Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perwira Polri Boleh, Pemimpin/Penyidik KPK Harus Ditangkap

4 Mei 2015   23:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:22 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1430756390787549702

[caption id="attachment_364419" align="aligncenter" width="558" caption="Penyidik KPK Novel Baswedan (tengah) mengenakan baju tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, 1 Mei 2015. ANTARA FOTO"][/caption]

Jumat dini hari, sekitar puluk 01:15 WIB, 1 Mei 2015, sejumlah polisi dari Bareskrim Polri menangkap penyidik terbaik KPK Novel Baswedan di rumahnya. Dia langsung dibawa ke Mabes Polri, setelah diperiksa sekitar 10 jam, dia pun dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat untuk ditahan, tak lupa seragam tahanan oranye dengan nomor 150 pun dikenakan kepadanya, dengan kedua tangan diikat tali.

Sebelumnya, seperti yang sudah diketahui, Novel telah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya salah seorang tersangka pencuri sarang burung walet, yang terjadi di Bengkulu, saat ia menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Bengkulu, pada 2004,  sebelas tahun yang lalu!

Kasus itu sebenarnya sudah klir pada 2004 itu juga (Novel bukan pelakunya), tetapi kemudian pada 2012 diungkitkan kembali Polri dengan tuduhan baru bahwa Novel-lah pelaku utamanya, dengan alasan itu Novel mau ditangkap di gedung KPK.  Hal itu terjadi setelah Novel sebagai penyidik KPK sukses menangani kasus korupsi di Korps lalu Lintas Polri dengan pelaku utamanya Irjen Djoko Susilo. Upaya kriminalisasi pada 2012 itu berhenti setelah Presiden SBY memerintahkan agar kasus Novel itu dihentikan karena waktu dan cara penanganannya yang tidak tepat.

Pada 2015, setelah Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, dendam terpendam itu pun kembali membara, bahkan menyala-nyala jauh lebih hebat daripada di 2012. Kali ini dengan lebih leluasa pelampiasan dendam itu bisa mereka lakukan setelah Presiden Jokowi justru terkesan memberi angin. Dua pimpinan KPK, yakni Bambang Widjojanto dan Abraham Samad diberhentikan setelah Polri lewat upaya kriminalisasi menetapkan keduanya sebagai tersangka.

Bambang dan Abraham pasti sudah ditahan seandai saja tidak ada protes keras dari lima pimpinan sementara KPK. Sebelumnya, semua penyidik KPK yang menangani kasus Budi Gunawan juga sempat hendak ditersangkakan. Novel Baswedan yang gagal ditangkap pada 2012 itu pun disasar kembali.

Dendam terhadap Novel Baswedan itu berhasil dilampiaskan pada Jumat dini hari itu, sebagaimana disebut di awal artikel ini. Setelah menangkap Novel, seluruh rumahnya pun digeledah, termasuk tubuh istri dan anak-anaknya juga digeledah oleh beberapa orang polisi wanita. Entah barang bukti apa yang hendak mereka cari di tubuh istri dan anak-anak Novel tersebut, kalau bukan dengan maksud sebagai pembuat teror mental?

Penangkapan Novel: Pendekatan Pemimpin KPK yang Tak Digubris

Kenapa untuk kasus yang terjadi sebelas tahun yang lalu dan diungkitkan kembali itu, polisi sampai merasa perlu menangkap Novel Baswedan saat dini hari, di rumahnya, disaksikan istri dan anak-anaknya, bahkan mereka juga ikut digeladah itu? Tidak cukup itu saja, Novel pun diborgol dan dikenakan seragam tahanan.

Kapolri Badrodin Haiti dan Kabareskrim Polri Budi Waseso punya jawabannya. Jawaban atau argumennya itu sama, yaitu karena Novel sudah dipanggil dua kali, tetapi mangkir. Oleh karena itulah di pagi buta itu ia memang harus ditangkap.

Sedangkan tentang kenapa harus di rumahnya di tengah malam buta sehingga disaksikan istri dan anak-anaknya, bahkan mereka juga ikut digeledah, belum ada penjelasannya. Tapi kita bisa menduga sendiri, yaitu: Kalau bukan sebagai suatu bentuk teror mental, mempermalukan, menghancurkan harkat Novel di hadapan keluarganya sendiri, apa lagi alasan lain yang lebih masuk akal?

"Sudah dua kali mangkir, alasannya tugas. Kalau menunggu selesai tugas, ya tunggu pensiun," itu argumen dari Badrodin Haiti, ketika menyanggah perintah Presiden Jokowi untuk melepaskan Novel.

Senada dengan argumen Kapolri tiu, Kabareskrim Polri Budi Waseso pun berujar, Jumat(01/05), "Memang dilakukan penangkapan karena secara prosedural undang-undang memang harus ditangkap, karena sudah dipanggil dua kali tapi yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan penyidik. Menghindar dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan."

Penangkapan itu dilakukan, menurut Buwas, sapaan Budi Waseso, karena sebenarnya berkas Novel sudah P19. Salah satu petunjuknya yaitu harus dilakukan pemeriksaan pada Novel.

"Namun kan yang bersangkutan tidak proaktif dan selalu menghindar. Ini memberatkan dan menghambat proses penyidikan," katanya lagi (beritasatu.com).

Padahal, di saat panggilan pertama, Novel sedang berada di Makassar, dan saat panggilan keduanya (26/02/2015), sebenarnya Novel sudah hendak memenuhi panggilan tersebut, tetapi justru ia dilarang oleh pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Ruki menilai Novel tak perlu memenuhi panggilan tersebut, karena dapat berdampak pada memanas lagi hubungan KPK dengan Polri, setelah sebelumnya sudah berangsur-angsur baik. Selain itu ia merasa perlu melindungi anak buahnya itu dari perlakuan berlebihan dari pihak Polri. Rupanya ia sudah bisa menduga jika Novel memenuhi panggilan tersebut, ia pasti ditahan (Kompas.com).

Untuk kepentingan tersebut pula, sebetulnya para pemimpin KPK sudah melakukan pembicaraan dengan Badrodin Haiti, yang ketika itu (Februari 2015) masih sebagai Wakapolri/pelaksana tugas Kapolri. Demikian juga, saat itu, Ruki juga telah mengirim surat kepada Kabareskrim Polri Budi Waseso (Buwas), yang pada intinya meminta kasus Novel bisa diteruskan tanpa perlu menahannya (rmol.com).

Novel juga menegaskan bahwa ia juga sudah benar-benarkan melakukan konfirmasi ke pemimpin KPK, apakah benar mereka sudah melakukan koordinasi dengan Mabes Polri perihal tidak perlunya dia memenuhi panggilan tersebut. Novel juga mengaku dia sempat membaca salinan surat Ruki kepada Kabareskrim tersebut di atas.

Tetapi, rupanya semua pendekatan dari pemimpin KPK itu tak digubris, buktinya Polri tetap melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Novel Baswedan di Jumat dini hari itu. Sesuatu yang sekarang tidak mengherankan kita lagi, betapa tidak perintah Presiden saja bisa diabaikan, bahkan dikatakan lebay!

Mangkir dari Panggilan:  Perwira Polri Boleh, Novel Harus Ditangkap

Baik Badrodin Haiti, maupun Budi Waseso menyatakan atas nama hukum Novel memang harus ditangkap karena dua kali dipanggil tetap mangkir, tetapi bagaimana dengan perwira Polri sendiri, yang juga pernah dipanggil KPK tetapi mangkir?

Saat menangani kasus dugaan penerimaan gratifikasi oleh Budi Gunawan, KPK memanggil beberapa perwira polisi untuk diminta keterangannya, tetapi hampir semua tidak memenuhi panggilan tersebut. Salah satunya adalah Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Herry Prastowo, yang menandatangani surat perintah penangkapan terhadap Novel dengan alasan sudah dua kali dipanggil tetapi tidak datang itu.  Padahal, ia sendiri saat dipanggil KPK terkait kasus Budi Gunawan, juga selalu mangkir, bahkan sampai tiga kali panggilan, sampai KPK dilumpuhkan dengan penetapan dua pemimpinnya sebagai tersangka dan diberhentikan oleh Jokowi.

Menurut laporan Majalah Tempo, Herry merupakan salah satu Jenderal yang pernah menyetor duit ke rekening Budi Gunawan. Herry mentransfer sekitar Rp 300 juta pada Januari dan Mei 2006. Saat itu Herry masih bertugas sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Herry diduga mentransfer uang itu langsung ke rekening Budi Gunawan yang memegang jabatan penting, yakni Kepala Biro Pembinaan Karier Mabes Polri (Tempo.co).

Mangkirnya para perwira Polri dari panggilan KPK, di antaranya Brigjen Herry itu, tetapi tidak dipermasalahkan, menimbulkan pertanyaan: kalau penyidik/pemimpin KPK dipanggil polisi, tapi dia mangkir, maka dia harus ditangkap, sedangkan kalau yang mangkir itu perwira Polri dari KPK, itu boleh-boleh saja, ya?

Kasus KTP Palsu:  Budi Gunawan Boleh, Abraham Samad Harus Ditangkap

Demikian juga dengan kasus yang membuat Polri   menetapkan Abraham Samad sebagai tersangka, yaitu tuduhan bahwa Ketua KPK non-aktif itu pernah melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen kependudukan, yaitu pada KSK, dan KTP yang asli tapi palsu atas nama Feriyani Lim.

Padahal terungkap pula Komjen Budi Gunawan, yang kini Wakapolri, juga pernah punya KTP palsu. Bahkan jika dibandingkan dengan Abraham Samad – seandainya benar tuduhan polisi itu, kasus Abraham Samad itu merupakan pelanggaran hukum ecek-ecek, yang sudah umum pernah dilakukan oleh jutaan anggota masyarakat di Indonesia. Yang seharusnya, tak punya nilai untuk diproses hukum apalagi dipaksakan dijadikan suatu tindak pidana super berat, sehingga Abraham pun sempat sudah dinyatakan ditahan oleh Polda Sulselbar itu.

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pernah membuat pernyataan tentang kasus yang dituduhkan kepada Abrahaam Samad itu. Menurutnya, jika pun apa yang dituduhkan kepada Abraham itu benar, itu bukan tindak pemalsuan serius, tetapi hanya berupa mala prohibita.

Mahfud menjelaskan, mala prohibita cenderung pada pelanggaran aturan yang tidak merugikan pihak mana pun. Dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh undang-undang.

"Misalnya, orang mencantumkan nama orang di KK (kartu keluarga) karena keperluan praktis, misalnya saya punya pembantu tanpa ada dokumen resmi dari daerah asalnya. Saya bawa ke kantor kelurahan, 'Tolong nih cantumkan pembantu saya ke dalam keluarga saya'," kata Mahfud ketika itu (Kompas.com, 06/02/2015).

Sedangkan pada kasus KTP palsu Budi Gunawan, sebagaimana penemuan penyidik KPK, yang ditulis Majalah Tempo, edisi 25 Januari 2015, KTP palsu itu diduga kuat digunakan Budi Gunawan untuk membuka rekening bank kamuflase, khusus untuk menerima transfer-transfer dana (gratifikasi) yang disetorkan oleh beberapa perwira polisi sebagai imbalan ditempatkan di daerah-daerah atau jabatan-jabatan “basah” semasa dia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Mabes Polri (2004-2006).

Salah satu nama perwira polisi yang dicantumkan Tempo sebagai penyetor dana itu adalah Herry Prastowo, sekarang Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, yang menandatangani surat perintah penangkapan Novel Baswedan itu.

Untuk KTP palsu Budi Gunawan ini secara tak langsung sudah diakui Budi Waseso. Hanya saja Budi Waseso membelanya dengan mengatakan adalah wajar sebagai polisi penegak hukum Budi Gunawan mempunyai KTP ganda (palsu) yang biasa dipakai oleh polisi sebagai langkah penyamaran dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelidik dan penyidik (Tempo.co). Padahal yang ditemukan penyidik KPK adalah KTP itu diduga digunakan Budi Gunawan untuk membuka rekening bank kamuflase sebagaimana sudah disebutkan itu.

Dalam putusan praperadilan Budi Gunawan, Hakim Sarpin Rizaldi antara lain menyatakan Budi Gunawan adalah polisi yang bukan termasuk penegak hukum karena ia bukan penyelidik atau penyidik Polri, yang diamini oleh kubu Budi Gunawan, termasuk Budi Waseso. Sesuatu yang sangat kontradiksi dari pernyataannya sendiri yang membenarkan Budi Gunawan boleh punya KTP palsu tersebut di atas.

Padahal di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, di lebih dari satu pasal ditegaskan bahwa semua polisi adalah penegak hukum.

Demikian juga dengan sikap Badrodin Haiti tentang KTP palsu Budi Gunawan, tidak menganggapnya serius. Ketika ditanya Tempo, Badrodin Haiti meresponnya dengan berkelakar, katanya, “Mungkin milik adiknya, kakaknya, atau saudara kembarnya. … Kita kan enggaktahu. Alamat dan namanya beda, tapi mukanya memang mirip.”

Jadi, rupanya bagi Budi Waseso, maupun Badrodin Haiti, polisi boleh saja punya KTP palsu, tanpa perlu ambil pusing untuk apa KTP palsu itu dibuat. Tetapi bagi penyidik KPK, jangan coba-coba berbuat hal yang sama, sekalipun jauh lebih ringan kadar pelanggarannya, kalau tidak mau senasib dengan Abraham Samad.

Polisi boleh punya KTP palsu, yang lain ditangkap, kalau punya.

Jawaban Diplomatis Novel Baswedan

Di Kompas TV, hari ini, Senin, 4 Mei 2015, di dalam acara Kompas Petang, ada acara wawancara eksklusif presenter Aiman Witjaksono dengan Novel Baswedan. Saat ditanya, apakah ia melakukan penganiayaan berat sebagaimana dituduhkan kepadanya itu, Novel yang tidak mau membahas materi perkaranya di media itu hanya menjawab dengan satu kata: tidak.

Ketika ditanya Aiman, jadi, apakah dia menganggap apa yang terjadi pada dirinya itu merupakan suatu kriminalisasi, Novel dengan diplomatis menjawab bahwa selama ini di banyak daerah ada banyak kasus penganiayaan serupa yang dilakukan oleh polisi. Pertanyaannya adalah dari sekian banyak itu apakah ada yang ditangani Mabes Polri (seserius) seperti yang terjadi pada dirinya?

Novel juga membenarkan pernyataan Aiman bahwa terjadi suatu kejanggalan yang teramat sangat bahwa kasus penganiayaan berat seperti itu bukan delik aduan, tetapi kenapa setelah delapan tahun kemudian (2012) dan sebelas tahun kemudian (2015) barulah kasus ini tiba-tiba mau disidik, dengan alasan karena ada pengaduan dari keluarga korban?

Terhadap pertanyaan diplomatis Novel tersebut di atas, kebetulan pula kini di Makassar sejumlah LSM yang antara lain terdiri dari LBH Makassar, YLBHM, KontraS, dan Anti Corruption Committe (ACC) membuka posko untuk menampung laporan korban penganiayaan dan penembakan yang dilakukan polisi.

Menurut Wiwin Suwandi dari ACC, di Sulawesi Selatan ada banyak kasus penganiayaan dan penembakan yang dilakukan polisi, sehingga mereka merasa perlu membuka posko tersebut. Kegiatan tersebut terkait dengan penangkapan Novel dengan tuduhan melakukan penganiayaan sebelas tahun yang lalu itu.

Sebelum ramai-ramai kasus Novel, Wiwin mengaku, mereka sudah menerima banyak laporan penganiayaan dan penembakan oleh polisi di daerah tersebut.

"Yang baru-baru saja terjadi, kasus penyerangan kampus UNM Makassar, hingga penganiayaan mahasiswa dan perusakan yang dilakukan polisi, belum bisa diusut oleh Polda Sulselbar. Ditambah lagi beberapa wartawan di Makassar yang ikut dianiaya polisi dan kameranya dirusak, ini masih mengambang hingga kini. Belum lagi ada puluhan anggota geng motor yang ditembak polisi," kata dia.

Kabareskrim Komjen Budi Waseso diharapkan bisa mengungkap semua kasus penganiayaan dan penembakan yang dilakukan anggota polisi di Makassar, Sulawesi Selatan.

"Ini tantangan bagi Budi Waseso mengungkap semua kasus anggotanya. Jika dia tidak bisa mengungkap semua kasus di Makassar, berarti Budi Waseso adalah pejabat titipan untuk menghancurkan KPK," papar pekerja Anti Corruption Committee (ACC), Wiwin Suwandi, Senin (4/5/2015) (Kompas.com).

Itu baru di Makassar/Sulawesi Selatan, belum lagi di daerah lain di seluruh Indonesia.

KPK Tidak Kebal Hukum, Polri Juga

Dalam jumpa persnya seusai melakukan pembicaran dengan Kapolri mengenai kasus penangkapan dan penahanan Novel Baswedan, Ketua sementara KPK, Ruki mengingatkan kepada publik  bahwa semua pemimpin dan penyidik KPK tidak ada yang kebal hukum. Tentu saja!

Seharusnya, demikian juga polisi. Seharusnya Ruki juga bilang: Juga  tidak ada polisi yang kebal hukum, setinggi apa pun pangkat dan jabatannya.  Ruki mungkin lupa menegaskan hal ini juga.

Yang pasti adalah fakta yang sudah terjadi: Kalau penyidik KPK mangkir dari panggilan polisi, maka ia layak ditangkap di pagi buta dan langsung ditahan, tidak demikian dengan polisi, meskipun dipanggil sampai tiga kali oleh KPK, boleh saja mangkir, dan tidak perlu dipersoalkan. Hal yang sama juga berlaku untuk pemalsuan dokumen kependudukan sebagaimana saya sebutkan di atas: Budi Gunawan boleh bikin KTP palsu, tetapi jika itu juga dilakukan  Abraham Samad, maka ia harus segera ditangkap karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen kependudukan. *****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun