Dari Kupang, NTT, pada Rabu, 9 Februari kemarin, SBY mengeluarkan perintah kepada aparat penegak hukum agar mencari jalan secara sah dan legal untuk membubarkan organisasi massa perusuh, ataupun kerumunan massa pembuat kerusuhan.
“Jika ada kelompok dan organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi kekerasan, maka kepada penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah atau legal, jika perlu dilakukan pembubaran atau larangan,” demikian perintah yang datang langsung dari mulut Presiden SBY.
Apakah perintah SBY ini akan dipatuhi para bawahannya, dan ampuh membuat para ormas dimaksud menjadi jera?
Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu, perintah SBY biasanya seperti angin yang lewat. Tanpa membawa efek yang berarti.
Sebagai contoh saja, perintahnya kepada Kapolri agar segera memburu dan menangkap para pelaku teror yang menyerang kantor Majalah Tempo dengan bom molotov, dan penganiayaan terhadap aktivis ICW, Tama Satya Langkun, pada Juli 2010 lalu, sampai Kapolri-nya berganti (dari Bambang Hendarso Danuri ke Timur Pradopo), sampai hari ini tidak ada terdengar bagaimana hasilnya.
Yang lain, pada Januari 2011 lalu, SBY mengeluarkan perintah kepada para penegak hukum, berupa 12 butir instruksi untuk menuntaskan kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan, di bawah pimpinan Wapres Boediono.
Sampai hari ini pun tak terdengar sudah sejauh mana hasilnya. Yang terjadi kasus Mafia Pajak tersebut bukannya menjadi lebih terang, tetapi malah semakin ambur-adul, kusut, ruwet, tidak-keruan.
Ini sebenarnya merupakan cermin dari ketidakpatuhan, atau ketidakmampuan para pejabat tinggi negara di bidang penegakan hukum dalam melaksanakan perintah Presiden. Karena SBY di mata mereka tidak punya wibawa yang cukup untuk disegani.
Ironisnya, Presiden SBY pun, seolah-olah kemudian melupakannya. Tiada sanksi dalam bentuk apapun kepada mereka yang tidak mampu, atau malah mungkin tidak mau melaksanakan perintahnya tersebut. Perintah tersebut dipandang enteng oleh para bawahannya itu.
Maka tidak usah heran kalau nanti perintah SBY kepada para penegak hukum tentang tindakan keras sampai pada pembubaran ormas yang bertindak anarkis itu pun akan menjadi angin lalu saja.
Indikasinya, belum apa-apa para bawahannya di level menteri itu pun ramai-ramai menafsirkan perintah atasannya itu sehingga menjadi kabur makna sebenarnya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menafsirkan demikian, “Tentu harus ada fakta dan bukti, baru kita bisa mengambil tindakan. Tanpa bukti dan fakta, organisasi tidak bisa dibubarkan begitu saja.”
Rupanya bagi dia aksi-aksi ormas ekstremis, dan kelompok massa sejenisnya yang selalu mengatasnamakan agama dalam meneror, merusak, membakar rumah ibadah, dan bahkan membunuh orang itu bukan fakta dan bukti yang bisa dipakai untuk menindak mereka.
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, mengatakan, “Membubarkan ormas tersebut bukan hal yang mudah. Pasalnya, tidak semua ormas mendaftar resmi.”
Mungkin Menteri ini menganggap SBY tidak memahami apa yang diperintahkannya itu. Jadi, sebaiknya Patrialis ini ke SBY saja untuk memberi penjelasan kepada SBY seperti ini, jangan asal kasih perintah.
Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, “Itu sudah pernah dibahas, dan sudah diatur. Kalau ada fakta yang memenuhi, kita lakukan.”
Faktanya, semua itu tidak pernah dilakukan. Fakta lain adalah pernyataan Timur Pradopo sendiri bahwa dia sangat dekat dengan FPI. Salah satu ormas ekstremis yang sebenarnya menjadi salah satu sasaran perintah SBY itu.
Kalau setiap perintah yang datang dari Presiden harus ditafsirkan sendiri-sendiri oleh para bawahannya, bagaimana, dan kapan perintah tersebut bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya?
Dengan mengetahui respon para bawahannya seperti ini, maka kita kembali lagi pesimistis bahwa perintah SBY ini akan benar-benar bisa efektif dan ampuh meredam segala macam bentuk kekerasan yang telah lama meresahkan masyarakat itu.
Perintah SBY ini hampir pasti akan seperti bunga yang layu sebelum berkembang.
Sebenarnya, ormas-ormas tersebut tidak perlu dibubarkan. Pembubaran tersebut tidak akan membawa hasil yang berarti. Karena mereka akan dengan mudah untuk menjelma menjadi ormas, atau sel-sel dalam masyarakat dalam bentuk dan nama lain, dengan tetap mempunyai misi yang sama.
Yang jauh lebih penting dan efektif adalah tindakan tegas dari para aparat setiap kali ada aksi kekerasan. Siapa saja yang terlihat dan terbukti melakukan aksi anarkis segera ditangkap dan diproses hukum. Yang melawan, dan membahayakan jiwa orang lain, termasuk aparat, tidak usah ragu: tembak di tempat.
Tembak di tempat itu bukan berarti harus di tembak kepalanya, atau bagian lain dari tubuh yang mematikan, tetapi bisa dengan menembak kakinya untuk melumpuhkan. Kalau benar-benar tak memungkinkan tembak mati pun sebenarnya bukan suatu masalah pelanggaran HAM, atau apapun namanya. Demi membela kebenaran, masyarakat, dan diri sendiri yang dalam keadaan berbahaya hal tersebut dapat dibenarkan secara hukum.
Kekhawatiran bahwa perintah SBY tersebut tak akan dianggap, tidak ada wibawanya, tidak akan membuat era ormas-ormas tertentu itu, terbukti dengan reaksi dari dua ormas ektremis yang selama ini suka beraksi dengan cara-cara yang disebutkan oleh SBY tersebut.
Malam hari setelah SBY menyampaikan perintahnya itu, di TVOne, dalam acara “Apa Kabar Indonesia”, Ketua FUI Muhammad al-Khaththath, malah balik memberi “perintah” dan mengultimatum SBY untuk segera membubarkan Ahmadiyah.
“Perintahnya” : SBY harus segera membubarkan Ahmadiyah. Menangkap dan mengadili semua pimpinannya.
Ultimatumnya: Kalau tidak mau, katanya dia akan meng-Mesir-kan Indonesia, untuk memaksa turun SBY dari jabatannya sebagai presiden. (Rasanya ingin melihat sampai sejauh mana dia bisa membuktikan ucapannya yang ini).
Katanya lagi, banyak jenderal yang ia tahu, dan yang mengatakan kepadanya bahwa mereka sudah dongkol kepada SBY, dan siap menggulingkannnya.
Pernyataan yang terakhir ini sangat sensitif dan berbahaya. Seharusnya orang ini segera dipanggil untuk diinterogasi inteljen negara.
Seolah juga merespon perintah SBY tersebut, massa FPI di Tasikmalaya, pada Rabu siang, 9 Februari juga melakukan aksi unjuk rasa minta Ahmadiyah dibubarkan pemerintah. Mereka juga melakukan aksi sweeping terhadap aset-aset yang dianggap sebagai milik Ahmadiyah. Untung kali ini aparat keamanan berhasil mengendalikan mereka.
Bagaimana nanti SBY bersikap terhadap konsekuensi dari perintahnya sendiri ini, dan terhadap respon dari perintahnya itu, akan menjadi indikator sampai seberapa jauh konsistensi, ketegasan, kewibawaan, dan patutkah SBY sebagai seorang Presiden, yang memimpin bangsa yang sangat berbhineka ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H