Terkait eksekusi mati 6 terpidana kasus narkoba yang grasinya ditolaknya, Presiden Jokowi beberapa kali menyatakan ia memang harus bersikap tegas (tanpa ragu) untuk menegakkan hukum di Indonesia, apa yang telah diputuskan pengadilan harus dijalankan. “Indonesia dalam keadaan darurat narkoba! … Tiada ampun bagi terpidana narkoba!” tegasnya. Indonesia juga harus menunjukkan kedaulatannya kepada negara lain, katanya lagi, ketika diminta komentarnya mengenai adanya protes dari Belanda dan Brasil karena warganegaranya termasuk yang dieksekusi.
Ketegasan tanpa ragu Presiden Jokowi ini benar-benar terlihat di sini, ini juga menunjukkan konsistensinya terhadap prinsip dan slogan yang pernah dianyatakan, dan juga ditulis di Fans Face Book-nya: “Pemimpin adalah Ketegasan Tanpa Ragu!”
[caption id="attachment_346905" align="aligncenter" width="556" caption="(sumber: Fans Face Book Jokowi)"]
Tetapi, bagaimana dengan kasus yang kini paling ramai diperbincangkan di Tanah Air, yaitu kontroversi dipilihnya Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri? Apakah prinsip “Pemimpin adalah Ketegasan Tanpa Ragu” juga berlaku baginya?
Presiden Jokowi adalah biang dari mencuatnya kontroversi tersebut.
Berawal dari sikapnya yang tidak terus terang, karena pada Kamis, 7 Januari 2015, ketika ditanya wartawan Majalah Tempo, apakah dia sudah menentukan pengganti Kapolri, dan apakah penggantian Kapolri akan dipercepat? Jokowi menjawab kedua pertanyaan itu dengan: “Belum, saya belum memikirkannya.” (Majalah Tempo, 12-18 Januari 2015). Faktanya, dua hari kemudian, 9 Januari 2015, dia memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri dari 5 calon yang disodorkan Kompolnas. Pada hari itu juga, dia langsung mengirim surat kepada DPR untuk mendapat persetujuan lembaga itu. Benar-benar sangat cepat.
Padahal sebelumnya, seperti yang sudah diketahui umum, Budi Gunawan, sejak 2010 sudah diduga memperoleh kekayaan secara tak wajar, pemilik salah satu dari 21 rekening gendut perwira Polri. Saat hendak melakukan seleksi calon para menterinya, November 2014, Jokowi melibatkan KPK dan PPATK untuk mengetahui rekam jejak calon-calon itu. Dari hasil itu, KPK memberi informasi kepada Jokowi tentang adanya beberapa nama yang diberi catatan merah, rapor merah. Salah satunya adalah Komjen Budi Gunawan.
KPK mengrekomendasikan kepada Presiden Jokowi agar tidak memilih nama-nama itu sebagai menterinya, karena sudah pasti para pemilik rapor merah itu, cepat atau lambat akan berstatus tersangka. Saat itu Jokowi memenuhi rekomendasi KPK itu. Budi Gunawan yang semula diplot menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pun dicoret dari daftar calon menteri.
Tetapi tiba-tiba sekali, pada 9 Januari 2015 itu, diumumkan: Presiden Jokowi telah memilih Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, yang segera mengganti Jenderal Sutarman, yang baru berakhir masa jabatannya pada Oktober 2015. Publik kaget, apalagi KPK. Maka KPK pun bertindak cepat, agar tidak terjadi prahara nasional, jika sampai Budi Gunawan terlanjur dilantik sebagai Kapolri, dengan mempercepat penetapan status Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi (baca artikel saya sebelumnya: Jokowi-lah yang Membuat KPK Mempercepat Status Tersangka Budi Gunawan).
Giliran, Jokowi-lah kaget, atau pura-pura kaget? Katanya, tidak menyangka KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, apalagi begitu tiba-tiba. Padahal sebenarnya, tidak tiba-tiba (baca ulasannya di artikel: Kasus Budi Gunawan: PDI-P Mau Seperti PKS? )
Tetapi, ternyata, dia tidak menarik kembali suratnya kepada DPR itu, DPR dibiarkan melanjutkan proses pencalonan Budi Gunawan itu dengan melakukan uji kepatutan dan kelayakan, pada 14 Januari 2015. Kata Jokowi, dia menunggu hasil keputusan DPR tentang nasib Budi Gunawan itu, sebelum menentukanl sikapnya. Mungkin mengharapkan DPR menolak Budi Gunawan, mengingat status tersangkanya itu. Tetapi, ternyata tidaklah demikian. Aneh tapi nyata, ajaib tapi benar-benar terjadi: meskipun sudah berstatus tersangka korupsi, Komisi III DPR tetap memuluskan jalannya Budi Gunawan menuju kursi Trunojoyo-1, dengan menyatakan Budi patut dan layak sebagai Kapolri. Besoknya, dalam rapat paripurnanya, DPR secara aklamasi setuju Budi Gunawan sebagai Kapolri, mengganti Sutarman.
Sebenarnya kalau mau dipikir-pikir, putusan DPR itu terhadap Budi Gunawan itu tidak aneh-aneh juga. Wajar, kan kalau salah satu lembaga yang sejak lama dikenal sebagai “sarang koruptor” di Indonesia itu merasa cocok dengan calon Kapolri yang tersangka koruptor?
Diduga juga persetujuan DPR terhadap Budi Gunawan sebagai Kapolri itu juga merupakan “jebakan Batman” bagi Jokowi. Mereka sengaja setuju, agar reputasi Jokowi akan hancur kalau sampai dia tetap nekad melantik seorang Kapolri yang tersangka korupsi. Apalagi jika kemudian yang bersangkutan ditahan KPK. Atau, kemudian terjadi kerusuhan besar, jika ketika hendak ditahan KPK, polisi melawan, membela pimpinan tertingginya itu, dan rakyat membela KPK. Cita-cita mereka untuk menginterpelasi Jokowi, dan melengserkannya, bisa terwujud.
Demikian juga dengan jika kelak Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan, hampir pasti DPR (dari KMP) akan mempersoalkannya juga. Mereka akan menunjukkan kegusarannya dengan menuding Jokowi telah melakukan penghinaan terhadap parlemen karena kenapa membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang berdasarkan surat dari Jokowi sendiri itu sudah mereka setujui? Jokowi sudah minta persetujuan dari DPR, DPR sudah setuju, kok malah dibatalkan? Itulah yang akan dipersoalkan para politikus oportunis dan hipokrit itu.
Janji Jokowi akan mengambil sikap sesuai dengan putusan DPR pun ternyata tidak diwujudkan. Dua hari setelah persetujuan DPR itu, Jumat, 16 Januari 2015, Presiden Jokowi memutuskan menunda, bukan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri (padahal masa jabatannya baru berakhir pada Oktober 2015), dan mengangkat Wakapolri Badrodin haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.
Sampai kapan kondisi ini terus berjalan? Padahal dengan putusannya itu, Jokowi telah menciptakan keadaan tak kondusif di lembaga Polri. Sebagai pelaksana tugas Kapolri, Badrodin tidak bisa memutuskan hal-hal strategis untuk Polri, padahal putusan-putusan itu sangat segera diperlukan. Misalnya, keputusan penggunaan anggaran untuk sejumlah proyek Polri.
Apakah yang membuat Jokowi seolah-olah begitu ingin mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kapolri, meskipun nyata-nyata dia sudah ditetapkan sebagai tersangka? Dugaan merebak bahwa hal ini tak lepas dari pengaruh kuat Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh. Jika ini benar kita patut sangat prihatin dengan Jokowi. Di manakah indepedensinya sebagai Presiden? Ejekan-ejekan yang pernah dilontarkan kepadanya, seperti “bukan presiden, tetapi hanya petugas partai”, “presiden boneka”, dan lain sejenisnya bisa mendapat pembenaran dari kasus ini.
Ketika berargumen tentang pemilihannya terhadap Budi Gunawan, argumentasi hak prerogatif presiden pun dikemukakan. Lalu, untuk menentukan secara tegas nasib Budi Gunawan sekarang, apakah hak prerogatifnya itu masih ada saat berhadapan dengan Megawati, Jusuf kalla, dan Surya Paloh itu?
Jika apa yang diduga dan dianalisis oleh sejumlah kalangan itu tidak benar, maka Jokowi harus membuktikannya secepatnya, tegas tanpa ragu, dengan cara segera mengambil sikap finalnya: Membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan segera memilih calon baru yang lebih pasti dan jelas kejujuran, kebersihan dan integritasnya.
Presiden Jokowi tidak bisa berlama-lama dalam keraguannya dengan keputusannya menunda apa yang hendak dialakukan terhadap Budi Gunawan itu, karena rasa keadilan dan kepastian hukum itu tidak bisa ditunda-tunda. Menjadi pemimpin itu harus berani menjalankan prinsip, prinsip yang dibuat sendiri Jokowi: Ketegasan tanpa ragu!
Presiden Jokowi jangan hanya bisa menerapkan prinsipnya tersebut ketika tidak ada yang mencoba mengintervensi hak prerogatifnya, seperti dalam keputusannya menolak grasi semua terpidana mati kasus narkoba, tetapi juga harus berani diterapkan saat ada yang mengintervensi hak prerogatifnya untuk memilih calon Kapolri, sekalipun yang mencoba mengintervensikannya itu adalah Ketua Umum PDI-P sendiri: Megawati Soekarnoputri. Presiden Jokowi harus berani menunjukkan juga “kedaulatannya” sebagai Presiden RI kepada siapa pun juga.
Saat ini juga sudah terjadi “darurat jabatan Kapolri”, Presiden Jokowi harus berani bersikap tegas tanpa ragu untuk bisa mengatasinya sesegra mungkin. Jangan hanya berani mengatasi “darurat narkoba.”
Bagaimana dengan prinsip, dan slogan anda sendiri, Pak Presiden: Pemimpin adalah Ketegasan Tanpa Ragu!” ? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H