Salah satu “kekejaman” Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah soal pecat-memecat para PNS di Pemprov DKI jakarta. Mulai dari PNS tingkat rendah sampai dengan tingkat tinggi sudah menjadi korban “kekejaman” Ahok itu. Ahok sendiri mengaku, sampai dengan medio September 2015, dia sudah memecat sebanyak 120 orang PNS, dan sebanyak 2.500 PNS telah didemosi atau diturunkan dari jabatannya.
Belum cukup sampai di situ, Ahok juga menjelaskan bahwa setelah itu, masih ada sekitar 30 PNS dari Pemprov DKI Jakarta yang juga akan dipecatnya.
Ahok mengatakan, pemecatan, atau demosi terhadap mereka itu didasarkan pada penilaian perilaku dan kinerja mereka, yang tidak lepas dari prinsip-prinsip yang dipegang teguh Ahok di dalam menjalani kepimpinannya di Pemprov DKI Jakarta. Di antaranya adalah soal prestasi kerja, tanggung jawab terhadap profesinya, kemalasan, ketidakjujuran, suap-menyuap, manipulasi keuangan dan korupsi. Mengenai hal-hal tersebut, apalagi menyangkut suap dan korupsi, Ahok menyatakan tidak ada toleransi dan kompromi sedikit pun. Bagi siapa saja bawahannya yang melakukan hal tersebut dengan alasan apapun akan dipecatnya.
Itulah pula yang mendasari keputusan Ahok untuk memecat sekitar 120 PNS, dan mengdemosi sekitar 2.500 lainnya.
"Jadi kalau kamu nyolong sedikit saja di Jakarta saya pecat sebagai PNS, bukan pecat sebagai jabatan. Rata-rata terima suap. Kamu terima suap Rp1,5 juta pun saya pecat jadi PNS," ucap Ahok, Selasa (15/9/2015), seperti dikutip dari beritajakarta.com.
Selama ini, terlalu banyak orang Indonesia yang hidup tidak disiplin baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang lain, terbiasa menolerir pelanggaran-pelanggaran, sehingga juga terbiasa dalam melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan, baik itu peraturan di dalam rumah tangga, perusahaan, sampai ke pelanggaran terhadap suatu undang-undang negara. Sehingga muncullah berbagai pameo sarkistis, seperti: “Peraturan (undang-undang) itu dibuat untuk dilanggar”, “Hukum (undang-undang) dibuat untuk menjadi pajangan saja”, “Hukum di Indonesia itu hanya bagus di atas kertas”, dan “Hukum di Indonesia itu seperti macan ompong”.
Ironis memang, tetapi, bukankah itulah kenyataannya?
Ketika ada pejabat berwenang yang hendak menegakkan suatu peraturan hukum dengan berlandaskan pada suatu kedisplinan dan ketagasan tingkat tinggi dengan penerapan prinsip toleransi nol (“zero tollerance”), dan tanpa kompromi, kebanyakan orang malah melihatnya sebagai pejabat aneh, yang sok, sombong, yang kaku, bahkan kejam terhadap anak buahnya sendiri, maupun rakyat. Padahal jelas-jelas itu semua demi kebaikan bersama. Untuk apa peraturan itu dibuat, kalau pelaksanaannya serba longgar, serba toleran, serba kompromi terhadap setiap pelanggarannya?
Demikianlah penilaian yang biasa ditujukan kepada Ahok oleh mereka yang secara subyektif sedari awal memang sudah tidak menyukainya dengan berbagai alasan dan motif.
Misalnya, awal September 2015 lalu, Ahok juga memecat Ahmad Sotar Harahap dari jabatannya sebagai Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD DKI Jakarta. Menurut Ahok, ada beberapa faktor yang menjadi dasar pencopotan Sotar dari jabatannya itu, namun pada intinya kinerjanya mengecewakan.
Beberapa di antaranya soal kelalaian Sotar selaku Sekwan yang tidak memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan DKI tahun 2014 pada sidang paripurna, Senin (6/7/2015) lalu. Sebab, pada tahun-tahun sebelumnya, laporan BPK dilaporkan kepada kepala daerah saat sidang paripurna. Ahok sempat naik pitam karena peristiwa itu, dan mengatakan ia bisa saja memecat Sotar karena perbuatannya itu.