[caption id="attachment_157205" align="aligncenter" width="450" caption="Tarian Barongsai dalam perayaan Imlek, selalu mengundang antusias tinggi masyarakat untuk menontonnya (Antaranews.com)"][/caption] Hampir semua angkatan sekitar tahun 1960-an sampai dengan 1990-an WNI Keturunan Tionghoa di Indonesia saat ini sama sekali tidak bisa berbahasa Tionghoa. Ini adalah sedikit dari dampak kebijakan pemerintahaan rezim Soeharto yang sangat rasialis, yang berupaya memusnahkan budaya Tionghoa dari muka bumi Nusantara dengan berbagai macam produk peraturan yang dibuatnya. Dengan alasan untuk membendung arus komunisme pasca penumpasan PKI dengan G30S-nya, Soeharto yang mengkudeta Soekarno dengan cara tak langsung itu mulai menerapkan banyak peraturan yang isinya melarang semua budaya yang berasal dari Tiongkok. Termasuk agama, bahasa, huruf dan adat-istiadatnya. Sasarannya adalah semua orang Tionghoa di Indonesia tanpa kecuali. Seolah-olah semua Tionghoa itu identik dengan komunis atau berpotensi besar sebagai pembawa ajaran komunis. Padahal fakta berbicara lain, bahwa sebagian besar WNI Tionghoa adalah pedagang. Sedangkan komunisme tidak menolerir perdagangan yang memperkaya individu-individunya. Juga fakta bahwa banyak WNI Tionghoa yang beragama, baik itu Kristen, Kong Hu Cu, Budha, maupun Islam. Begitu phobia-nya Soeharto, atau begitu antinya dia terhadap semua hal yang bernuansa Tionghoa, sampai-sampai agama Kong Hu Cu pun digolongkan sebagai ajaran yang tidak diakui dan gerak-geriknya diawasi negara. Dampaknya hak asasi umat Kong Hu Cu untuk menikah dan dicatat dalam dokumen negara dicabut. Ironisnya hal tersebut terus berlangsung sampai 3 dasawarsa kemudian, ketika ajaran komunis sudah tidak laku lagi di dunia, bahkan termasuk di negara-negara asalnya seperti Rusia dan RRT. Kebijakan pemerintah rezim Soeharto yang antisemua yang berunsur Tionghoa – kecuali uangnya itu – baru berakhir ketika Soeharto berhasil dipaksa turun dari tahtanya, dan dimulainya era reformasi. Diawali dengan kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) yang mencabut semua peraturan pemerintah yang melarang dan atau membatasi pengekspresian budaya dan adat-istiadat Tionghoa, mengakui eksistensi agama Kong Hu Cu, menyatakan Imlek sebagai hari libur fakulatif (1999), yang kemudian diikuti oleh Presiden Megawati yang meneruskan kebijakan Gus Dur tersebut, dan menyatakan Imlek sebagai hari libur resmi nasional (2003). Dalam sejarah dunia, hanya Indonesia sajalah satu-satunya negara yang secara formal sistematis melalui peraturan-peraturan negara yang resmi melarang suatu budaya dan agama mengekspresikan dirinya secara bebas. Sedemikian ketat dan kerasnya sampai mempersamakan pelanggaran dari larangan tersebut sama dengan tindak pidana kejahatan terhadap negara. Yang ditugaskan untuk mengawasi dan menjalankan peraturan-peratus rasialis tersebut bukan lagi polisi, tetapi militer. Alasan Soeharto untuk mengadakan larangan-larangan tersebut terkait dengan upaya mencegah aliran komunisme terbukti hanyalah kamuflase dari sikapnya yang cenderung anti-Cina. Yakni setelah lewat 3 dekade, ketika komunisme hampir punah dari muka bumi, bahkan sampai Indonesia kembali menjalin hubungan diplomatiknya dengan RRT pada 8 Agustus 1990, semua peraturan tersebut tidak pernah ditinjau ulang apalagi dicabut, sampai pada waktu kekuasaannya diakhiri dengan paksa pada Mei 1998. Kita masih ingat bahwa pada masa-masa itulah, antara lain dalam formulir keimigrasian yang harus diisi bagi setiap orang yang hendak masuk ke negara Indonesia dari luar negeri harus memperhatikan tentang barang-barang yang dilarang masuk. Dalam daftar tersebut terdapat barang-barang yang memang lazim dilarang di setiap negara, antara lain senjata api, bahan peledak, dan narkoba. Hanya di Indonesia, waktu itu, adalagi tambahan yang di mana pun di dunia ini tidak ada, yakni semua macam bentuk aksara dan bahasa Cina, baik dalam bentuk tulisan, suara, maupun video. Jadi, seolah-olah aksara Cina, dan sejenisnya itu segolongan dengan barang-barang haram semacam narkoba itu. Mulai April 1966 semua sekolah-sekolah yang mengajar bahasa Tionghoa yang berjumlah sekitar 629 buah ditutup paksa dengan menelantarkan 272.782 murid dan 6.478 gurunya. Menindaklanjuti perintah Presiden Soeharto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lewat keputusannya tertanggal 6 Juli 1966, melarang sekolah-sekolah swasta menerima murid-murid eks-sekolah Tionghoa , sedangkan sekolah negeri hanya diperkenankan menerima kurang dari lima persen dari jumlah muridnya (Tionghoa dalam Pusaran Politik, Benny G. Setiono, Transmedia Pustaka, 2003) . Melalui Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, tanggal 6 Desember 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina, pemerintah RI melarang semua bentuk upacara agama, kepercayaan dan istiadat budaya Cina dilakukan secara terbuka. Perayaan tersebut hanya boleh dilakukan dalam lingklungan keluarga secara terbatas dan diawasi secara ketat. Sejak saat itulah perayaan Tahun Baru Imlek berikut semua perayaan dan hari-hari raya yang berkaitan dengannya dinyatakan terlarang. Tarian naga (liong), barongsai, Cap Go Meh, dan lain-lain tiba-tiba berubah menjadi tindakan kejahatan yang bisa membuat yang nekad merayakannya bisa berurusan dengan militer dan intel negara. Supaya pelarangan tersebut bisa benar-benar efektif, pemerintah juga menerbit beberapa peraturan lainnya, seperti Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4555.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Kelenteng, dan Surat Edaran Menteri Penerangan Nomor 02./SE/Ditjen/PPG/K1968 yang melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa Cina. Pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan peraturan yang mendorong semua WNI Keturunan Cina untuk tidak menggunakan nama Cina-nya, dengan menggantikannya dengan nama lain (Barat, Jawa, dan sejenisnya). Di masa inilah kemudian diberlakukan kewajiban semua WNI Tionghoa harus memiliki SBKRI sekalipun keluarganya telah turun-temurun adalah WNI, sudah punya Akta Kelahiran WNI dan KTP WNI. Begitu alerginya atau phobianya Soeharto dengan semua yang berbau Tionghoa, sampai-sampai penyebutan nama Tionghoa (untuk WNI keturunan Tionghoa) dan Republik Rakyat Tiongkok (sebutan untuk negara Tiongkok) pun dirasakan perlu harus diubah dan diatur dengan peraturan khusus untuk diubah menjadi Cina dan Republik Rakyat Cina. Ironisnya di dalam UUD 1945 sebutan yang dipakai justru adalah “Tionghoa”, bukan Cina. Koran berbahasa Tionghoa, Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan “Hindia Belanda” dengan nama “Indonesia”, dan juga adalah koran pertama yang memuat teks lagu “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Soepratman, pada November 1928. Sin Po berganti nama menjadi Warta Bhakti, kemudian berakhir tragis selamanya karena dibredel Soeharto pada 1965 pasca G30S/PKI. Agar orang-orang keturunan Tionghoa benar-benar dapat diawasi secara efektif dan ada dasar hukumnya untuk itu dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet RI Nomor 37/U/IN/6/1967 untuk membentuk sebuah badan inteljen khusus dengan nama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Dengan demikian secara langsung, maupun tak langsung Soeharto menganggap WNI keturunan Tionghoa itu bukan bagian dari bangsa dan negara seutuhnya, tetapi adalah bagian dari masalah bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu diperoleh pembenaran untuk mengatur mereka secara diskriminatif. Inteljen negara pun segera bekerja dengan menciptakan stigma dan sterotip negatif terhadap etnis Tionghoa sebagai komunitas yang anasionalis, eksklusifisme, “binatang ekonomi”, dan lain-lain sejenisnya. Sehingga setiap saat jika diperlukan dapat dilakukan rekayasa atau memanfaatkan suatu konflik antarindividu yang salah satunya beretnis Tionghoa untuk memicukan kerusuhan anti-Cina yang luas, anarkis, dan destruktif. Fenomena ini sengaja dipelihara, agar semakin mengkristalnya suatu stigma negatif terhadap etnis Tionghoa. Dengan demikian etnis ini selalu bisa dijadikan tumbal politik setiap kali pemerintah membutuhkannya. Ketika pemerintah gagal dalam menjalankan suatu kebijakan (ekonomi), misalnya harga barang-barang kebutuhan pokok yang naik, maka yang selalu dipersalahkan adalah etnis ini. Agar rakyat dapat menumpahkan kemarahannya bukan kepada pemerintah, tetapi terhadap etnis Tionghoa. Sepanjang pemerintahan rezim Soeharto ini nyaris hampir setiap tahun ada saja kerusuhan-kerusuhan anti-Cina, yang berupa penjarahan, perusakan dan pembakaran properti-properti milik etnis Tionghoa. Dengan terciptanya fenomena demikian, maka rezim Soeharto menciptakan juga suatu persepsi bahwa kehadiran militer di masyarakat sipil terus diperlukan, dan sebagai bentuk intimidasi untuk kelompok oposisi. Agar pemerintah juga senantiasa mendapat legitimasi untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang represifnya. Benny G. Setiono mencatat sebagian dari kerusuhan-kerusuhan anti-Cina tersebut di dalam bukunya, Tionghoa dalam Pusaran Politik, 2003, antara lain sbb: - Di Bandung, 5 Agustus 1973. Pemicunya hanya karena ada seorang tukang gerobak bernama Asep bin Tosin tersenggol mobil VW yang dikemudi seorang pemuda Tionghoa, - Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), yang semula berupa unjuk rasa anti-Jepang menyambut kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka, tiba-tiba berubah menjadi demo ant-Cina dengan menjarah dan merusak/membakar toko-toko milik orang Tionghoa. - Di Solo, dipicu perkelahian tiga siswa SGO, pada 22 November 1980, pecah kerusuhan anti-Cina yang melebar sampai ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, hingga melumpuhkan Semarang sampai tanggal 25 November 1980. - Selanjutnya, menjelang kejatuhan Soeharto, kerusuhan anti-Cina malah semakin menjadi-jadi. Antara lain: di Purwakarta, 31 Oktober – 2 November 1995; di Pekalongan, 24 November 1995; di Situbondo, 10 Oktober 1996; di Tasikmalaya, 26 Desember 1996; di Senggau Ledo, 30 Desember 1995 – 2 Januari 1996; di Tanah Abang, Jakarta, 28 Januari 1997; di Rengasdengklok, 27 – 31 Januari 1997; di Banjarmasin, 23 Mei 1997; di Makassar, 15 September 1997, dan masih banyak lagi yang tidak terekam media. - Puncaknya, di Jakarta dan Solo pada 13 – 15 Mei 1998, terutama sekali di Jakarta dan sekitarnya, yang dikenal dengan sebutan “Kerusuhan Mei 1998”. Sebelum, seminggu kemudian, 22 Mei 1998, Soeharto menyatakan dirinya turun dari tahtanya yang selama lebih dari 30 tahun didudukinya. Dengan terciptanya stigma serba negatif terhadap etnis Tionghoa di masa itulah Soeharto semakin mendapat pembenaran untuk terus menjalankan upaya pemusnahan budaya dan adat-istiadan Tionghoa dari bumi Nusantara itu. Bahwa kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa tersebut kental dengan unsur rekayasanya terlihat dengan begitu jatuhnya rezim Soeharto, tidak pernah ada lagi kerusuhan-kerusuhan rasial serupa. Meskipun ada konflik, atau tindak pidana yang dilakukan individu etnis Tionghoa dengan korbannya warga “pribumi”. Misalnya, penganiayaan majikan Tionghoa terhadap pembantunya di Surabaya beberapa bulan lalu. Sebuah kejadian yang di masa Soeharto sudah lebih dari cukup sebagai pemicu meletusnya kerusuhan rasial anti-Tionghoa. Terbukti pula bahwa pada hakikatnya, terutama sekali pada masa pasca runtuhnya rezim Soeharto sampai sekarang, wawasan masyarakat adalah jauh lebih dewasa dan luas. Dapat membedakan antara pelaku suatu tindak pidana sebagai individu dengan suatu etnis tertentu. Apabila kebetulan pelaku kejahatannya adalah dari etnis Tionghoa tertentu, maka yang harus bertanggung jawab adalah yang bersangkutan sendiri. Bukan satu Tionghoa bersalah, seluruh Tionghoa yang harus menanggung akibatnya. Sebagaimana fenomena yang sering terjadi di masa kekuasaan Soeharto. Sekarang, etnis Tionghoa telah terbebas dari belenggu rasialisme yang diciptakan Soeharto selama tiga dekade tersebut. Imlek bukan saja bebas dirayakan dengan segala macam atributnya, seperti tarian barongsai dan naga, tetapi bahkan dinyatakan sebagai hari libur nasional. Ini mungkin sesuatu yang melebihi dari harapan etnis Tionghoa atas pengakuan negara terhadap eksistensinya sebagai bagian dari bangsa dan negara NKRI. Di semua bidang yang dulu tabu bagi etnis Tionghoa, sekarang telah terbuka lebar. Masyarakat WNI Tionghoa pun dapat berkiprah di bidang sosial dan politik, pemerintahan, budaya dan seni, dan lain-lain. Fenomena ini membuat kehidupan berbangsa dan bernegara semakin bergairah, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika pun membuktikan kebenarannya. Bahwa budaya dan adat-istiadat Tionghoa, aksara, huruf dan bahasa Tionghoa, tarian barongsai dan naga, agama Kong Hu Cu, dan seterusnya, bukan merupakan sesuatu hal yang berbahaya seperti anggapan rezim Orde Baru, tetapi adalah sebaliknya. Budaya tersebut kini bukan hanya milik monopoli orang-orang Tionghoa di Indonesia saja, tetapi sudah merupakan bagian nyata dari bangsa Indonesia. Tarian-tarian barongsai dan naga saat ini sudah sangat banyak dilakukan oleh para penari-penari dari etnis "pribumi". Bahkan tidak sedikit pula yang diperagakan oleh anggota-anggota militer (tentara) di berbagai daerah. Setiap ada pertunjukan tarian Barongsai dan Tarian Liong (Naga) selalu saja menarik antusias tinggi dari masyarakat sekitarnya untuk menontonnya. Merupakan bukti penerimaan sepenuhnya budaya asal Tiongkok ini oleh masyarakat di Indonesia. [caption id="attachment_157196" align="aligncenter" width="400" caption="Dua anggota Detasemen Kavaleri-2 Beruang Cakti Kalbar, memeragakan barongsai di atas panser, usai sertijab Komandan Detasemen Kavaleri-2 Beruang Cakti Kalbar di Pontianak.(Foto: ANTARA/Jessica Wuysang/ed/mes/09 "]
Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 24 Januari 2012 antara lain menulis: Terbukanya ruang kebebasan dan adanya kesetraan politik tentunya juga membawa konsekuensi kian besarnya tanggung jawab warga negara keturunan untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kontribusi mereka kepada bangsa ditunggu. Apa yang dikatakan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy patut direnungkan. Jangan bertanya apa yang negara bisa berikan kepada kita, tetapi bertanyalah apa yang kita bisa berikan kepada negara.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H