[caption id="attachment_117097" align="alignleft" width="300" caption="Sapi Australia yang disiksa sebelum dipotong (YouTube)"][/caption] Begitu tersebar berita video yang menggambarkan penyiksaan secara brutal sapi-sapi asal Australia di rumah-rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia, masyarakat dan pemerintah Australia langsung gempar.
Jaringan radio dan televisi Australian Broadcasting Corporation (ABC) selama berhari-hari memberitakan peristiwa tersebut, diawali dengan tayangan dalam acara Four Corner dengan judul “A Bloody Business,” peristiwa tersebut pun menyebar ke seantero dunia.
Presiden SBY sendiri mengaku telah menonton sendiri tayangan tersebut lewat tayangan TV Singapura di Channel News Asia.
Hanya dalam tempo 10 hari, pemerintah Federal Australia, yang mendapat banyak tekanan dari publiknya di dalam negeri, langsung mengambil keputusan tegas, menghentikan sementara ekspor sapi hidup ke Indonesia (selama 6 bulan ke depan). Padahal selama ini Indonesia adalah pangsa pasar ekspor terbesar sapi hidup Negeri Kanguru tersebut.
Berdasar data Meat & Livestock Australia, pada 2010, penjualan sapi ke Indonesia memberikan kontribusi AUSD 319 juta atau setara dengan USD 342 juta ke Negeri Kanguru. Pemerintah Australia memperkirakan, nilai ekspor akan berkembang menjadi AUSD 753 juta hingga 30 Juni 2012. ”Kebijakan ini tentunya akan berdampak terhadap industri,” ujar Meat & Livestock Australia dan LiveCorp dalam pernyataannya. (JPPN.com, 9 Juni 2011).
Bagi Anda yang belum dan ingin melihat tayangan video penyiksaan sapi tersebut bisa Anda lihat di sini.
Kesadisan tayangan tersebut membuat Youtube membatasi usia pengaksesnya. Hanya yang telah berusia dewasa (18 tahun) yang diizinkan melihatnya.
Pemerintah Australia tidak memerlukan banyak waktu untuk melakukan keputusan tersebut. Padahal jelas keputusan tersebut membuat negaranya mengalami kehilangan potensi keuntungan yang tidak sedikit, seperti data yang dilangsir oleh Meat & Livestock Astralia yang disebutkan di atas.
Pemerintah Australia tidak memerlukan membentuk segala macam panitia, satuan tugas (satgas), atau apapun namanya, tidak memerlukan waktu lama, dan tidak memberi tenggang waktu berlakunya keputusan penghentian ekspor sapi hidup ke Indonesia tersebut.
Padahal yang disiksa itu “hanya” sapi-sapi. “Hanya” binatang.
Bandingkan dengan sikap pemerintah kita sendiri terhadap begitu banyaknya peristiwa penyiksaan, penganiayaan, pemerkosaan, bahkan sampai pembunuhan, termasuk hukuman mati entah berapa banyak TKI kita di luar negeri, terutama di Arab Saudi. Padahal yang disiksa sampai dibunuh itu adalah manusia. Manusia yang adalah warganegara Indonesia!
Itu bukan baru-baru ini saja diketahui, tetapi sudah bertahun-tahun lamanya. Tetapi pemerintah sangat lamban meresponnya, kalau tidak mau dikatakan tidak memperdulikannya. Pura-pura tidak tahu, dan berbagai alasan lainnya untuk menutup-nutupi “malas tahunya”.
Meskipun tak terucapkan secara langsung, salah satu alasan yang membuat pemerintah pura-pura buta, tetapi sesungguhnya yang buta adalah hati nuraninya adalah karena bisnis TKI tersebut merupakan bisnis yang sangat menggiurkan. Melibatkan triliun rupiah setiap tahunnya. Selengkapnya baca di sini.
Kalau pemerintah Australia, yang baru mengetahui tentang adanya penganiayaan sapi-sapi asal negaranya di Indonesia, kemudian bereaksi cepat. Yaitu dalam tempo hanya 10 hari kemudian langsung mengambil langkah tegas, dengan memutuskan menghentikan sementara ekspor sapi hidup ke Indonesia. Maka pemerintah Indonesia di bawah Presiden SBY, ketika sudah lama sekali mengetahui tentang adanya siksaan, pemerkosaan, sampai pembunuhan manusia Indonesia (TKI) di luar negeri, terutama sekali di Arab Saudi,sangat lambat reaksinya.
Bertahun-tahun sudah berbagai siksaan sampai pembunuhan yang dialami TKI, terutama TKW di Arab Saudi, tetapi pemerintah di bawah SBY tidak pernah melakukan tindakan tegas apapun untuk menghentikannya. Pemerintah baru terlihat bereaksi lagi ketika heboh kasus pemacungan TKW Ruyiati pada 8 Juni lalu, di Arab Saudi.
Reaksi Presiden SBY adalah untuk menghentikan sementara secara keseluruhan “ekspor TKI” ke Arab Saudi. Kedengarannya ini keputusan yang tegas. Tetapi ternyata ini termasuk keputusan banci, alias tidak tegas lagi. Karena keputusan tersebut ternyata tidak berlaku seketika, tetapi harus ditunggu sampai dengan tanggal 1 Agustsu 2011.
Siapa yang berani menjamin, kalau SBY bicara bisa konsisten? Jangan-jangan nanti ketika tibanya tanggal 1 Agustus 2011 itu akan ada cerita baru lagi, yang ujung-ujungnya, misalnya, mengatakan, karena sistem perlakukan TKI di Arab Saudi telah membaik, maka moratorium tidak jadi dilaksanakan. Atau dilaksankan hanya dalam tempo yang singkat.
Presiden SBY juga memerintahkan (lagi-lagi) pembentukan satgas untuk menangani kasus TKI di luar negeri. Anehnya, yang ditetapkam sebagai Ketua Satgas-nya adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, padahal bukankah sebagai Menteri Tenaga Kerja dia seharusnya yang bertanggung jawab atas segala macam kisruh TKI ini?
[caption id="attachment_117098" align="alignleft" width="300" caption="TKW Sumiati yang disiksa majikannya. Di pengadilan majikannya itu diputuskan bebas."]
Apakah “ancaman” moratorium TKI oleh SBY ini akan efektif membuat terjadinya perubahan positif, terutama mengubah kebijakan dan perilaku Arab Saudi terhadap TKI?
Namanya saja keputusan banci, mana bisa berhasil menggertak Arab Saudi.
[caption id="attachment_117099" align="alignleft" width="300" caption="TKW Ruyiati, yang dihukum pancung pada 8 Juni lalu oleh Pemerintah Arab Saudi"]
Menyambut “ancaman” SBY tentang moratorium tersebut, media Arab malah melecehkannya dengan mengatakan bahwa keputusan moratorium itu hanya gertakan saja, yang sebenarnya hanyalah trik pemerintah SBY untuk membangun citra politiknya. Hanya untuk cari muka saja demi kepentingan Pemilu mendatang.
Harian itu, Saudi Gazette dengan mengutip sumbernya, menulis: Pemerintah Indonesia selalu melakukan taktik ini menjelang Pemilu. Pengumuman moratorium TKI telah beberapakali diumumkan di masa lalu, tetapi kenyataannya suplai TKI ke Arab Saudi tidak pernah berhenti.
Kepala Komite Perekrutan Nasional Arab Saudi Saad Al-Baddah malah mendesak pemerintah Arab Saudi untuk menghentikan penerimaan tenaga kerja dari Indonesia. Bukan untuk sementara saja, tetapi selamanya.
Dia malah mengatakan sesungguhnya Arab Saudi tidak begitu butuh pekerja dari Indonesia, karena sumber tenaga kerja masih banyak dari negara lain seperti Ethiopia, Nepal, Kenya, dan Sri Lanka. (VivaNews.com, 24 Juni 2011).
Chairman of the National Recruitment Committe Saudi Arabian Sa’ad Al-Baddah justru balik menantang SBY. Dia mengatakan pemerintah Indonesia tidak akan berani melaksanakan keputusannya itu. Karena Indonesia bakalkehilangan dari Arab Saudi 6 Miliar SR (Saudi Arabiyan Riyal) setara dengan Rp. 13,7 miliar per tahun.
Maka, jelaslah bahwa keputusan SBY untuk melakukan moratorium pengiriman TKI akan menjadi sia-sia. Alias tidak ada efeknya. Pemerintah Arab Saudi sama sekali tidak akan menanggapinya, termasuk surat SBY yang dikirim kepada Raja Saud Abdullah bin Abdul-Aziz melalui duta besarnya di Indonesia belum lama ini.
Kasihan juga SBY, sudah capek-capek “mengancam”, ternyata tidak dianggap. Malah dilecehkan, dan balik digertak.
Indonesia yang memutuskan moratorium itu. Ketika tidak ada efeknya, malah membuat pemerintahnya pusing tujuh keliling dengan ketidak becusannya membuka lapangan kerja baru yang cukup, pasti akan menjilat ludahnya sendiri, untuk lagi-lagi mengambil “jalan pintas”; mengirim TKI ke Arab Saudi.
Dengan berbagai kebijakan tanpa arah seperti ini, ditambah dengan blunder Menlu Marty Natalegawa yang telah melakukan pembohongan publik dengan mengatakan Arab Saudi telah mengaku salah dan minta maaf berkaitan dengan kasus hukuman pancung TKW Ruyiati, semakian membuat citra dan wibawa Indonesia merosot di mata negara-negara lain di dunia ini.
Sehingga mereka pun dengan enteng semakin berani, dan “mempermainkan” Indonesia ketika timbul konflik. Seperti Arab Saudi kepada Indonesia saat ini.
Apalagi oleh sebagian orang Indonesia, orang Arab itu sepertinya “bangsa yang suci”, sehingga seolah-olah orang (manusia) Indonesia diperlakukan apa pun tidak boleh diprotes. Buktinya, ormas semacam FPI hanya diam seribu bahasa ketika begitu banyak terjadi penganiayaan, pemerkosaan sampai pembunuhan banyak TKW di sana. Bahkan Duta Besar Arab saudi untuk Indonesia pun tetap steril dari berbagai demo. Coba saja, kalau negara lain yang memperlakukan TKW asal Indonesia seperti yang dilakukan Arab saudi sekarang. Pasti minimal berbagai demo akan berlangsung di depan Kedutaaan Besarnya. Tak ketinggalan tuntutan seperti: putus hubungan diplomatik dengannegara itu dikumandangkan. Tetapi dalam kasus ini, beranikah ada suara menyerukan hal yang sama untuk Arab Saudi?
Dalam acara Four Corner di televisi ABC, Australia, kasus penyiksaan sapi-sapi asal negaranya di Indonesia itu ditayangkan dalam acara khusus dengan judul “A Bloody Business.” “Bloody” di sini tentu yang dimaksud adalah darah para binatang yang dianiaya tersebut, yang membuat pemerintah Australia tidak tahan, tidak tega melihatnya.
Kalau di Indonesia ada tayangan yang sama dengan judul yang sama, maka “Bloody” yang dimaksud tentu adalah darah manusia. Darah para TKW/TKI. Bedanya, meskipun ini darah manusia yang tumpah, pemerintah kita rupanya tega-teganya membiarkannya terus.
Katanya, TKI adalah pahlawan devisa. Katanya pula bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Adakah pemerintah RI menghormati sekian banyak TKI yang tewas ketika menjalani pekerjaannya di luar negeri, seperti di Aras Saudi ini.
Jadi, apakah sapi di mata pemerintah Australia lebih tinggi daripada TKW/TKI dimata pemerintah Indonesia? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H