Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Seharusnya Mabes Polri Mengaku Salah Telah Mengapresiasi Novel

5 Mei 2015   15:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:21 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14308140531131945616

Kapolri Badrodin Haiti dan Kabareskrim Budi Waseso (kabar24.bisnis.com)

Bareskrim Polri di bawah kepimpinan Komjen Budi Waseso bersikeras bahwa penyidik KPK Novel Baswedan bersalah, karena pada 2004 saat menjabat sebagai Kasatserse Kriminal Bengkulu, telah melakukan penganiayaan berat terhadap beberapa tersangka pencuri sarang burung walet, yang mengakibatkan salah satu dari mereka tewas. Oleh karena itu, setelah dia dua kali dipanggil, dan mangkir, Novel ditangkap di rumahnya pada Jumat dini hari (01/05/2015).

Dengan mengabaikan perintah Presiden untuk segera melepaskan Novel, Bareskrim Polri sempat menahan Novel selama satu hari, sempat dikenakan seragam tahanan berwarna oranye dengan kedua tangannya diikat tali. Sempat dibawa ke Bengkulu dengan pesawat carteran. Disuruh melakukan rekonstruksi, tetapi ditolak Novel. Akhirnya dilepas setelah kelima pimpinan KPK melakukan pendekatan dengan kapolri. Meskipun sudah tidak ditahan lagi, proses hukum terhadap Novel akan terus dilanjutkan sampai ke sidang pengadilan.

Jika Mabes Polri konsekuen dengan keyakinan mereka bahwa Novel Baswedan bersalah telah melakukan tindak pidana berat itu, maka seharusnya mereka pun dengan ikhlas mengaku salah atas kebijakan dan keputusan mereka selama ini terhadap Novel Baswedan, mengoreksinya, serta menjawab berbagai kejanggalan-kejanggalan yang menyertai kasus yang telah terjadi 11 tahun yang lalu itu.

Beda Peran SBY dan Jokowi dalam Kasus Novel Baswedan

Pertanyaan yang pertama yang harus dijawab adalah kenapa setelah peristiwa itu lewat 8 tahun, barulah Polri mulai mengusutnya untuk pertama kalinya pada 2012, dan sangat berdekatan waktunya pasca Novel sebagai koordinator penyidik KPK berhasil mengungkapkan kasus korupsi di Mabes Polri, tepatnya di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, yang saat itu dipimpin oleh Irjen Djoko Susilo, yang sekaligus sebagai pelaku utamanya, yang sudah terbukti bersalah, dan dipenjara selama 18 tahun. Jika KPK dan Novel tak mengusik Irjen Djoko Susilo, banyak yang yakin kasus 2004 itu tidak akan pernah diungkit kembali. Maka, dugaan kuat telah terjadi kriminalisasi terhadap Novel pun sebagai upaya balas dendam terhadap “polisi pengkhianat” itu pun sangat sulit untuk ditepis.

Ketika itu. upaya kriminalisasi baru dihentikan setelah Presiden SBY turun tangan dan memerintahkan penghentiannya dengan alasan waktu dan caranya salah. Waktu itu hanya sekali saja SBY memerintah, Polri pun langsung patuh. Berbeda dengan yang sekarang, Presiden Jokowi sudah beberapa kali memerintah hal yang sama, tetapi Bareskrim-nya maju terus.

Perlu diingat pula bahwa saat kasus Djoko Susilo itu mulai dibongkar KPK, mirip dengan kasus Budi Gunawan, Mabes Polri juga menyatakan mereka sudah memeriksa secara internal kasus tersebut, dan tidak menemukan satu pun bukti adanya kasus korupsi di Korlantas itu. Demikian juga dalam kasus Budi Gunawan, Mabes Polri juga sudah menyatakan telah memeriksa Budi Gunawan, dan tidak ditemukan adanya bukti dia telah melakukan korupsi (menerima sejumlah gratifikasi) sebagaimana diyakini KPK.

Berkat perintah Presiden SBY pulahlah yang menyatakan yang berwenang memeriksa kasus Djoko Susilo itu adalah KPK, KPK kemudian sukses membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Djoko Susilo. Di persidangan, sampai ke tingkat kasasi, Djoko Susilo dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, dengan hukuman 18 tahun penjara.

Berbeda dengan kasus Budi Gunawan sekarang, berkat peran Presiden Jokowi-lah, kasus Budi Gunawan malah dikembalikan ke Mabes Polri, sehingga sudah pasti hasil akhirnya adalah Budi Gunawan tidak terbukti bersalah, maka tak heran meskipun belum tuntas perkaranya, sudah dilantik sebagai Wakil Kapolri.

Setelah dihentikan pada 2012 atas perintah Presiden SBY, kasus Novel Baswedan itu diungkit kembali lagi pada 2015, setelah lagi-lagi ada perwira tinggi polisi diusut KPK, yaitu Budi Gunawan, yang ditetapkan sebagai tersangka penerima sejumlah gratifikasi.

Mengejar Kadaluarsa Kasus

Untuk mencari-cari kesalahan Novel, Bareskrim Polri tidak bisa, karena memang Novel tidak punya kesalahan apa pun yang patut membuat dia menjadi tersangka, maka satu-satunya kasus yang memungkinkan untuk mengkriminalkan Novel adalah kasus 2004 itu juga. Maka kembali, setelah lewat 11 tahun, kasus itu pun diungkit kembali.

Karena tidak punya kasus Novel yang lain pula Bareskrim Polri merasa perlu harus bergegas berkejaran dengan waktu memanfaatkan kembali kasus 2004 ini, karena tahun depan kasus ini akan genap 12 tahun, dan secara hukum akan kadalursa (Pasal 78 ayat 1, angka 3 KUHP). Jika tidak segera memanfaatkan kasus ini, maka Polri tidak akan lagi punya kasus yang bisa mengkrimanalkan Novel. Alasan kadaluarsa ini juga dikemukakan oleh Budi Waseso.

Alasan kadaluarsa ini juga sekaligus merupakan salah satu kejanggalan diungkitkannya kembali kasus ini. Kenapa sampai sedemikian lama, sampai sudah mendekati kadaluarsa kasusnya, dan setelah terjadi dua kali kebetulan yang sangat (bertepatan dengan pengusutan KPK terhadap Djoko Susilo, dan Budi Gunawan), baru kasus Novel ini diusut lagi?

Budi Waseso menjelaskan, kasus Novel kembali bergulir karena adanya laporan dari keluarga korban sebab perkaranya akan kadaluarsa tahun depan. Jika tidak maka Polri akan mendapat tuntutan.

"Dan kami juga diminta oleh keluarga korban, untuk segera ini diselesaikan. Kita berupaya secepat mungkin. Kasus Novel ini 2016 akan kadaluarsa. Jangan ini jadi preseden buruk nanti terulang seperti kasus di Malang, kasus lantas yang bersangkutan tidak bisa dihukum karena kadalurasa," kata Budi (detik.com).

Meskipun alasan sudah diberikan, pertanyaannya tetap sama saja, kenapa bisa setelah lewat waktu 11 tahun baru dilaporkan dan baru direspon Polri, dan berdekatan pula ditersangkakan Budi Gunawan oleh KPK?

Apakah pengaduan oleh keluarga itu murni, kok bisa dua kali waktunya (2012 dan 2015)  bertepatan dengan setelah perwira tinggi Polri dijadikan tersangka oleh KPK?

Pertanyaan yang paling penting adalah: Bukankah kasus penganiayaan berat sampai meninggalnya orang itu bukan delik aduan? Karena bukan delik aduan, jika benar pelakunya adalah Novel Baswedan, maka seharusnya di tahun 2004 itu pula Novel sudah dipecat dari polisi dan diproses hukumnya. Ia seharusnya sudah dipenjara, entah berapa tahun. Bukan baru sekarang, setelah menerima laporan dari keluarga korban, baru Bareskrim-nya mulai mengusutnya. Kasusnya jelas bukan delik aduan, tetapi kok setelah ada pengaduan baru polisi menindaklanjutinya. Sangat janggal.

Sebelumnya, Novel Malah Diapresiasi

Faktanya, kasus itu sendiri sebenarnya sudah klir, sidang internal dan indisplinernya sudah digelar saat itu,  Novel tidak terbukti terlibat langsung, ia hanya dijatuhi sanksi peringatan keras karena tidak bisa mengendalikan anak buahnya yang melakukan penganiayaan tersebut. Setelah kasus itu Novel masih dipercaya memegang jabatannya sebagai Kasatserse Kriminal Bengkulu itu sampai Oktober 2005, dan  justru diapresiasi oleh atasannya di Mabes Polri atas prestasi-prestasinya yang diraihnya.

Buktinya setelah masa jabatannya sebagai Kasatserse Kriminal di Bengkulu itu berakhir pada Oktober 2005,  Novel ketika itu masih berpangkat Inspektur Polisi Satu (Iptu) malah ditarik ke Mabes Polri di Jakarta, dan karena prestasi-prestasinya sebagai penyidik Polri, dalam kurun waktu yang relatif singkat (2004-2006) ia naik pangkat sampai tiga kali: Dari Iptu naik menjadi Ajun Komisaris (AKP), lalu Perwira Pertama (Parma), dan akhirnya Komisaris Polisi (Kompol).

Awal 2007 sebagai salah satu penyidik polisi terbaik, ia pun dikirim bergabung di KPK sebagai penyidik lembaga antirasuah itu. Berkali-kali, Mabes Polri juga pernah menyatakan bahwa mereka selalu mengirim penyidik-penyidik terbaiknya untuk diseleksi KPK, tentu saja itu termasuk Novel Baswedan ketika dia dikirim ke KPK. Dengan menugaskannya ke KPK, maka Mabes Polri juga telah mengakui Novel termasuk anggotanya yang terbaik.

Di KPK, Novel yang juga adalah cucu  AR Baswedan, jurnalis, diplomat dan sastrawan, anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), dan Anggota Dewan Konstituante itu, kembali menunjukkan berbagai prestasinya hebatnya sebagai penyidik KPK dengan sukses mengungkapkan dan menuntaskan beberapa kasus korupsi besar yang sangat menarik perhatian masyarakat, di antaranya (sumber antara lain dari Tempo.co):

-Membongkar kasus korupsi di proyek Hambalang dan Wisma Atlet dengan pelaku utamanya yang sudah dipenjara, antara lain Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Malarrangeng, dan Anas Urbaningrum. Novel pulalah yang menjemput Nazaruddin dan membawanya kembali ke Tanah Air, saat dideportasi dari pelariannya di Cartagena, Kolumbia pada Agustus 2011.

-Berhasil melacak pelarian Nunun Nurbaetie. Tersangka pemberi cek pelawat untuk 39 anggota Komisi Keuangan DPR pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 itu kabur ke sejumlah negara. Novel tak hanya berhasil melacak, tapi juga membawa Nunun Nurbaetie pulang dari pelariannya ke Tanah Air.

-Mengungkapkan kasus korupsi impor daging sapi, dengan menangkap Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, pada 31 Januari 2013. Vonis untuk Luthfi : 16 tahun penjara.

-Memimpin penyidikan kasus suap proyek penyesuaian infrastruktur daerah yang menyeret sejumlah politikus Senayan, salah satunya politikus Partai Amanat Nasional Wa Ode Nurhayati dan Fahd A Rafiq, Ketua Angkatan Muda Partai Golkar. Kasus ini cukup pelik karena melibatkan para petinggi Badan Anggaran yang diduga menerima suap dari pelbagai daerah untuk persetujuan pencairan dana proyek senilai Rp 7,7 triliun itu.

-Menangkap antara lain Bupati Buol Amran Batalipu dan tiga tersangka kasus suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau.

-Mengungkap kasus korupsi anggaran Quran yang antara lain melibatkan mantan anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Golkar Zulkarnaen Djabar  dan mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Ahmad Jauhari.

-Mengungkapkan kasus korupsi dana haji oleh Menteri Agama Suryadharma Ali.

-Sukses pula membongkar sebuah kasus terbesar yang paling menghebohkan dunia hukum Indonesia adalah tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar saat menerima suap dari Bupati Gunung Mas pada 2 Oktober 2013 di rumah dinasnya, di Jakarta.

Novel juga menjadi motor pengusutan kasus simulator kemudi yang menyeret sejumlah petinggi Polri. Ia memimpin pengeledahan Markas Korlantas Polri di Cawang, Jakarta Timur 30 Juli 2012 dan memeriksa para perwira polisi yang jadi saksi perkara itu. Termasuk menginterogasi tersangka utama: bekas Kepala Korps Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang ketika itu menjadi Gubernur Akademi Kepolisian.

Ironisnya, justru kesuksesannya itulah, pada 2012 itu juga, upaya kriminalisasi oleh Mabes Polri mulai dijerat kepada anggota terbaiknya itu. Sempat dihentikan pada 2012 atas perintah Presiden SBY, kini, di 2015, setelah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, kasus sebelas tahun lalu itu diungkit kembali dengan tuduhan Novel-lah pelaku utama penganiayaan berat itu.

Menurut catatan Tempo, sejak 2012 itulah Novel terus diincar Polri. Ia juga kerap teror dan intimidasi. Kesalahan Novel sebagai penyidik dicari-cari. Seorang petinggi Kepolisian saat itu menuturkan, independensi Novel sebagai penyidik membuat ia tak disukai di Kepolisian. Di sebuah mailing list internal kepolisian, namanya dijelek-jelekkan karena memimpin penggeledahan di Korlantas dan memeriksa jenderal polisi aktif. Novel dicap sebagai ”pengkhianat” yang ”hendak menghancurkan korps” (Tempo.co).

Konsekuensinya, Seharusnya Mabes Polri  Mengaku Salah Telah Mengapresiasi Novel

Seharusnya dengan sederetan prestasi besarnya sebagai penyidik di KPK itu, Mabes Polri merasa sangat bangga karena punya anggota yang sedemikian hebatnya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Gara-gara terlalu berani menegakkan keadilan hukum dengan menyidik Irjen Djoko Susilo itu,  Novel malah dianggap sebagai pengkhianat, dan Mabes Polri pun sangat bernafsu untuk memenjarakannya.

Jika Mabes Polri sangat yakin bahwa Novel Baswedan itu sesungguhnya seorang oknum polisi jahat penganiaya warga sampai tewas, maka berarti pula selama sebelas tahun ini mereka telah keliru telah mengapresiasikan Novel sampai sedemikian rupa.

Dari Bengkulu ditarik ke Mabes Polri (2004), lalu dinaikkan pangkatnya sampai tiga kali hanya dalam kurun waktu dua tahun, lalu dengan predikat sebagai salah satu polisi terbaik, Mabes Polri mengirim Novel untuk menjadi salah satu penyidik di KPK. Berkali-kali Mabes Polri mengatakan bahwa hanya polisi terbaik saja yang mereka kirim ke KPK untuk dijadikan penyidik di lembaga anti rasuah itu.

Maka, sebagai konsekuensi dari menjadikan Novel sebagai tersangka utama dalam penganiayaan berat yang menyebabkan matinya orang itu, maka Polri harus berani menyatakan dan mengakui bahwa selama ini mereka keliru telah mengapresiasikan Novel sampai sedemikian rupa. Keliru menaikkan pangkatnya sampai tiga kali, keliru mengirimnya ke KPK karena mengira dia polisi terbaik, ternyata dia polisi pembunuh!

Beranikah Mabes Polri menyatakan pengakuannya seperti itu? *****

Artikel terkait:

Perwira Polri Boleh, Pemimpin/Penyidik KPK Harus Ditangkap

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun