[caption id="attachment_362597" align="aligncenter" width="538" caption="Pidato pembuka Presiden Jokowi di Konferensi Asia Afrika yang antara lain mengritik ketidakberdayaan PBB (liputan6.com)"][/caption]
Presiden Joko Widodo mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari peserta sidang Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015 ketika menyampaikan pidato pembukanya, Rabu, 22 April 2015, di Jakarta Convention Center. Dalam pidatonya, Jokowi mengkritik ketidakberdayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menghadapi ketimpangan global.
Menurut Jokowi PBB mempunyai mandat besar dari bangsa-bangsa di dunia, tetapi tak berdaya dalam menghadapi berbagai masalah dunia terutama ketidakadilan yang harus dihadapi negara-negara miskin di Asia dan Afrika.
"Makin kentara ketika PBB tidak berdaya, mandat PBB telah menafikan keberadaan badan dunia. Oke, kita bangsa-bangsa di Asia Afrika mendesak reformasi PBB," kata Jokowi yang langsung mendapat tepuk tangan meriah.
PBB, kata Jokowi, harus berfungsi optimal sebagai badan dunia yang mengutamakan keadilan bagi semua bangsa.
"Bagi saya, ketidakseimbangan global semakin menyesakkan dada," ucap dia (Kompas.com).
Demikian singkatnya pernyataannya Presiden Jokowi tentang ketidakberdayaan PBB menghadapi berbagai problem dunia.
Ternyata, antara PBB dengan Jokowi itu ada persamaannya. PBB tak berdaya, Jokowi juga!
Kalau PBB meskipun telah mendapat mandat dari bangsa-bangsa di dunia, PBB tak berdaya menghadapi ketimbangan global, maka di dalam negerinya sendiri, meskipun Jokowi sudah menerima mandat sebagai pemimpin tertinggi bangsa Indonesia, Jokowi tak berdaya menghadapi pihak-pihak tertentu seperti partai politik asalnya, dan yang paling hangat saat ini adalah menghadapi Polri, yang notebene berada di bawah kewenangannya.
Jokowi tak berdaya, ketika perintahnya kepada Polri untuk menghentikan kriminalisasi terhadap pemimpin non-aktif KPK diabaikan Kabareskrim Polri.
Lebih parah lagi, Jokowi tak berdaya ketika Kapolri Jenderal Badrodin Haiti yang baru saja dilantik pada 17 April 2015, diduga dengan memanfaatkan kesibukan luar biasa Presiden Jokowi, bertepatan dengan hari Jokowi membuka sidang KAA dengan pidatonya yang dipuji luar biasa itu, Rabu, 22 April 2015, secara diam-diam melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri. Pelantikan Wakapolri yang untuk pertama kali dalam sejarah dilakukan secara tertutup, dan media pun dilarang meliput. Di saat fokus perhatian publik ke keramaian dan kesibukan luar biasa KAA “tiba-tiba” Budi Gunawan sudah dilantik menjadi Wakapolri di sebuah ruangan sempit yang tertutup.
Terkuak kemudian bahwa ternyata pelantikan Budi Gunawan itu juga tak dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi, meskipun memang sebelumnya Badrodin sudah berbicara dengan Jokowi tentang calon wakilnya, tetapi belum sampai pada tahapan penentuan nama. Saat Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri sudah menetapkan nama Budi Gunawan sebagai calon Wakapolri, Badrodin tidak memberitahukannya kepada Presiden Jokowi.
Badrodin mengaku, pada hari Rabu itu (22/04) dia sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, mengenai kepastian pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri itu. Jadi, sifatnya hanya memberitahukan, bukan mengkonsultasikan dengan Presiden. Itu pun ternyata tidak meyakinkan, apakah benar surat itu ada dan dikirim kepada Presiden.
Karena pada Rabu siang itu juga, ketika dikonfirmasi wartawan, Mensetneg Pratikno memastikan bahwa dia tidak menerima surat dari Kapolri itu.
"Saya sudah cek, Setneg belum menerima surat dari Kapolri," kata Pratikno, menjawab pesan singkat wartawan yang meminta konfirmasi tersebut (Kompas.com).
Jika pun benar surat itu sudah dikirim melalui Setneg kepada Presiden Jokowi, kecil kemunginan surat itu sampai di tangan Jokowi pada hari itu juga, karena pada hari itu Jokowi sedang sibuk luar biasa, dia harus membuka KAA.
Maka timbul juga curiga, apakah pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri itu memang sengaja dipilih bertepatan dengan hari pembukaan KAA, saat Presiden Jokowi sangat sibuk, dan tak mungkin bisa dihubungi untuk dikonsultasi mengenai hal itu? Apa salahnya menunggu sampai KAA berakhir keesokan harinya (24/04)?
Dugaan ini semakin kuat, karena Mensetneg Pratikno juga menyatakan, Presiden Jokoei tidak tahu-menahu soal pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri itu, karena Jokowi sangat sibuk pada hari itu untuk membuka peringatan tahun ke-60 Konferensi Asia Afrika itu.
"Bagaimana mau tahu, sidang dari pagi," ucap Pratikno di sela-sela acara KAA 2015, di Jakarta Convention Center, Rabu, 22 April 2015 (Kompas.com).
Baru keesokan harinya, Kamis, 23 April 2015, Badrodin Haiti mengakui tidak mengonsultasikan keputusan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) soal jabatan Wakapolri saat sudah mereka sudah memastikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Wakapolri, tinggal dilantikannya. Jadi, surat yang katanya dikirim kepada Presiden melalui Setneg itu adalah sesuatu pernyataan yang tidak benar?
Meskipun demikian, Badrodin menyatakan tidak melanggar prosedur yang seharusnya, karena konsultasi dengan Presiden sudah dilakukan sebelum Wanjakti menggelar sidang. Saat itu, katanya, Presiden menyerahkan sepenuhnya mekanisme pemilihan wakil kepala Polri ke Wanjakti.
"Saya sudah mendapatkan satu arahan bahwa silakan dilaksanakan sesuai dengan prosedurnya, Wanjakti-nya. Artinya, Pak Presiden tidak menunjukkan orangnya. Itu diserahkan sepenuhnya kepada Wanjakti," kata Badrodin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 23 April 2015 (Kompas.com).
Sampai di sini, sebenarnya, Badrodin tidak sepenuhnya salah. Bukankah memang dalam konsultasi dengan Jokowi itu, Jokowi sendiri tidak berani tegas, misalnya dengan mengatakan kepada Badrodin, silakan saja Kapolri dan Wanjakti menetapkan siapa calon Wakapolri-nya, tetapi saya harap jangan Budi Gunawan!
Ini menunjukkan sekali lagi ketidakberdayaan Jokowi terhadap Polri, dia tak berani tegas terhadap lembaga penegak hukum ini perihal status Budi Gunawan. Karena dia tahu bahwa partai politik asalnya bersama dengan Polri sendiri, yang didukung oleh sebagian besar anggota DPR RI bersikeras Budi Gunawan harus menjadi Wakapolri, setelah dibatalkan oleh Jokowi menjadi Kapolri.
Karena itu Jokowi hanya berani memberi “perintah” kepada Badrodin dengan cara “lepas tangan” menyerahkan sepenuhnya kepada Kapolri siapa yang mau dilantik sebagai Wakapolri, padahal dia tahu pasti Budi Gunawan-lah orangnya.
Padahal, sebelumnya Jokowi sendiri sudah tiga kali menegaskan alasan sosiologis dan yuridis dia tak jadi melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, yaitu karena sesungguhnya Budi Gunawan adalah calon yang bermasalah, yang kontoversial, memicu perbedaan pendapat secara signifikan di masyarakat.
Pertama, Rabu, 18 Februari 2015, di Istana Kepresidenan, saat dia mengumumkan pembatalannya melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, dengan menggantikannya dengan Komjen Badrodin Haiti. Pada saat itu, Jokowi menyatakan alasannya membatalkan pelantikan Budi Gunawan tersebut, yaitu karena pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri itu sudah menimbulkan kontroversi di masyarakat, dan agar terciptanya ketenangan di masyarakat, serta kebutuhan akan Kapolri yang definitif.
Kedua, Selasa, 7 April 2015, Presiden Jokowi mengulangi lagi alasannya tersebut di hadapan DPR-RI, yang memanggilnya untuk mendengar langsung alasannya membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan menggantikannya dengan Badrodin Haiti itu.
Ketiga, seusai memberi keterangannya kepada DPR, Jokowi mengadakan konferensi pers, dan menyampaikan bahwa alasan tersebut sudah dikemukakan kepada DPR, dan mereka bisa menerimannya. Dia pun membaca kembali alasannya tersebut di atas.
“Alasan tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, yaitu mengingat bahwa pencalonan Komjen Drs. Budi Gunawan, S.H., M.Si. sebagai Kapolri menimbulkan perdebatan di masyarakat, dan dalam rangka menciptakan ketenangan di masyarakat serta kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia kami mengajukan Kapolri yang baru. Terkait dengan alasan tersebut di atas, memang alasan sosiologis dan yuridis ...”
Jadi, dalam kurun waktu dua bulan, secara resmi Jokowi sudah tiga kali mengemukakan alasan pembatalannya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Lalu, apakah sekarang ini, hanya berselang dua minggu kemudian keadaan yang membuat alasan Presiden Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri itu sudah berubah? Bahwa sekarang sosok Budi Gunawan sudah tidak menimbulkan kontroversial di masyarakat?
Memang, sekarang Budi Gunawan bukan dilantik sebagai Kapolri, tetapi sebagai Wakapolri, tetapi substansinya tetap sama saja. Apalagi terkuak pula fakta bahwa ternyata Badrodin Haiti pasti akan pensiun pada Juli 2016, sehingga otomatis Budi Gunawan yang akan naik menggantikannya sebagai Kapolri. Lalu, apa artinya lagi alasan Jokowi tentang tak jadi melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri itu?
Kenyataannya adalah sampai sekarang pun, sosok Budi Gunawan itu masih terus menimbulkan perdebatan tajam di masyarakat. Lebih banyak yang menolak daripada menerimanya. Sesuatu yang sebenarnya secara “nurani” diketahui Polri, maka itu pelantikan Budi Gunawan pun dilakukan secara tertutup di sebuah ruangan sempit di Mabes Polri, dan wartawan pun tak diundang.
[caption id="attachment_362602" align="aligncenter" width="506" caption="Pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Wakapolri, Rabu, 22 April 2015, di sebuah ruangan sempit di Mabes Polri. Kenapa harus tertutup? (Harian Kompas)"]
Tampaknya memang Jokowi tak berdaya menghadapi begitu kuatnya desakan dari Mabes Polri dan parpol politiknya agar Budi Gunawan tetap harus menjadi Kapolri. Jokowi pasti tahu dengan dilantiknya Budi Gunawan sebagai Wakapolri, hanya menunggu waktunya dia akhirnya menjadi Kapolri juga, yaitu dengan paling lama Juli 2016, Badrodin pasti pensiun. Wakapolri nanti pun bisa jadi adalah Kabareskrim yang sekarang, klik Budi Gunawan di Mabes Polri, Budi Waseso.
Ketidakberdayaan Jokowi atas pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri itu pun terlihat terlihat dari jawaban dan reaksinya saat diminta konfirmasi oleh wartawan tentang peristiwa tersebut, di sela-sela kesibukannya dalam acara KAA, Rabu 22 April 2015. Tampak Jokowi tidak bisa memberi pernyataan yang secara tegas mengatakan ia tak keberatan mengenai pelantikan Budi Gunawan itu. Jokowi tak berani mengatakan secara jelas bahwa pelantikan Budi Gunawan itu memang direstuinya.
Tak seperti biasanya Jokowi juga tampak “menyontek” secarik kertas saat menjawab pertanyaan wartawan itu yang disampaikan di media center KAA, di Jakarta. Dari mana secari kertas itu, apakah dari pihak-pihak tertentu yang mengendalikannya, yang menyuruhnya membaca saja tulisan di kertas itu kepada para wartawan itu? Masa untuk menjawab pertanyaan itu saja harus “menyontek”?
Lihatlah kalimat-kalimat Jokowi terkesan menghindar untuk secara langsung menyatakan dia merestui pelantikan itu. Sepertinya ada pergulatan bathin yang hebat di dalam dirinya.
"Sudah bertemu, sudah saya perintahkan kepada Kapolri untuk melakukan konsolidasi kelembagaan," ujar Jokowi, memandang ke arah wartawan, kemudian menunduk kembali “menyontek” secarik kertas di tangannya, dan melanjutkannya, "Saya sudah perintahkan untuk memperbaiki, baik tadi kelembagaan, mekanisme kerja di internal, juga pengawasan, kemudian juga pembenahan SDM yang ada. Cukup," kata Jokowi sembari mengakhiri keterangan persnya itu. Apa susahnya dia menjawab secara to the point: “pelantikan Budi Gunawan sebagai Wakapolri itu atas restu saya!” ?
Tidak puas dengan jawaban Jokowi, beberapa wartawan kembali mengajukan pertanyaan untuk memperoleh jawaban yang lebih pasti dan tegas, tetapi Jokowi bilang, sudah cukup, lalu meninggalkan ruangan media center itu (Kompas.com).
Tampaknya apa yang dibacakan Jokowi sebagai jawabannya itu tidak sejalan dengan suara hatinya sendiri.
Jadi, saat Jokowi berpidato mengritik PBB dengan mengatakan lembaga bangsa-bangsa sedunia itu tak berdaya menghadapi ketidakadilan dunia, demikian juga Jokowi di negaranya sendiri. Tak berdaya menghadapi tekanan politik dari partai politiknya yang menghendaki siapa yang harus menjadi Kapolri atau Wakapolri.
Jokowi bilang, "Makin kentara ketika PBB tidak berdaya, mandat PBB telah menafikan keberadaan badan dunia. Oke, kita bangsa-bangsa di Asia Afrika mendesak reformasi PBB," maka demikian pula degan Jokowi yang tak berdaya dengan mandat yang telah diberikan rakyat Indonesia kepadanya, revolusi mental dan reformasi juga kayaknya harus dijalankan di lembaga kepresidenan yang kini dipimpinnya. Bahwa semua orang harus tahu negara ini menganut sistem pemerintahan presidensial, yang artinya begitu seorang kader menjadi presiden, maka dia adalah milik rakyat yang harus menjalankan mandat rakyat meskipun berdasarkan visi dan misi partainya. Ia berada di atas semua lembaga yang ada di negara ini termasuk Polri, dan partai politik asalnya. Ia bukan petugas partai, tetapi petugas rakyat.
Jokowi bilang, PBB harus berfungsi optimal sebagai badan dunia yang mengutamakan keadilan bagi semua bangsa. Maka Jokowi juga harus demikian di negara yang kini dipimpinnya ini. Jokowi harus berfungsi optimal sebagai seorang Presiden yang mengutamakan kepentingan dan keadilan bagi semua rakyat Indonesia.
"Bagi saya, ketidakseimbangan global semakin menyesakkan dada," ucap Jokowi di pidatonya yang mengritik PBB, dan menuai pujian hebat itu. Demikian juga yang dirasakan rakyat Indonesia jika Presidennya yang sedemikian dipercaya, yang diberi mandat penuh, ternyata tak berdaya menghadapi tekanan politik dari partai-partai politik pendukungnya sendiri. Sesak pula dada rakyat, jika melihat Presiden justru terkesan kuat tak berdaya pula menghadapi Polri yang seharusnya berada di bawah kewenangannya. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H