[caption id="attachment_345932" align="aligncenter" width="582" caption="(Kompas Minggu, 11 Januari 2015)"][/caption]
Entah apa komentar Herb Kelleher jika dia mendengar bahwa di Indonesia, Menteri Perhubungannya telah melarang sistem tarif tiket murah penerbangan komersial, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Low Cost Carrier (LCC), dengan alasan tarif murah menyebabkan maskapai penerbangan yang bersangkutan mengabaikan standar keamanan pesawat atau keselamatan penumpangnya?
Seperti kita ketahui, sebagai dampak dari kecelakaan pesawat Air Asia QZ 8501, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah memutuskan bisnis penerbangan dengan sistem LCC tidak diizinkan lagi beroperasi di Indonesia, dengan menaikkan tarif batas bawah tiket penerbangan. Jika dulu 30 persen, maka tarif batas bawah kini menjadi 40 persen dari batas atas. Artinya jika tarif atas tarif penerbangan suatu rute tertentu adalah Rp 2 juta, maka tarif termurah pesawat harus paling rendah Rp 800.000.-
Apakah memang ada relevansi sebab-akibat tarif murah (LCC) dengan standar keselamatan penerbangan?
Lalu, siapakah Herb Kelleher itu?
Herb Kelleher adalah pemilik dari maskapai penerbangan di Amerika Serikat, Southwest Airlines. Dialah penggagas dan orang pertama di dunia yang sejak 1971 menjalankan bisnis penerbangannya Southwest Airlines-nya dengan konsep tarif murah yang kemudian dikenal dengan sebutan Low Cost Carrier (LCC) itu, dan mengalami sukses besar, sehingga kemudian diikuti oleh banyak maskapai penerbangan di Eropa pada 1990-an, setelahnya menyebar ke seluruh dunia.
[caption id="attachment_345930" align="aligncenter" width="242" caption="Herb Kelleher, peolpor dari bisnis LCC di dunia (sumber: airandspace.si.edu)"]
Sampai saat ini Southwest Airlines merupakan maskapai penerbangan besar di Amerika Serikat, dan terbesar di dunia dalam bisnis penerbangan LCC, berkantor pusat di Dallas, Texas. Maskapai ini didirikan pada tahun 1967 dengan nama Air Southwest Co. Sejak 1971 diubah namanya menjadi Southwest Airlines Co. mulai menjalankan konsep LCC atas gagasan dari Herb Kelleher. Maskapai ini memiliki hampir 46.000 karyawan pada Desember 2014 dan mengoperasikan lebih dari 3.400 penerbangan per haridi Amerika Serikat dan beberapa negara lain di luar Amerika (wikipedia).
Jadi, ternyata, LCC memang sudah lama ada di seluruh dunia, dan selama ini pula kita tidak pernah mendengar adanya larangan LCC di suatu negara dengan alasan LCC berbahaya bagi keselamatan penerbangan, karena tarif murahnya itu. Kita baru mendengarnya sekarang, di Indonesia, setelah Jonan menghapuskannya.
Jika LCC mempunyai sebab-akibat dari diabaikannya suatu standar keamanan/keselamatan penerbangan tentu ia sudah sejak awal dilarang di banyak negara, terutama di Amerika Serikat, yang justru merupakan tempat “kelahirannya”, dan di Eropa, yang sangat tinggi dan tanpa kompromi sedikit pun standar keamanan dan keselamatan pesawatnya. Kenyataannya tidak demikian. Justru dengan LCC, Southwest Airlines menjadi salah satu maskapai penerbangan terbesar di dunia.
Kalau begitu, kenapa di sini Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menghilangkan LCC dikaitkan dengan standar keselamatan penerbangan?
Saya sama sekali bukan orang yang menguasai permasalahan mengenai seluk-beluk dunia penerbangan, tetapi sepengetahuan saya tarif murah dari LCC itu hanyalah mengorbankan fasilitas-fasilitas servis penerbangan yang berkaitan dengan kenyamanan penumpangnya, bukan mengorbankan standar keamanan dan keselamatan penumpangnya. Kalau ini dilakukan oleh maskapai mana pun pasti tidak ada pilot satu pun yang mau menerbangkan pesawat itu, kecuali pilotnya punya cita-cita bunuh diri.
Fasilitas-fasilitas kenyamanan yang ditiadakan dari LCC dibandingkan dengan penerbangan normal, atau Full Service Carrier (FSC) biasanya adalah:
-Jumlah seat (kursi) dibuat serapat mungkin, sehingga bisa muat lebih banyak kursi, yang artinya bisa mengangkut lebih banyak penumpang dalam sekali terbang. Contoh: pesawat Boeing 737-200 standar jumlah kursinya adalah 128. Jarak kursi lebih renggang, penumpang bisa duduk dengan kaki yang bergerak relatif bebas, nyaman.
Sedangkan untuk LCC kursi-kursinya dimepetkan, sehingga bisa memuat lebih banyak penumpang, yaitu 148 kursi. Akibatnya jarak kursi menjadi sempit, kaki penumpang terasa tidak bebas bergerak, kurang nyaman. Maskapai bisa memperoleh keuntungan meskipun menjual tiket murah, karena bisa menerbangkan lebih banyak penumpang dalam sekali terbang.
- Pada FCC melayani rute jarak jauh dengan layanan transfer atau transit pesawat untuk melanjutkan penerbangan ke tempat tujuan berikutnya, sedangkan pada LCC hanya melayani rute jarak dekat. Tidak ada layanan transit pesawat.
- Pada FCC mencakup bandara-bandara besar, ground service mahal. Pada LCC mencakup bandara-bandara kelas dua (kecil), ground service murah.
-Pada FCC, penjualan tiket melalui agen perjalanan, ada service charge. Pada LCC, tiket dijual langsung oleh maskapai bersangkutan (online).
-Pada FCC harga tiket sudah termasuk bagasi dengan berat maksimum tertentu, biasanya 20 kg per penumpang. Pada LCC, seperti Air Asia, biaya bagasi dibayar tersendiri, dengan beberapa pilihan berat dan tarif.
-Pada FCC tidak ada tambahan biaya untuk memilih nomor kursi tertentu. Pada LCC, seperti Air Asia dan Citilink, ada biaya tambahan jika memilih nomor kursi ketika membeli tiket. Semakin di depan, semakin mahal.
-Pada FCC ada kelas bisnis, VIP, dan ekonomi. Pada LCC hanya ada satu jenis kelas (ekonomi) dengan harga tiket standar yang sama semua.
-Pada FCC (dengan rute jarak jauh) harga tiket sudah termasuk makanan dan minuman, termasuk minuman ekstra dan snack. Pada LCC, makanan dan minuman dijual terpisah.
- Pada FCC dilengkapi fasilitas entertainment, seperti musik, film, dan game pada setiap seat. Pada LCC semua itu tidak ada.
- Ketika parkir selesai menurunkan penumpang, pesawat-pesawat FCC dibersihkan oleh cleaning service yang disewa, sedangkan pesawat LCC dibersihkan oleh awak kabinnya sendiri.
-Pada FCC maskapai menggunakan berbagai jenis pesawat. Pada LCC hanya menggunakan satu jenis pesawat, perawatan menjadi lebih murah. Pada FCC satu karyawan mengerjakan satu jenis pekerjaan dan satu frekuensi kerja tertentu (one man one job). Pada LCC berlaku sistem karyawan multi role, pilot dan pramugari serta cleaning service, saat ground handling.
Berapa besar persentase yang bisa dihemat dari LCC, sehingga mereka bisa menentukan tarif murah?
Lihat grafis yang saya ambil dari Jawa Pos, Minggu, 11 Januari 2015 di bawah ini:
Tetapi, rupanya menurut Menteri Perhubungan Igansius Jonan, LCC di Indonesia dengan menerapkan tarif murah sama dengan telah mengorbankan standar keselamatan penumpangnya. Melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 91 Tahun 2014 peraturan tentang larangan maskapai penerbangan menetapkan tarif batas di bawah 40 persen dari tarif batas atas sudah diberlakukan sejak 1 Januari 2015.
Menurut Jonan tarif supermurah yang diterapkan oleh maskapai penerbangan LCC seperti Air Asia itu sangat tidak masuk akal, pasti rugi, dan mereka nombok terus, pada akhirnya standar keselamatan penumpang yang dikorbankan.
"Saya kasih contoh, tiket kereta api yang kelas eksekutif kan gak dikasih makan, cuma tempat duduknya sama dengan kelas ekonomi pesawat. Jakarta-Surabaya itu (waktu tempuh) 9,5 jam harganya Rp 350-450 ribu. Sekarang Anda cek, kalau ada pesawat Jakarta-Denpasar harganya Rp 300-400 ribu apa itu masuk akal? Wong kereta api itu untungnya hampir gak ada," ujar Jonan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (8/1) (Tribunnews.com).
Jonan sangat yakin maskapai penerbangan yang menjual tiket murah, mengalami kerugian. "Coba tanya AirAsia dan Garuda, rugi gak operasinya selama ini? Kalau rugi terus, bahaya. Kalau tutup mendingan kan. Kalau jalan terus, kan pasti banyak yang dikorbankan," ujar Jonan.
Dengan mengalami rugi itu, kata Jonan, tidak mungkin maskapai-maskapai itu akan menombok terus keuangannya. Hal seperti inilah yang menurut Jonan tidak sehat dalam industri penerbangan. Jonan curiga adanya 'kompensasi' lain agar maskapai tidak mengalami kerugian, yakni bisa saja dengan pengurangan di dalam maintenance-nya.
"Apa ada orang yang mau nombokin terus? Menurut saya gak sehat industrinya. Bandingkan dengan kereta api deh. Cek aja karcisnya harganya berapa. Cek juga tiket pesawat berapa aja. Kalau jauh lebih murah dari kereta api, saya heran. Coba tanya ahli-ahli manajemen penerbangan itu, sebenarnya Jakarta-Surabaya pakai Boeing 737 biaya per penumpang berapa," ujarnya.
Jonan ingin maskapai menerapkan harga standar sehingga keselamatan tak dikorbankan, dengan kata lain LCC dilarang di Indonesia karena sudah dipersepsikan LCC identik dengan tarif murah pasti mengorbankan standar keselamatan penumpang.
Dari pernyataan Jonan tersebut di atas kelihatannya keputusannya menghapus LCC di Indonesia hanya berdasarkan persepsi-asumsi Jonan, belum ada bukti secara nyata bahwa LCC seperti Air Asia, Lion Air, Citilink, dan lain-lain (selama ini) telah mengorbankan standar keselamatan penumpangnya. Bahkan pada kasus Air Asia QZ 8501 yang mengalami kecelakaan itu pun belum ada bukti demikian.
Sepengetahuan saya juga, tarif supermurah Air Asia, itu pun tidak seluruhdi dalam satu penerbangan tertentu tarifnya seperti itu. Tetapi hanya beberapa seat, dan itu juga harus sudah di-booking beberapa bulan sebelumnya, dan biasanya hanya di musim-musim sepi penumpang. Sedangkan mayoritas seat tarif standarnya lebih-kurang sama dengan tarif LCC lainnya, seperti Citilink dan Lion Air, bahkan tak jarang ada yang lebih mahal.
[caption id="attachment_347406" align="aligncenter" width="546" caption="Gambar meme yang menyindir Menhub Jonan beredar di dunia maya (sumber: Kompas.com)"]
Tarif murah atau supermurah yang memang kelihatannya tak masuk akal itu hanyalah merupakan bagian dari strategi bisnis Air Asia. Sesungguhnya mereka hanya menjual jumlah tertentu seat yang rata-rata biasanya kosong dalam frekuensi penerbangan tertentu. Daripada dibiarkan kosong, dijualnya dengan strategi “obral” seperti itu.
Rata-rata orang terbang juga biasanya tidak sendirian, tetapi bersama keluarga, teman atau koleganya. Dia akan membeli tiket pesawat Air Asia dengan tarif murah di bawah tarif rata-rata normal LCC, tetapi karena hanya tersedia beberapa seat, akhirnya anggota keluarga yang lain atau teman-temannya yang lain yang ikut terbang membeli tiket dengan tarif normal LCC.
Analogi strategi bisnis ini seperti yang biasa dilakukan oleh supermarket/hypermarket, ketika mereka mengobral produk-produk tertentu yang harganya sangat murah, bahkan dijual rugi. Maka berbondong-bondonglah orang ke sana untuk membeli produk itu, tetapi produk itu biasanya dibatasi jumlah pembeliannya untuk setiap orang, dan biasanya orang kalau sudah berbelanja di supermarket/hypermarket tidak hanya membeli barang obral itu, tetapi juga barang-barang lainnya. Selain membeli produk tersebut, orang biasanya juga membeli produk lainnya, yang dijual di sana dengan harga normal, sehingga barang-barang lain dengan harga normal pun terangkat omzetnya. Strategi ini dilaksanakan tanpa mengorbankan kualitas pelayanan kepada pelanggannya itu.
[caption id="attachment_345926" align="aligncenter" width="318" caption="Iklan hotel tarif super murah. Tetapi biasanya belum termasuk fasilitas televisi, handuk, sikat gigi, odol, dll"]
Strategi ini juga dilakukan beberapa hotel bertarif supermurah (budget hotel), yaitu dengan menetapkan tarif menginap di hotelnya yang kedengarannya tidak masuk akal, saking murahnya. Tetapi, ketika kita mau menginap di sana, ternyata tarif tersebut merupakan tarif yang benar-benar standar hanya untuk kamar saja, tanpa fasilitas yang umumnya sudah ada di kamar hotel, seperti penyejuk udara/air-conditioner/AC, televisi, selimut, handuk, sabun mandi, sikat gigi dan odol, serta breakfast. Jika Anda membutuhkan fasilitas atau benda-benda tersebut, maka akan dikenakan tarif tambahan. Yang ujung-ujungnya tarifnya tidak berbeda jauh atau sama dengan tarif budget hotel pada umumnya. Dan, orang-orang yang menginap di sana tidak terancam keamanannya, karena standar keamanan tetap dijaga.
Demikian jugalah yang diterapkan dalam menjalankan strategi bisnis maskapai penerbangan LCC, mereka menghilangkan fasilitas-fasilitas yang memanjakan penumpangnya itu, yang sebetulnya memang kurang begitu dibutuhkan penumpangnya, yang penting tarif murah terjangkau, kenyamanan-kenyamanan dihilangkan, bukan masalah, yang penting bisa terbang dengan selamat. Dengan kata lain, LCC hanya menghilangkan fasilitas-fasilitas kenyamanan sebagaimana sudah saya sebutkan di atas, tetapi tidak untuk standar keamanan pesawatnya. Kalau sampai standar keamanan dan keselamatan pesawatnya juga dikorbankan, apakah masuk akal pilot dan pramugarinya tidak mempersoalkannya, dan tetap terbang dengan pesawat itu juga? ***
Artikel terkait:
Penghiburan Rohani bagi Keluarga Korban Air Asia QZ 8501
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H