Ahok telah menyatakan keluar dari Partai Gerindra. Surat pengunduran dirinya beserta kartu keanggotaannya juga sudah diserahkannya.
Ketua DPD DKI Jakarta M. Taufik lantas berlogika menantang Ahok. Logika dia, katanya, mengikuti cara berpikir Ahok. Karena Ahok keluar dari Gerindra dengan alasan Gerindra menyokong perubahan sistem pilkada dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD, yang dimuat di RUU Pilkada 2014, maka jika ternyata RUU itu disetujui DPR untuk disahkan menjadi UU, maka seharusnya Ahok juga keluar sebagai warga negara Indonesia, pindah kewarganegaraannya.
“Saya mau ikut cara berpikir konsistennya Ahok. Karena Gerindra putuskan sesuatu yang menurut dia bertentangan dengan pikirannya dia, dia keluar dari Gerindra. Sehingga apabila menjadi kebijakan negara dia harus bersikap sama, itu apabila dia (Ahok) konsisten,” ujar Taufik, Rabu, 10/9/2014..
“Saya akan tunggu Ahok tanggal 25 (September). Bila DPR putuskan pemilihan kepda melalui DPRD, apa sikap dia? Itu kan jadi kebijakan negara. Sebagai warga negara, dia mau keluar gak dari bangsa ini? Dia pindah warga negara. Mestinya begitu kalo mau ikut konsistensi berpikir. Sama gak logika saya?”, demikian Taufik berlogika menantang Ahok.
Ini adalah cara berpikir atau logika yang sesat (fallacy), menganalogikan hubungan keanggotaan seorang kader dengan partai politiknya dan hubungan kewarganegaraan seseorang dengan negaranya.
Dalam ilmu logika kesesatan berpikir ini termasuk dalam kategori “Ignorata Elechi”, menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya. Umumnya karena dilatarbelakangi subyektifitas prasangka, dan emosi kebencian.
Premis logika sesat Taufik jika dijabarkan adalah sebagai berikut:
Ahok kader Partai Gerindra
Partai Gerindra mengusung RUU Pilkada 2014
Ahok mundur sebagai kader Gerindra
Ahok adalah Warganegara Indonesia
Negara mengesahkan RUU Pilkada 2014 menjadi UU
Ahok harus keluar sebagai WNI (pindah kewarganegaraan)
Keanggotaan seorang kader parpol tentu saja tidak bisa dianalogikan dengan hubungan kewarganegaraan seseorang dengan negaranya. Parpol hanyalah sebuah organisasi politik dan sebagai alat setiap warganegara menyampaikan dan menjalankan visi dan misinya, sedangkan negara adalah sebuah organisasi terbesar yang mempunyai sejumlah rakyat (penduduk), wilayah yang berdaulat, dan pimpinan yang meliputi seluruh wilayah tersebut yang berkewajiban melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, dan berwenang menjalin hubungan internasional dengan sesama negara lainnya.
Di dalam AD/ART sebuah parpol pasti ada hak dan kewajiban bagi kadernya, juga ada ketentuan jika kader tidak bisa memenuhi kewajibannya di parpol, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri, atau dipecat. Ahok mengatakan hal itu. Dia bilang, dia tidak sependapat dengan gebrakan parpol-nya di parlemen itu yang dianggap sudah melenceng dari visi dan misinya yang katanya sangat pro-rakyat. Hati nuraninya terusik, jika menjalankan kewajibanya untuk tetap ikut mendukung, karena tidak bisa menjalankan kewajiban parpol-nya itu, dia memilih mundur.
Dalam skala negara, tidak ada di dalam sebuah konstitusi negara, jika warganegaranya tidak setuju dengan kebijakan negara, maka yang bersangkutan harus keluar dari kewarganegaraannya. Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak kewarganegaraan setiap warganegaranya, tanpa kecuali, termasuk jika yang bersangkutan tidak setuju dengan kebijakan-kebijakannya.
Yang terpenting juga adalah Ahok tidak pernah menyatakan dirinya akan melepaskan kewarganegaraannya, atau pindah negara, jika RUU Pilkada 2014 itu jadi disahkan. Substansi dari langkah yang dilakukan Ahok keluar dari Gerindra adalah sebagai bentuk protes bahwa partainya itu telah mengkhianati visi dan misinya sendiri yang katanya sangat pro-rakyat, dan selalu memperhatikan apa yang dikehendaki rakyat banyak.
Sebaliknya, sekarang kita coba pakai logika sesatnya Taufik untuk kubunya sendiri, bagaimana dengan Prabowo dan para pengikut setianya, termasuk Taufik yang sampai saat ini kelihatannya tidak sudi mengakui Jokowi sebagai presiden? Sampai permohonannya di Mahkamah Konstitusi ditolak, yang berarti MK memperkuat hasil pilpres yang ditetapkan KPU pun, Prabowo dan para pengikut setianya, termasuk M Taufik ini tidak sudi mengakuinya. Padahal secara konstitusional Jokowi sudah terpilih sebagai presiden, hanya menunggu pelantikannya saja pada 20 Oktober mendatang? Apakah tidak berminat pindah kewarganegaraannya saja?
Tuntutan Taufik ini jauh lebih pas jika ditujukan kepada salah satu pendukung fanatik Prabowo, yaitu anak Amien Rais, Debby Rhoma, yang pernah dengan jelas-jelas menulis di Facebook-nya, akan pindah ke luar negeri jika Jokowi menjadi presiden. “... Jika Joko Widodo nyapres & jika tidak ada Rhoma Irama dalam bursa capres 2014 saya bertekad untuk PINDAH DARI JAKARTA, & jika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden 2014, maka saya bertekad untuk PINDAH NEGARA. ... Sebagai warga Jakarta berharap mempunyai Gubernur yang istiqomah, yang komit dengan janjinya memimpin Jakarta setidaknya 1 periode, bukan setengah atau seperempat periode... ." tulisnya pada 13 Mei 2014.
[caption id="attachment_323287" align="aligncenter" width="403" caption="Tulisan Debby Rhoma Irama di FB-nya (Kaskus.com)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="(Suakanews.com)"]
Atau, Taufik lebih pas juga menanyakan kepada Amien Rais, kapan nazarnya untuk berjalan kaki dari Yogya ke Jakarta pergi-pulang itu dilaksanakan. Pada 6 Juni 2014, dengan jelas Amien Rais menyebutkan nazarnya itu dari rumahnya di Sleman, Yogyakarta. Waktu ketika wartawan menanyakan konsistensinya mendukung Prabowo, padahal dulu mati-matian mendesak Prabowo di-Mahmil-kan, Amien Rais dengan tegas menyangkal dulu pernah mendesak Prabowo di-Mahmil-kan. Dia menantang, jika ada yang bisa membuktikan ucapannya itu berupa kliping koran, rekaman suara atau video, dia akan berjalan kaki dari Yogya ke Jakarta pergi-pulang. Setelah bukti kliping itu disodorkan, dan Prabowo kalah, dia tidak pernah melaksanakan nazarnya itu, pura-pura lupa, mungkin sambil berdoa semoga tidak ada yang datang menuntutnya melaksanakan nazarnya itu.
Nah, bagaimana, Pak Taufik, berminat menuntut Debby Rhoma Irama dan ayahnya itu untuk melaksanakan nazar mereka masing-masing? Juga bagaimana konsistensi dan konsekuensi Prabowo dan para pendukung setianya, seperti anda yang sampai hari ini tidak sudi mengakui Jokowi sebagai Presiden RI?
[caption id="attachment_323289" align="aligncenter" width="364" caption="Parodi yang beredar di BBM, pesan bagi mereka yang tetap ngotot tidak terima Jokowi sebagai Presiden"]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H