[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Rhoma Irama (Kompas.com)"][/caption]
Tadi sore (Kamis, 1 Mei 2014) di acara berita Metro TV, Metro Hari Ini, ada berita mengenai Rhoma Irama lagi. Kalau beberapa hari lalu Rhoma menyampaikan ancamannya kepada PKB melalui tim suksesnya bahwa jika PKB batal mencalonkan dirinya sebagai presiden, maka dia akan menarik dukungannya kepada PKB, maka kali ini Rhoma sendiri yang menyampaikan ancamannya kepada PKB. Kata dia, jika PKB jadi berkoalisi dengan PDIP, dia juga akan menarik dukungannya kepada PKB. Dengan kata lain dia tidak setuju PKB berkoalisi dengan PDIP. Alasannya, “Saya tidak mau berpasangan dengan Jokowi,” katanya. “Bukan karena saya tidak suka Jokowi, tetapi hanya tidak cocok,” Rhoma menjelaskan. Seolah-olah PDIP yang benar-benar menginginkan dirinya berpasangan dengan calon presiden mereka, Jokowi. Juga, seolah-olah sedemikian pentingnya dia bagi PKB, sehingga mau mengatur-ngatur PKB harus berkoalisi dengan parpol yang mana saja.
Padahal pernyataan Muhaimin Iskandar bahwa PKB tetap akan menawarkan tiga nama cawapres-nya (Jusuf Kalla, Mahmud MD, dan Rhoma Irama) jika berkoalisi dengan PDIP itu, sudah pasti tidak lebih dari suatu pernyataan basa-basi saja, karena semua orang sudah tahu syarat yang telah ditetapkan oleh PDIP bagi parpol yang mau berkoalisi, atau bekerja sama (menurut istilah PDIP), yakni, tidak ada politik dagang sapi, tidak ada janji-janji bagi-bagi kekuasaan, bagi-bagi kursi, termasuk tawar-menawar calon wakil presiden sebagai syaratnya. Dengan kata lain PDIP-lah yang lebih menentukan apa saja syarat-syarat untuk bisa bergabung dengan mereka. Jika deal, kerjasama dilanjutkan. Jika tidak, sampai di sini saja alias batal.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang semula mencoba jual mahal pun kini menyadari hal itu. Kata dia, PKB tak akan berkecil hati jika nantinya tokoh yang mereka ajukan sebagai pendamping Jokowi, tidak dikehendaki PDIP. Sedangkan Mahmud MD bilang, partainya tetap berkoalisi dengan PDIP, meskipun umpamanya dirinya juga tidak diinginkan PDIP sebagai pendamping Jokowi.
"Ya kan soal cawapres-nya dipilih oleh Bu Mega. Mestinya tetap deal," Mahfud MD, usai bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh di Kantor DPP Nasdem, Jakarta, Rabu (30/4/2014) (Liputan6.com)
[caption id="" align="alignleft" width="206" caption="Pendukung Rhoma Irama di Cirebon, Jawa Barat, membakar bendera PKB, karena kecewa PKB batal men-capres-kan Rhoma Irama, 28/04/2014 (bisnis.com)"]
Ini kok ada orang yang katanya tidak berambisi menjadi presiden, tetapi sangat kepingin menjadi presiden, sampai-sampai begitu keblinger-nya, merasa dirinya seolah-olah sudah pasti menjadi presiden, sampai pakai ancam-ancam segala. Padahal saya yakin 100 persen, PDIP, maupun Jokowi tak bakal mau Rhoma Irama dipasangkan dengan Jokowi. Lebih baik bubar koalisi, daripada Rhoma dipaksakan menjadi pasangan Jokowi.
Ketika merespon ancaman Rhoma yang pertama saja, melalui media, PKB sudah menghimbau kepada Rhoma untuk bersikap realistis. Dengan perolehan suara sembilan koma sekian persen, PKB tidak mungkin punya calon presiden sendiri. Oleh karena itu PKB tahu diri, dan sudah memastikan diri tidak punya calon presiden sendiri, termasuk Rhoma Irama (Kompas.com).
Di waktu Pileg, 9 April lalu, perolehan suara PKB di TPS tempat Rhoma mencoblos sangat jauh dari harapan, hanya mendapat 17 suara, atau hanya ada di posoisi ketujuh. PDIP justru berada di urutan pertama dengan 55 suara, di urutan kedua Gerindra dengan 50 suara, PKS 30, Demokrat 28, PAN dan Golkar 18 suara (Republika.co.id).
Tetapi, rupanya Rhoma tetap merasa seolah-olah sudah menjadi presiden di alam khayalannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H