[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="Prabowo ketika membaca pernyataan penolakan hasil Pilpres 2014 dan menarik diri dari proses rekapitulasi oleh KPU, Selasa, 22 Juli 2014 (sumber: Kompas.com)"][/caption]
Selasa, 22 Juli 2014, dari Rumah Polonia, Jalan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, hanya beberapa jam sebelum KPU merampungkan hasil rekapitulasi nasional Pilpres 2014, dan mengumumkan pemenangnya, Capres Prabowo Subianto membuat kejutan besar yang pertama kali terjadi dalam sejarah Republik ini, yakni menyatakan menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang disebutkannya cacat hukum, dan menarik diri dari proses rekapitulasi Pilpres 2014 itu.
Dengan mengatasnamakan pasangan Prabowo-Hatta, Prabowo membaca dengan berapi-api pernyataannya tersebut. Namun, ternyata pernyataannya itu sendiri mempunyai beberapa hal yang patut dipertanyakan, karena diragukan kebenaran substansialnya.
Prabowo-Hatta Tidak Satu Suara
Di antaranya, Prabowo menyatakan bahwa pernyataan penolakan hasil Pilpres dan menarik diri dari proses rekapitulasi tersebut dengan mengatasnamakan Prabowo-Hatta, faktanya, Hatta Rajasa tidak hadir ketika Prabowo mengambil sikap tersebut, dan juga belum menandatangan surat pernyataan itu. Surat itu hanya ditandatangani oleh Prabowo sendiri. Hatta belum, atau tidak menyatakan sikapnya sama dengan Prabowo.
Sejak 21 Juli 2014, sampai sekarang juga tidak terlihat lagi Hatta Rajasa bersama-sama dengan Prabowo. Keberadaannya yang pasti juga tidak diketahui. Apakah memang dia sengaja menyembunyikan dirinya atau disembunyikan?
Ketua DPP PAN Bima Arya malah mengungkapkan bahwa sesungguhnya Hatta berbeda sikap dengan Prabowo. Hatta menghormati apa pun keputusan KPU tersebut, termasuk dengan mengumumkan kemenangan Jokowi-JK tersebut.
"Tidak (menolak hasil pemilu). Pak Hatta akan sampaikan tetap menghormati proses yang dilakukan KPU apa pun hasilnya," ungkap Bima saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/7/2014).
Hal senada juga dinyatakan oleh bekas Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Mahfud MD. Dia bilang, yang mempunyai ide agar Prabowo menyatakan penolakan hasil Pilpres 2014 itu adalah Akbar Tanjung, sedangkan Hatta Rajasa sendiri bisa menerimanya. (Jpnn.com).
Jadi, tampak di sini, Prabowo benar-benar menjadikan dirinya sebagai “one man show”, yang tidak merasa perlu berunding terlebih dahulu dengan mitranya, sebelum mengambil suatu keputusan sepenting ini.
Tudingan Prabowo kepada KPU, Tidak Sesuai dengan Fakta
Di dalam pernyataan sikapnya itu juga Prabowo melontarkan lima alasan utama Prabowo-Hatta menyatakan menolak hasil Pilpres 2014 dan menarik diri dari proses rekapitulasi tersebut, yaitu adanya kecurangan-kecurangan dalam Pilpres itu, dan tidak adilnya KPU. Tapi, fakta-faktanyanya malah bertentangan dengan tudingan Prabowo tersebut.
Salah satu tudingan Prabowo kepada KPU adalah KPU tidak menjalankan rekomendasikan yang disampaikan Bawaslu DKI Jakarta terkait 5.841 TPS di DKI Jakarta yang harus diadakan pemungutan suara ulang. Faktanya, Bawaslu sendiri mengoreksi pernyataan Prabowo itu.
Ketua Bawaslu Muhammad di Jakarta, Selasa (22/7/2014), mengatakan rekomendasi dari Bawaslu DKI yang diberikan terkait sejumlah 5.841 TPS di DKI Jakarta hanya dilakukan pencermatan, bukan pemungutan suara ulang. Menurutnya, rekomendasi pemungutan suara ulang hanya dilakukan di 13 TPS, dan itu sudah dilaksanakan oleh KPU (Metrotvnews.com).
Selengkapnya tudingan Prabowo kepada KPU yang tidak sesuai dengan fakta adalah sebagai beriktu (Tempo.co):
1. Tudingan: Banyak aturan yang dibuat KPU justru dilanggar sendiri. Saksi kubu Prabowo, Didik Heryanto, misalnya, mempersoalkan daftar pemilih tambahan khusus (DPKTb).
Fakta:
* DPKTb adalah pemilih yang memenuhi syarat menggunakan hak pilih tapi tak masuk daftar pemilih tetap asalkan membawa KTP atau identitas kependudukan lainnya.
"Pemilih DPKTb dapat memilih di mana saja," kata anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, Selasa, 22 Juli 2014. (Baca: Tim Prabowo Yakin Datanya Lebih Valid Daripada KPU)
2. Tudingan: Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu banyak diabaikan oleh KPU. Terutama pemungutan suara ulang di lebih dari 5.800 tempat pemungutan suara (TPS).
Fakta:
* KPU sudah memeriksa lebih dari 5.800 TPS yang terindikasi bermasalah. Namun hanya 13 TPS yang layak dilakukan pemungutan suara ulang.
“Selain di 13 TPS, kami tak pernah merekomendasikan pemungutan ulang di 5.800 TPS," kata Ketua Bawaslu DKI Jakarta Minah Susanti, Selasa, 22 Juli 2014.
3. Tudingan: Banyak temuan tindak pidana pemilu yang dilakukan penyelenggara dan pihak asing.
Fakta:
* Tudingan ini terlalu prematur. Menurut Firman Wijaya, kuasa hukum kubu Prabowo, pihaknya baru sebatas mengumpulkan bukti.
“Justru tim Prabowo yang memakai jasa asing sebagai konsultan politiknya," kata Minah, Selasa, 22 Juli 2014.
4. Tudingan: KPU selalu mengalihkan masalah ke MK. Seolah-olah setiap keberatan harus diselesaikan di MK, padahal sumber masalahnya di KPU.
Fakta:
* Pasal 10 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan wewenang MK salah satunya adalah menyelesaikan perselisihan pemilihan umum.
“Kalau tak puas dengan penghitungan suara, silakan gugat lewat MK, tak ada mekanisme lain,” ujar anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, Selasa, 22 Juli 2014.
5. Tudingan: Telah terjadi kecurangan masif dan sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden. Yanuar Arif, saksi kubu Prabowo, menuding ada 52 ribu formulir C1 invalid atau setara 25 juta suara.
Fakta:
* Sejak 11 Juli lalu, laman KPU menayangkan pindaian formulir C1 yang berisi rekap penghitungan suara di 478.828 TPS. Ini memudahkan publik mengetahui detail jumlah suara masing-masing calon.
Sangat Direkomendasikan Prabowo Batalkan Niatnya Menggugat ke MK
Jadi, sebenarnya Prabowo tidak mempunyai landasan hukum kuat untuk menolak hasil Pilpres 2014 itu. Apalagi, -- seperti yangdiisyaratkan Prabowo sendiri --, kubunya akan melakukan gugatan hasil Pilpres 2014 yang telah ditetapkan KPU itu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Landasan hukumdan bukti-buktinya terlalu lemah, akan sia-sia kalau mau digugat.
Oleh karena itu beberapa pihak, termasuk bekas Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta sendiri, Mahfud MD, yang juga mantan Ketua MK, sudah menyarankan dengan sangat, agar Prabowo mengurung niatnya untuk melakukan gugatannya ke MK, karena bisa dipastikan mubazir. Hanya semakin membuang-buang waktu, enerji dan biaya dengan sia-sia, yang selama Pilpres ini saja sudah terkuras sangat banyak.
Di Berita Satu TV, sehari sebelum hari rekapitulasi itu (Senin, 21 Juli 2014), Mahfud MD menyarakankan agar Prabowo tidak melakukan gugatannya ke MK, karena sesuai yang diaamati sendiri rekapitulasi di tiap-tiap TPS sampai dengan tingkat provinsi sudah cukup valid. Hanya dengan melihat angka-angka tersebut MK nanti sudah bisa memastikan validasi dari rekapitulasi suara tersebut. Sehingga akan menolak gugatan tersebut.
Selanjutnya Mahfud juga mengatakan bahwa perbedaan suara antara kedua kubu, antara yang menang dengan yang kalah itu terlalu besar, yaitu 8 juta lebih. Bagaimana caranya kubu Prabowo bisa membuktikan dan membalikkan skor tersebut, sehingga berubah menjadi dia yang unggul lebih dari 8 juta suara itu.
Kata Mahfud, waktu dia di MK, untuk membuktikan selisih suara 100.000-an di sengketa Pilkada saja saja sudah nyaris tak mungkin, apalagi di tingkat nasional dengan selisih sampai 8 juta lebih suara.
Dari hasil resmi rekapitulasi KPU untuk Pilpres 2014 ini, diperoleh angka-angka pastinya sebagai berikut: Pasangan nomor urut 1 (Prabowo-Hatta): 62.576.444 suara, atau 46,85 persen. Sedangkan pasangan nomor urut 2 (Jokowi-JK): 70.997.833 suara, atau 53,15 persen. Selisih dengan kemenangan Jokowi-JK adalah sebanyak 8.421.389 suara, atau selisih 6,3 persen suara.
Dengan adanya saran yang sangat direkomendasikan oleh Mahfud MD yang nota bene adalah mantan Ketua MK itu, sangat bijak apabila Prabowo membatalkan niatnya mengajukan gugatan ke MK tersebut. Batas waktu untuk menyampaikan gugatan ke MK itu adalah sampai dengan tanggal 25 Juli 2014. Adalah jauh lebih baik, jika Prabowo dengan jiwa besar mengakui kekalahannya, mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK, dan menyambut ajakan rekonsiliasi dari Jokowi-JK.
Namun, dilihat dari gelagatnya, tampaknya Prabowo tetap bersikeras untuk tidak mau menerima kenyataan bahwa dia sudah kalah dari Jokowi. Maka itu, apa pun yang terjadi dia tetap menolak hasil Pilpres ini, dan tetap akan mengajukan gugatannya ke MK. Apakah Prabowo tidak berpikir, bahwa penolakannya ini saja sudah mengundang cibiran publik, dan menarik perhatian internasional. Bagaimana nanti perasaannya jika harus kalah lagi untuk kedua kalinya, ketika gugatannya ditolak MK? Tidak adakah orang-orang didekatnya, yang bisa didengarnya, untukmemberi nasihat kepada Prabowo? Bagaimana dengan adiknya, Hashim Djojohadikusumo?
Prabowo Mengalami Delusional?
Ataukah, jangan-jangan apa yang diduga oleh Psikolog Tika Bisono tentang masalah kejiawaan Prabowo adalah benar telah terjadi?
Yaitu, diduga Prabowo mengalami kondisi kejiwaan yang disebut delusional, yakni sebuah keyakinan yang dianggap kuat terjadi, tetapi sebenarnya tidak.
Hal itu bisa disebabkan karena terlalu besarnya ambisi dan keyakinan Prabowo bahwa dirinyalah yang pasti menjadi pemenang di Pilpres 2014 ini, dan menjadi presiden.
Kondisi ini diperparah lagi dengan orang-orang di sekitarnya yang memberi harapannya yang terlalu besar disertai dengan informasi-informasi yang sebetulnya tidak akurat, dan cenderung bersifat provokatif. Terutama, misalnya menyangkut data abai-abai dari empat lembaga survei yang sebenarnya kredibilitasnya sangat diragukan itu (Metrotvnews.com).
Oleh karena itu, mungkin lebih baik juga, kalau ada beberapa psikolog dilibatkan untuk mengatasi masalah ini pada Prabowo. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H