[caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Aksi mahasiswa ITB menolak kedatangan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, dengan alasan menjaga netralisasi kampus ITB (Republika.co.id)"][/caption]
Dalam waktu singkat sandiwara politik dua muka sejumlah mahasiswa ITB terbuka topengnya. Dengan pura-pura bersikap steril politik, pada 17 April lalu, mereka melancarkan aksi penolakan atas kedatangan Gubernur DKI Jakarta Jokowi ke kampus mereka, dengan alasan netralitas kampus dari segala macam politisasi. “Tolak politisasi kampus!” seru mereka, berusaha “mengusir” Jokowi.
Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB) Mohammad Jeffry Giranza mengatakan, “Kami bukan menolak Jokowi, tetapi kami hanya menjaga netralitas kampus.” Benarkah murni demikian alasan penolakan mereka itu?
Kedatangan Jokowi ke kampus ITB itu adalah dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang diundang oleh Rektor ITB Akhmaloka dalam rangka memperpanjang nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara DKI Jakarta dengan ITB di dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kerjasama ini sudah ada sebelumnya, tetapi sudah berakhir sejak pertengahan 2013. Kedatangan Gubernur DKI Jakarta itu ke ITB dalam rangka penandatanganan perpanjangan kerjasama tersebut.
Rektor ITB Akhmaloka menjelaskan, penandatanganan MoU itu sangat diperlukan, karena jika tidak ada perpanjangan MoU itu, pihaknya tidak bisa melakukan pengembangan penelitian, yang juga termasuk di dalamnya mewujudkan program “Bandung Smart City.”
Jokowi mengatakan, nota kesepahaman kerja sama itu meliputi beberapa bidang, antara lain pengelolaan air, sungai, penanggulangan bencana di Jakarta dan pengembangan DKI Jakarta sebagai smart city, kota berbasis teknologi canggih. Untuk itulah tenaga-tenaga akademik potensial mahasiswa ITB diperlukan (Kompas.com).
Dalam rangka itulah, Rektor ITB juga meminta Jokowi menyampaikan kuliah umumnya untuk menjelaskan mengenai program dan kerjasama tersebut kepada para mahasiswa ITB.
Jadi, kedatangan Jokowi ini benar-benar murni merupakan suatu kunjungan kerjanya sebagai Gubernur DKI Jakarta, tidak ada hubungan sedikitpun dengan politik pencapresan, sebagaimana dituduh mahasiswa ITB itu. Jokowi tidak datang dengan atribut apapun yang bisa ditafsirkan membawa misi politiknya sebagai bakal capres PDIP.
Meskipun demikian, dalam situasi demikian pun, Jokowi masih memperlihatkan sikap bijaksananya, ciri seorang pimpinan yang baik. Ketika diberi kesempatan menyampaikan kuliah umumnya, Jokowi hanya menjelaskan maksud kedatangannya itu sebagaimana dijelaskan di atas. Dia memilih tidak jadi memberi kuliah umumnya itu. Ketika ditanya alasannya, Jokowi mengatakan hal tersebut dilakukan untuk menjaga kondisi kampus agar tetap kondusif.
"Ya, agar tidak terjadi polemik. Saya menjaga suasana saja," kata Jokowi (Kompas cetak, Sabtu, 19/04/2014).
Masa iya, gara-gara Jokowi sudah diumumkan sebagai bakal capres dari PDIP, lalu dia tidak boleh lagi menjalankan tugas jabatannya untuk mengunjungi lembaga-lembaga tertentu, tidak boleh lagi ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi manapun, termasuk ITB? Apalagi secara resmi Jokowi belum ditetapkan sebagai capres oleh KPU.
Jangan-jangan nanti ada juga aksi penolakan kehadiran Jokowi di Balaikota DKI Jakarta, dengan alasan menolak politisasi Balaikota DKI Jakarta!?
Alasan mahasiwa ITB menolak kedatangan Jokowi di kampus mereka sebagaimana diutarakan oleh Ketua Kabinet KM ITB Mohammad Jeffry Giranza itu segera terbongkar kepalsuannya setelah terungkap informasi bahwa ternyata mahasiwa ITB yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) telah mengundang sejumlah pimpinan partai politik Islam ke kampus mereka, di antaranya Presiden PKS Anis Matta, dan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, untuk memberi kuliah umum dalam acara “Islamic Leadership Festival.”
Di “Islamic Leadership Festival” yang bakal digelar 10-11 Mei itu, mereka juga mengundang beberapa tokoh Islam, di antaranya Yusril Ihza Mahendra, Mahfud Md., Daud Rasyid, dan Din Syamsuddin. Thema acara itu adalah "Mencari Pemimpin Ideal".
Dibandingkan dengan acara kedatangan Jokowi di kampus ITB yang ditolak mereka itu, sangat jelas justru acara “Islamic Leadership Festival” dengan thema “Mencari Pimpinan Ideal” dengan nara sumber ketua parpol Islam dan beberapa tokoh Islam itu jelas-jelas sangat bermuatan politis. Dilihat dari namanya saja sulit disangkal bahwa acara ini bermuatan politis.
Jadi, jelas sudah, alasan penolakan kedatangan Jokowi oleh sejumlah mahasiswa ITB yang sebenarnya adalah alasan politik. Para mahasiswa itu adalah para simpatisan dan pendukung parpol-parpol Islam dan anti-Jokowi. Karena mereka mendukung bakal capres dari parpol-parpol itu, maka itu mereka segera melakukan penolakan kedatangan Jokowi yang diasosiasikan sebagai capres lawan politik parpol-parpol Islam dukungan mereka itu.
Mohammad Jeffry Giranza ketika dikonfirmasi tentang acara yang mengundang sejumlah ketua parpol Islam ke kampus mereka itu, mengatakan, dia sudah mengetahui rencana acara tersebut. Namun, KM ITB belum bersikap mengenai kegiatan itu. “Kami akan mengkaji apakah acara bersama politikus itu bermuatan politis atau tidak,” katanya kepada Tempo.co, Sabtu, 19 April 2014, di Bandung.
Menurut Jeffry, KM ITB baru pekan depan akan berkoordinasi dengan Gamais ITB dan himpunan atau kelompok mahasiswa lain di kampus Ganesha. “Kami bisa meminta penundaan acara atau pembatalan.”
Saya lebih percaya itu hanyalah gaya diplomatis Jeffry saja utnuk tidak secara terang-terangan mengatakan sudah sejak awal mereka memang tidak akan mengajukan larangan bahkan mendukung kedatangan para ketua parpol dan tokoh Islam itu, untuk membicarakan masalah politik di kampus mereka, dengan berthemakan bagaimana mencari pimpinan bangsa (baca: presiden) yang ideal. Tentu saja ideal versi mereka adalah berdasarkan ideologi yang mereka anut.
Sebab acara kedatangan Jokowi yang tidak kelihatan unsur politiknya itu bisa mereka langsung menolaknya, tetapi terhadap acara yang akan diselenggarakan Gamais ITB yang jelas-jelas kelihatan unsur-unsur politiknya itu, masih bisa pakai alasan memerlukan waktu pengkajian terlebih dulu. Ini cuma alasan yang dibuat-buat, sambil mencari alasan untuk membenarkan dibiarkan acara yang diselenggarakan Gamais ITB itu tetap berlangsung seperti rencana semula.
Jika memang benar demikian adanya, maka jelaslah sudah para mahasiswa ITB itu telah melaksanakan politik keberpihakan mereka di kampus Ganesha itu. Tetapi tidak berani berterus terang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H