Di Twitter saya bertanya kepada pengacara senior, Todung Mulya Lubis, “Seandainya Gayus meminta Bapak sebagai pengacaranya, apakah Bapak bersedia?”
Todung menjawab, “Saya tak menangani kasus koruptor.”
Saya kemudian merenung mencari jawaban sendiri, kenapa seorang pengacara sekaliber Todung tidak mau menangani kasus koruptor?
Kemudian saya merasa telah menemukan jawabannya, yakni: Untuk menjadi pengacara dalam kasus koruptor dengan hasil terbaik bagi kliennya (bilamana perlu dibebaskan dari segala tuntutan hukum) adalah harus bisa dan biasa melawan hatinurani.
Todung Mulya Lubis adalah salah satu pengacara yang tidak berani melakukan itu. Maka itu dia memilih untuk tidak mau menangani kasus korupsi.
Menjadi pengacara dengan klien koruptor memang harus benar-benar lihai selihai mereka ketika melakukan korupsi, yakni bersilat lidah memutarbalikkan salah menjadi benar, benar menjadi salah, fiksi menjadi fakta, fakta menjadi fiksi.
Bukan hanya pengacara, tetapi juga pejabat negara yang tidak mendukungpemberantasan korupsi harus sama-sama lihai dan terbiasa melawan nuraninya demi kepentingan “hak asasi” koruptor.
Dalam banyak kasus korupsi hal demikian kelihatan dengan jelas.
Sebagai contohnya dapat dikemukakan dua kasus yang sekarang ini sedang panas-panasnya dibicarakan banyak orang. Yakni kasus mafia pajak Gayus Tambunan dan kasus pembebasan Artalyta Suryani (Ayin).
Dalam kedua kasus tersebut kita patut bertanya-tanya adakah mereka yang terlibat sesungguhnya mendengar dan melakukan apa yang dikatakan hatinuraninya, atau sebaliknya?
Pada 19 Januari lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah divonis penjara tujuh tahun, publik dikejutkan oleh Gayus yang didampingi pengacaranya, Adnan Buyung Nasutionmembaca surat pernyataannya.
Inti dari pernyataan yang disebutkan oleh Adnan sebagai curahan hati Gayus adalah menyatakan bahwa ternyata semua perkara hukumnya itu merupakan hasil rekayasa dan telah diskenariokan oleh Satgas. Khususnya Sekretaris Satgas Denny Indrayana, Mas Ahmad Santosa, dan juga Yunus Husein (Ketua PPATK).
Skenario tersebut adalah untuk menjadikan Gayus dan kasusnya tersebut sebagai alat politik untuk memojokkan pihak Aburizal Bakrie.
Semua poin-poin pernyataan Gayus tersebut langsung dapat dipatahkan oleh pihak Satgas dengan mempresentasikan bukti-bukti berupa rekaman video, dan transkrip komunikasi via BlackBerry Messenger antara Denny Indrayana dengan Gayus.
Pada beberapa poin pernyataan Gayus yang memojokkan Satgas, sebenarnya kalau kita menelesuri dari media massa, jalannya proses kasus Gayus dari awal sampai dengan jatuhnya vonis, kita bisa tahu sendiri, siapa yang berkata bohong.
Terkesan kuat juga bahwa pernyataan Gayus itu seperti bukan murni berasal dari Gayus sendiri. Melainkan merupakan suatu teks yang telah disusun terlebih dahulu oleh seseorang. Kemudian disuruhbaca kepada Gayus sebagai pernyataannya dengan maksud dan tujuan tertentu.
Entah kebetulan ataukah tidak pernyataan Gayus yang menjauhkan keterlibatan pihak Bakrie dari dugaan keterlibatan mereka dalam berbagai kasus Gayus tersebut mempunyai banyak kesamaan dengan isi pernyataan dan argumen pihak Bakrie kepada Satgas. Misalnya, tentang tudingan Bakrie dan Golkar bahwa ada upaya Denny/Satgas yang mengarahkan kasus Gayus ke ranah politik.
Aburizal Bakrie juga pernah berkata langsung kepada Denny Indrayana bahwa dia akan menyelesaikan “sengketanya” dengan Denny dan Satgas dengan cara politik. Halmana sudah dibuktikan dengan seruan Golkar untuk mengevaluasi totaleksistensi Satgas Mafia Hukum.
Pengacara Adnan Buyung Nasution pun langsung satu suara dengan pihak Bakrie dengan menyerukan bahwa Satgas harus segera dibubarkan, diganti dengan yang lain. Padahal dia itu pengacara Gayus, bukan pengacara Bakrie.
Padahal sebelumnya, Adnan sendiri pernah mengatakan bahwa untuk mengungkapkan kasus Gayus secara menyeluruh harus dengan terlebih dahulu membongkar kasus pajak yang melibatkan perusahaan-perusahaan dari Grup Bakrie (Kompas.com, 18/11/2010).
Setelah Gayus membaca pernyataannya tersebut, Adnan malah seolah-olah ikut membela pihak Bakrie, dengan menyatakan keberatannya. Kenapa yang terus dipermasalahkan hanya Grup Bakrie saja, padahal ada lebih dari seratus perusahaan lain yang diduga terlibat.
Entah apa dasarnya yang membuat Adnan bisa sedemikian percaya sepenuhnya dengan semua isi pernyataan dari seorang dengan perilaku seperti Gayus. Yang ketika dari rumah tahanan saja masih terus melakukan beberapa tindak pidana dan menginjak-injak hukum negeri ini?
Lagipula sebelumnya Adnan sendiri pernah dibohongi sampai beberapa kali oleh Gayus.
Yakni dalam kasus Gayus di Bali yang kepergok wartawan Kompas. Gayus berbohong kepada pengacaranya itu bahwa dia tidak pernah ke Bali, yang di Bali itu bukan dia.
Gayus kemudian berbohong lagi kepada Adnan, bahwa dia tidak pernah keluar-masuk rumah tahanan, dan tidak pernah menyuap petugas rumah tahanan tersebut.
Kebohongan ketiga Gayus kepada Adnan adalah bahwa ketika di Bali, dia tidak pernah samasekali bertemu dengan siapapun. Ternyata kemudian kepada polisi Gayus mengakui di Bali dia sempat bertemu dengan seorang pengurus parpol dan diajak makan bersama.
Padahal sebelumnya Adnan pernah beberapakali mengatakan dia sangat tidak suka dibohongi kliennya. Bahwa dia mempunyai prinsip pantang dibohongi kliennya. Begitu ada kliennya yang berbohong kepadanya, maka demi kredebilitasnya sebagai pengacara, dia akan mundur sebagai pengacara kliennya itu.
Faktanya, ternyata meskipun telah dibohongi beberapakali oleh Gayus, Adnan tidak membuktikan kebenaran dari prinsipnya itu.
Ternyata dia mempunyai argumen tentang ketidakkonsistennya dengan prinsipnya sendirinya itu.
Adnan mengatakan bahwa untuk kebohongan-kebohongan Gayus kepadanya ini, dia terpaksa melanggar prinsipnya itu. Karena demi misi yang jauh lebih penting, yakni bersama Gayus membongkar mafia hukum dan pajak.
Dia yakin Gayus punya komitmen tinggi untuk membantu membongkar mafia pajak. Buktinya Gayus telah mengaku tentang uang miliaran rupiah miliknya yang berasal dari Grup Bakrie.
Tetapi apakah Adnan berkata jujur sesuai dengan nuraninya? Saya meragukannya. Alasannya seperti yang pernah saya tulis dalam tulisan saya di Kompasiana, yang berjudul Meragukan Komitmen Adnan Buyung Nasution dalam Kasus Gayus
Pertanyaannya: apakah sewaktu Adnan melontarkan prinsipnya itu dia belum tahu Gayus punya komitmen tinggi mengungkapkan mafia pajak (seperti yang dikatakannya itu) , dan waktu itu dia (Adnan) juga belum punya tekad untuk membongkar kasus (mafia) pajak lewat sidang pengadilan terhadap kliennya itu?
Sebab kalau sedari awal kedua unsur itu ada, tentu saja, Adnan Buyung tidak akan menyatakan prinsipnya pantang dibohongi kliennya itu. Karena dia tahu Gayus punya komitmen tinggi membantu memberantas mafia pajak. Jadi, kalau sampai dibohongi Gayus tentang keberadaannya di Bali, bukan masalah,
Kenapa dia sedemikian mudah melontarkan prinsipnya itu, tetapi kemudian sama mudahnya dengan menjilatnya kembali?
Hal lain terasa janggal adalah pernyataan Adnan bahwa Gayus sudah tidak punya uang, Sampai-sampai untuk membayar honornya itu, kliennya itu terpaksa meminjam dari orang lain.
“Untuk bayar honor kantor saya, dia tidak punya uang lagi. Jadi, dia pinjam-pinjam dari orang. Saya lebih suka itu daripada uang haram yang harus disita,” tandasnya, seperti dikutip Kompas.com, 18/11/2010 (huruf tebal oleh saya).
Betapa kaya dan mulianya orang yang meminjamkan uangnya kepada Gayus, pengawai pajak Golongan IIIa ini (apakah Adnan tahu siapa orang itu?). Dia rela memberi pinjaman kepada Gayus terus-menerus selama ini untuk membantunya membayar pengacara senior semacam Adnan Buyung yang tentu saja tidak murah itu.
Kalau benar Gayus sudah tidak punya uang, sampai tidak mampu bayar pengacara semahal Adnan, terus pinjam dari orang, lalu uang sogok yang sampai mencapai Rp 368 juta yang diberikan kepada Kepala Rutan dan beberapa pegawainya,pelesirannya ke Bali, Thailand, dan Makau itu pakai uang siapa? Apakah juga dapat pinjaman dari orang yang disebut Adnan?
Dalam pernyatannya yang lain, Adnandia mengatakan kemungkinan orang seperti Gayus masih menyimpan banyak uang selain dari miliaran rupiah yang telah disita polisi.
Pertanyannya: apakah uang miliran rupiah yang disimpan Gayus itu bukanuang haram?
--
Dalam kasus bebasnya Artalyta Suryani (Ayin), masalah hati nurani juga dipertanyakan. Apakah pengacaranya, dan pejabat yang berkaitan dengan ini, berkata dan bertindak dengan tidak melawan hati nuraninya?
Bebas bersyarat hanya merupakan istilah hukum. Prakteknya, Ayin sudah bebas 100 persen. Ayin pasti tidak akan melakukan tindakan bodoh sehingga bisa merusak “skenario” pembebasannya dengan embel-embel “bersyarat” itu.
Ayin yang seharusnya masih menghuni penjaranya, setelah mendapat diskon dari Mahkamah Agung sebanyak 6 bulan, plus remisi Waisak 2010 sebanyak 1 bulan, berikut bonus Proklamasi 17 Agustus sebanyak 2 bulan 20 hari, akhirnya memenuhi syarat secara hukum untuk bebas bersyarat karena telah memenuhi minimal 2/3 masa hukumannya, dan seperti yang dikatakan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar, selama di penjara Ayin berkelakuan baik.
Meskipun secara hukum bisa diterima, tetapi apakah patut seorang pelaku kejahatan korupsi, dan seorang penyuap kelas kakap seperti Ayin ini diberi “hadiah-hadiah” seperti itu?
Kejahatan korupsi dan juga suap seperti yang dilakukan Ayin merupakan suatu kejahatan luar biasa yang seharusnya tidak diberi keistimewaan apapun kepada terpidananya, sehingga bisa menimbulkan efek jera kepada orang lain yang punya keinginan melakukan kejahatan serupa.
Sebuah ironi, seorang pelaku kejahatan yang merugikan negara sedemikian rupa malah dikasih “bonus” oleh pemerintah di hari ulang tahun proklamasi negara itu sendiri!
Hanya karena terlambat satu hari dari hari pembebasan yang seharusnya, pengacara Ayin, O.C. Kaligis menyatakan kegusarannya, “Ini hak asasi manusia. Orang yang seharusnya bebas kok ditunda.” (Kompas, 28/01/2011).
Apakah ketika berbicara ini, O.C. Kaligis benar-benar berkata dari lubuk hatinya yang terdalam, alias hatinuraninya?
Apakah berdasarkan panggilan hatinuraninya pula yang membuat O.C. Kaligis sampai merasa perlu datang ke Rutan Cipinang begitu mengetahui para tersangka dugaan suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom ditahan di situ?
Dia adalah orang pertama dan yang paling cepat datang ke Rutan itu, mendahaului para kerabat para tesangka itu sendiri. Padahal para tersangka tersebut belum menunjukkan pengacaranya?
Apakah dia ke sana bukan untuk menawarkan jasa pengacaranya, sebab ini merupakan suatu peluang “bisnis besar” baginya?
Demikian juga dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar yang mendukung pembebasan bersyarat Ayin tersebut, dengan alasan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Satu pernyataannya yang sangat mengejutkan saya adalah: “Kami ini bukan lembaga penegak hukum. Kami hanya menjalankan aturan yang ada.” (Kompas, 28/01/2011, huruf tebal oleh saya).
Jujur, saya benar-benar baru tahu bahwa ternyata Kementrian Hukum dan HAM sesungguhnya bukan penegak hukum!
Sekali lagi, pertanyaan diajukan: Apakah semua pernyataan dan tindakan mereka itu adalah sesuai dengan hatinuraninya? Apakah mereka masih mendengar dan melaksanakan apa yang dikatakan hatinuraninya? ***
http://politik.kompasiana.com/2010/11/21/meragukan-komitmen-adnan-buyung-nasution-dalam-kasus-gayus/
http://nasional.kompas.com/read/2011/01/19/19114781/Ini.Bukti.Gayus.Inisiatif.Sebut.Bakrie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H