresi, berhenti kerja, mencari kerja, usaha sendiri, semua gagal.
Ryan memang genius secara akedemik, kemampuan kognitifnya tak diragukan lagi, buktinya, ya, mampu lulus menempuh kuliah sampai S-2 di UI dengan IPK tinggi 3,32 itu. Tetapi, apakah semua itu mampu diaaplikasikan dalam dunia kerja yang nyata yang menuntut setiap orang harus bisa serbakreatif, inovatif, perubahan-perubahan yang serbacepat, adaptif, kerja keras, praktis, dan sebagainya?
Sebelum ke MK, dalam depresinya itu, Ryan sudah ke Komnas HAM mengadu nasibnya, tetapi ditolak karena dianggap salah alamat. Dari Komnas HAM dia ke Dinas Kesehatan minta diberi tunjangan, karena menganggap dirinya orang miskin layak menerima tunjangan tersebut. Tetapi di Dinas Kesehatan, Ryan ditolak juga. Kepada dia dijelaskan bahwa tunjangan kemiskinan itu hanya diberikan kepada orang yang benar-benar miskin, yang tunawisma, bukan seperti dirinya.
Dari Dinas Kesehatan, Ryan ke MK, juga gagal. MK menolak permohonan uji materinya itu. Hakim MK malah menyarankan dia ke psikiater untuk mengobati depresinya itu. Saran itu rupanya tidak dituruti Ryan. Cita-cita terakhirnya malah hendak membuang dirinya ke Planet Mars, mengikuti program NASA yang konon akan mengirim sejumlah orang ke Planet Merah itu (Tribunnews.com)
Kisah memilukan Ryan ini dijadikan salah satu contoh kasus oleh Rhenald Kasali, Guru Besar FEUI, pendiri dan pemilik "Rumah Perubahan", praktisi manajemen dan penulis sejumlah buku perubahan dan manajemen terkenal, di dalam bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? (Mizan, 2014).
Merespon kasus Ryan ini, Rhenald menulis (halaman 2-3): “Membaca berita seperti itu membuat saya miris. Sudah lama saya komplain terhadap dunia yang saya geluti. Saya komplain ketika melihat banyak akademisi yang mengukur kecerdasan mahasiswa semata-mata dari ujian tertulis, buku tes, dan paper. Bahkan saya sering memergoki mahasiswa yang mendapat nilai A dari kelas marketing sebelumnya, yang kini duduk di kelas saya (saya mengajar International Marketing), tetapi tidak mencerminkan kualitas A yang sesungguhnya.”
Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan genius, dapat nilai A di kelas marketing, tetapi bicaranya saja ketus, berpakaian sembarangan, ‘packaging’-nya buruk, image-nya lebih dikenal sebagai siswa yang ‘aneh’, dan – maaf – ‘membosankan’. Kok anak pintar begitu?...”
“Bukankah marketing itu berarti kepuasaan pelanggan, melayani orang lain dengan baik, mengerti cara melakukan branding, packaging, dan membidik pasar? Mengapa tidak kau tanam semua itu di dalam dirimu? Mengapa hal-hal seperti itu hanya kau simpan dalam otakmu? Inilah perbedaan antara tahu dan bisa.”
“Banyak orang berpikir, label-label itu ‘akan bekerja untuk saya’. Padahal pendidikan yang benar mengajarkan ‘jangan jual label-label itu’, melainkan ‘juallah apa yang engkau miliki, yaitu dirimu sendiri’. Ya, yourself, not your labels. Not your UI, your ITB, atau your UGM. Not your FEUI, or TI-ITS. Bahkan not your Harvard-MBA.”
“Sarjana Kertas”
Saya sedang membaca buku terbaru dari Rhenald Kasali itu, ketika Presiden Jokowi mengumumkan 34 menterinya yang bergabung di dalam kabinet yang dia beri nama Kabinet Kerja. Salah satu menterinya itu adalah Susi Pudjiastuti, pemilik Susi Air, dipercayakan Jokowi menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Jokowi memilih Susi, mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha pengepul ikan, yang merintis usahanya itu mulai dari nol sampai memiliki perusahaan perikanan besar, yang kemudian mendirikan maskapai penerbangan dengan nama PT ASI Pudjiastusi, yang kini mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai jenis, seperti Grand Caravan, Piaggio Avanti, dan lain-lain, dengan nama maskapai penerbangan Susi Air, yang menghubungkan banyak sekali daerah-daerah terpencil dengan daerah perkotaan di seluruh Indonesia.
Selain karena faktor tersebut, Jokowi juga pasti memilih Susi karena sosoknya yang sangat ulet, pekerja keras, tipikal “think out the box”, berjiwa seorang pimpinan, yang bercirikan sebagai “driver,” – meminjam istilah Rhenald Kasali -- penemu solusi dan inovasi yang handal.
Karena Jokowi juga seorang pimpinan yang penuh inovasi, berlatar belakang pengusaha, tokoh perubahan, praktisi, dan seorang “driver” maka dalam memilih dan menentukan para calon menterinya, dia tidak terpaku dan terpukau pada latar belakang akademik mereka. Lulusan dari perguruan tinggi dalam negeri atau luar negeri, terkenal atau tidak, sarjana S-1, S-2, atau S-3, IPK-nya tinggi atau rendah, semua itu bukan pertimbangan paling utama, bahkan bisa diabaikan oleh Jokowi. Untuk apa punya setumpuk gelar sarjana, lulusan perguruan tinggi paling terkenal di luar negeri, IPK tertinggi, tetapi sosoknya adalah seperti Ryan Tumiwa yang saya sebutkan di atas? Karena itulah Jokowi dengan tanpa ragu sedikit pun memutuskan memilih Susi Pudjiastuti yang hanya lulusan SMP, tetapi pengalaman kesuksesannya lebih dari segudang banyaknya, dan berjiwa seorang “driver.”
Tetapi, rupanya apa yang ditulis Rhenald Kasali di bukunya yang berjudul Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger? Itu sungguh-sungguh nyata sampai dengan hari ini, yaitu di Indonesia masih sangat banyak, bahkan mungkin mayoritas masyarakat, mereka yang berpendidikan tinggi sekali pun masih berpikir ala “Sarjana Kertas”, yaitu istilah yang digunakan oleh Rhenald Kasali untuk mereka yang begitu mendewa-dewakan gelar kesarjanaan, ijazah dari perguruan tinggi terkenal di dalam, maupun di luar negeri, sehingga rela menempuh segala cara, termasuk membeli ijazah untuk memperoleh gelar akademik itu. Seolah-olah dengan ijazah dan gelar kesarjanaan itu sudah otomatis menjadi jaminan masa depan yang cerah. Seolah-olah makin terkenal dan tinggi gelar kesarjanaannya semakin terjamin masa depannya di perusahaan tempatnya bekerja, atau bahkan karier politiknya.
Ironisnya, kata Rhenal Kasali, di dalam artikelnya yang berjudul Sarjana Kertas (Jawa Pos, 24 Oktober 2014), di banyak perusahaan, termasuk di BUMN-BUMN pun tata kelolanya masih berbasiskan pola pikir ala “sarjana kertas” ini.
Di artikelnya itu Rhenal antara lain menulis: “Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.
Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.
Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.
Padahal, meskipun kemampuan akademik yang tinggi juga diperlukan, tetapi yang paling dibutuhkan itu sebenarnya adalah skilled worker, yaitu tenaga terdidik yang betul-betul terampil, siap kerja, siap berkompetensi, singkatnya siap kerja. Untuk mendapatkan semua itu, dibutuhkan sosok yang tangguh, pekerja keras, inovatif, kreatif, dan seorang yang self driving, yaitu mampu membawa banyak orang ke perubahan-perubahan yang memajukan, bukan menjadi passanger yang hanya mengikuti ke arah mana orang lain membawanya, tanpa perlu kerja keras, bahkan banyak berpikir.
Bila ada pimpinan dengan kriteria demikianlah, maka kita bisa berharap dia akan benar-benar menjadi driver yang terbaik untuk membawa kemajuan bagi bangsa dan negara ini.
Mengolok-olok Pendidikan Formal Susi Pudjiastuti
Namun, sekali lagi, Rhenald Kasali benar dalam menganalisa pola pikir dan sikap kebanyakan dari orang Indonesia, yang sampai saat ini masih banyak berpikir ala “sarjana kertas”. Hal ini dengan jelas terlihat dari reaksi yang meriah dari publik terkait terpilihnya Susi Pudjiastuti yang hanya tamat SMP tetapi dipilih Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di Kabinet Kerja Presiden Jokowi ini.
Banyak yang memandang enteng dan melecehkan kemampuan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri itu, hanya karena dia cuma lulusan SMP, tak peduli dengan sederetan rekam jejaknya yang menganggumkan dalam membangun dari nol kerajaan bisnisnya yang bernama PT ASI Pudjiastusi, yang kini mengoperasikan lebih dari 30 unit pesawat kecil dari berbagai jenis itu dengan nama maskapai penerbangan Susi Air itu. Tidak perduli dengan sosoknya yang terkenal sangat tangguh, inovatif, kreatif, pekerja keras, berjiwa seorang “driver”, dan sebagainya itu.
Terutama dari mereka yang berpendidikan tinggi dengan sederetan gelar akademik dan gelar kepakaran di bidangnya. Meskipun pakar itu sebenarnya hanya pakar sebatas teori. Golongan ini merasa kepintaran dan kemampuan Susi Pudjiastuti yang hanya tamat SMP, masih jauh di bawah mereka, sehingga cukup banyak juga yang memberi komentarnya dengan nada melecehkan Susi. Salah satunya adalah pakar ilmu kelautan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin.
Padahal masyarakat jauh lebih tahu tentang prestasi Susi Pudjiastuti ketimbang pakar ilmu kelautan yang bernama Muslim Muim ini. Saya sendiri baru tahu namanya sekarang, ketika dia memberi komentar yang bernada melecehkan kepada Susi itu. Muslim Muim menilai Jokowi membuat kesalahan besar dengan memilih Susi sebagai menterinya, apalagi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dia mengatakan, posisi-posisi menteri strategis yang terkait pengembangan kemaritiman dalam Kabinet Kerja Jokowi diisi oleh orang yang tidak tepat. Pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, misalnya, dinilai tidak tepat oleh Muslim. Susi memang sukses dalam mengembangkan industri pengolahan hasil laut serta transportasi antar-pulau. Namun, menurut Muslim, itu tak cukup.
"Ngaco mengangkat Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sukses menjadi pengusaha ikan bukan berarti bisa memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," ungkap Muslim kepada Kompas.com, Senin (27/10/2014).
Seolah-olah ingin menunjukkan dirinya lebih pintar dan tahu daripada Susi, Muslim pun mengeluarkan istilah-istilah di bidang teknologi kelautan, yang menurutnya belum tentu Susi mengetahuinya. Seolah-olah mengetahui istilah itu, sama dengan sudah menjadi orang hebat di bidang kelautan dan perikanan. Muslim mempertanyakan apakah Susi paham mengenai teknologi kelautan, marine products economics, coastal processes, dan underwater technology. Menurut Muslim, kepakaran Susi hanyalah tentang penangkapan dan penjualan ikan. Lebih dari itu, tidak. (Kompas.com).
Jelas sekali, cara Muslim Muim menilai kemampuan Susi Pudjiastuti itu bertolak pada cara berpikir yang disebutkan Rhenal Kasali sebagai cara berpikir “sarjana kertas,” hanya menilai kemampuan seseorang dari kacamata akademisi dan aspek kognitifnya semata. Padahal aspek non-kognitif pun sebagaimana disebutkan di atas sangat penting, bahkan bisa lebih penting daripada sekadar pengetahuan akademisi. Itulah talenta yang dimiliki Susi Pudjiastuti yang benar-benar luar biasa, selain dia juga punya integritas, dan rasa tanggung jawab yang tinggi dengan jabatannya itu kini.
Bukti Gelar Sarjana Tidak Berkorelasi dengan Kemampuan di KKP
Dengan talenta, kepedulian dan rasa tanggung jawab yang benar dan sungguh-sungguh itulah, maka baru menjabat kurang dari sebulan Pudji sudah mampu menemukan salah urus yang fatal di KKP.
Yang ditemukan Susi di Kementeriannya itu adalah ternyata selama ini subsidi bahan bakar minyak bagi kapal ikan telah salah sasaran sehingga sangat merugikan negara. Dari total subsidi BBM untuk usaha kapal ikan sebesar Rp. 11,5 triliun per tahun, sebanyak 70 persen dinikmati kapal besar berukuran di atas 30 gros ton.
Menurut Susi, dengan subsidi yang sedemikian besar, ternyata penerimaan negara bukan pajak yang diperoleh dari perikanan hanya Rp. 300 miliar per tahun atau cuma 2,6 persen.
“Itu tidak masuk akal. Jelas negara dirugikan. Ini saya pikir tidak boleh terjadi lagi. Kita ingin mendapatkan hasil yang setara dengan biaya yang kita keluarkan (Harian Kompas, 01/11/2014).
[caption id="attachment_332914" align="aligncenter" width="326" caption="(Harian Kompas, Sabtu, 1 November 2014)"]
Belum masalah pencurian ikan dan modusnya yang diungkapkan oleh Susi setelah Presiden Jokowi menyatakan berdasarkan data-data yang ada kerugian akibat pencurian hasil laut perairan Indonesia ditaksirkan mencapai Rp. 300 triliun per tahun.
Modus pencurian ikan selama ini dilakukan oleh kapal-kapal penangkapan ikan asing yang berizin, tetapi hasil penangkapan ikannya tidak pernah dibongkar di pelabuhan di Indonesia, tetapi dialihkan ke kapal lain di tengah laut (transshipment), yang kemudian oleh kapal itu dibawa ke luar Indonesia.
Modus lainnya adalah kapal penangkapan ikan berbendera ganda sehingga mereka leluasa melarikan ikan dari Indonesia ke luar negeri.
Solusi yang segera dilakukan Menteri Susi Pudjiastuti adalah menerbitkan regulasi yang melarang bongkar-muat ikan di laut (transshipment), melarang kapal/nelayan asing melakukan penangkapan ikan di perairan wilayah Indonesia, dan moratorium izin baru kapal selama enam bulan ke depan, diikuti dengan penertiban kapal, pengkajian zona penangkapan ikan untuk mengetahui zona mana saja yang stok ikannya rendah dan menutup penangkapan tersebut guna pemulihan sumber daya ikannya.
Dari hal-hal tersebut di atas, pertanyaannya, kalau Susi yang hanya tamat SMP itu bisa menemukan fakta salah urus di KKP yang sangat merugikan negara selama sedikitnya 10 tahun itu, dan sudah punya solusi dan segera dilaksanakan dengan menerbitkan regulasi untuk mencegahnya agar tidak terus terjadi, lalu kenapa menteri-menteri kelautan dan perikanan sebelumnya, yang notabene punya gelar kesarjanaan, lulusan dari perguruan tinggi ternama, malah tidak mampu melakukan hal yang sama, sebaliknya justru terus melanjutkan kesalahan-kesalahan yang sama selama 10 tahun ini?
Bagaimana dengan Freddy Numbery yang lulusan Akademi Angkatan Laut? Ir. Fadel Muhammad yang lulusan Teknik Fisika dari ITB, dan yang digantikan oleh Susi, yaitu Sharif Cicip Sutarjo, yang punya deretan gelar akademisi dari S1, S2, dan S3 dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung?
Tiga menteri Kelautan dan Perikanan sebelum Susi ini telah “membuktikan” bahwa tidak ada korelasi antara gelar kesarjanaan, pendidikan tinggi dari perguruan tinggi ternama dengan kemampuan kerja mengelola suatu kementerian.
Dari tiga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini terbukti gelar kesarjanaan, bahkan sampai S-3 bukan jaminan mereka mampu mengurus Kementeriannya secara baik, menyejahterakan nelayan, mencegah dan menindak pencurian ikan, dan mengoptimalkan sumber daya kelautan Indonesia yang mahaluas ini. Sebetulnya, Indonesia ini lebih tepat disebut “Negara Kelautan” daripada “Negara Kepulauan”, karena begitu luas dan sumber daya kekayaan lautnya yang sangat melimpah. Tetapi, ironisnya nelayannya malah hidup dalam kemiskinan. Justru di tangan Susi-lah yang hanya tamat SMP, ada optimisme besar untuk keluar dari persoalan yang sudah sedemikian lama berlangsung itu.
Ada juga fakta lain yang paling aktual dari dalam negeri, yang membuktikan bahwa seorang yang tidak berpendidikan tinggi pun mampu menjadi menteri yang baik. Yaitu Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya seiring dengan berakhirnya masa jabatan SBY sebagai Presiden. Latar belakang pendidikan Dahlan tidak berkaitan dengan BUMN, dia juga tidak bergelar sarjana, dia putus kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel cabang Samarinda. Tetapi banyak orang yang mengakuinya sebagai Menteri BUMN terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
Jika dianalogikan dengan dunia bisnis, bukankah banyak konglomerat kita juga yang tidak berpendidikan tinggi, tetapi mempunyai sampai ratusan perusahaan besar, sedangkan mereka yang berpendidikan jauh lebih tinggi daripadanya, sampai lulusan luar negeri dari perguruan tinggi ternama malah menjadi anak buahnya?
Anda yang sarjana teknologi informasi dari perguruan tinggi ternama di mana saja di dunia, dan merasa paling jago di bidang teknologi informasi, internet, dan gadget, beranikah memandang rendah dan mengolok-olok pendidikan dari Bill Gates (Microsoft), alm. Steve Jobs (Apple), dan Mark Zuckerberg (Face Book)? Tiga orang terkaya di dunia ini semuanya tidak punya gelar sarjana. Mereka putus kuliah, tetapi menjadi orang paling kaya di dunia dari bisnis teknologi dan informasi, gadget, dan internet.
Dari catatan Wikipedia: Kekayaan rata-rata miliarder yang berhenti kuliah, yaitu $9,4 miliar, tiga kali lebih besar daripada miliarder dengan gelar Ph.D., yaitu $3,2 miliar. Bahkan jika orang terkaya kedua di dunia, Bill Gates, yang keluar dari Universitas Harvard dan memiliki kekayaan $59,0 miliar, dikeluarkan dari daftar, para dropout masih memiliki kekayaan rata-rata $5,3 miliar, dibandingkan dengan mereka yang menyelesaikan studi S1-nya, yaitu $2,9 miliar. Menurut laporan terbaru Forrester Research, 20% jutawan Amerika Serikat tidak kuliah.
Pengakuan terhadap Susi Pudjiastuti
Seorang pakar manajemen sekelas Rhenald Kasali pun secara terus-terang mengakui keunggulan Susi itu. Rhenald yang lulusan luar negeri (Amerika Serikat) dengan gelar Phd manajemen, pendiri "Rumah Perubahan", sudah puluhan tahun terkenal seantero Nusantara bahkan sampai mancanegara, mengatakan di artikelnya di Kompas.com tentang Menteri Susi Pudjiastuti: “Khusus tentang Susi, saya bukanlah mentornya. Ia terlalu hebat. Ia justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah ‘self driver’ sejati, ...” Dengan lapang dada, Rhenald mengaku, juga mendengar nasihat-nasihat Susi dalam cara mendidik mahasiswa-mahasiswanya di UI.
Di dalam artikelnya di Kompas.com itu Rhenald menulis penilaiannya tentang Susi Pudjiastuti, antara lain: “Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.
Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting di balik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal. Kemampuan bergerak, berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek, berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang produktif.”
Susi Pudjiastuti sendiri sedikit pun tidak merasa minder dengan latar belakang pendidikannya itu, dan tidak terpengaruh dengan olok-olokan itu. Dia bahkan dengan berani menantang para pakar kelautan yang meragukan kemampuannya itu.
"Kalau kesombongan mereka itu bisa dibuktikan, saya akan ajak kerja sama," kata Susi dalam konferensi pers, di Gedung Mina Bahari III, Jakarta, Rabu (28/10/2014).
Susi juga mengatakan akan lebih memilih menggandeng orang-orang lama di KKP, jika para pakar atau ahli kelautan yang mencibir latar belakang akademiknya itu tidak dapat membuktikan kepakaran mereka. "Kalau cuma koar-koar saja, saya kira di KKP ini banyak orang yang sudah bekerja, and they are very excellent!” (Kompas.com).
Waktu juga yang akan membuktikan siapakah yang benar dan berprestasi tinggi, Susi Pudjiastuti-kah, atau mereka yang sekarang ini mengolok-olok dan meremehkannya karena latar pendidikannya yang rendah itu.
Kepada mereka yang berpendidikan tinggi, yang merasa pakar di bidangnya, tetapi masih mengolok-olok pendidikan dan kemampuan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Rhenald Kasali menulis di artikelnya itu:
“Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang bermuara pada angka, teori, ijazah dan stereotyping. Tetapi saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.”
(di artikel itu, Rhenald membahas tentang kehebatan tiga orang perempuan: Mooryati Soedibyo, Dian Sastro, dan Susi Pudjiastuti).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H