[caption id="attachment_360321" align="aligncenter" width="465" caption="Puan dan Mega (Republika.co.id)"][/caption]
Pidato blunder Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyatakan semua kader PDIP di legislatif, maupun di eksekutif adalah petugas partai, dan jika tidak mau disebut petugas partai, silakan keluar, saat ini menjadi salah satu pembicaraan paling hangat di dunia maya.
Meskipun pernyataannya itu disampaikan secara umum kepada “semua kader PDIP”, tetapi siapapun dengan mudah bisa menebak kepada siapa sebenarnya sasaran tembak Megawati itu ditujukan. Kepada siapa lagi, kalau bukan kepada Jokowi, kadernya yang sekarang menjadi Presiden RI. Apa latar belakangnya? Sudah saya coba analisis di artikel saya sebelumnya, silakan klik di sini, jika ingin membacanya.
Sebelum Megawati menyampaikan pidatonya tentang kader PDIP yang petugas partai ini (terutama, pasti dalam konteks ini adalah Jokowi), anaknya sendiri, Puan Maharani juga pernah menyatakan hal yang sama. Ia bahkan pada kesempatan itu secara tersirat dengan beraninya menyatakan silakan saja Jokowi keluar dari PDIP, jika memang menghendakinya demikian, karena itu adalah hak semua warganegara. Hal itu disampaikan Puan merespon komunitas rakyat yang menyerukan Jokowi keluar saja dari PDIP, dan membentuk partai baru, jika PDIP masih terus berupaya mendiktenya.
Padahal status Puan saat ini adalah menterinya Jokowi, bawahannya Jokowi. Tetapi, seperti yang saya pernah sebutkan di artikel saya sebelumnya, di antaranya yang berjudul Puan Semakin Berani terhadap Jokowi Puan tidak menganggap dia adalah bawahan Jokowi. Ia masih menganggap justru Jokowi adalah bawahannya, karena Jokowi adalah petugas partainya, dan Jokowi tidak punya jabatan apapun di PDIP, sedangkan ia adalah salah satu petinggi PDIP, bahkan anak dari “pemilik” PDIP.
Puan, seperti Ibunya, tidak menghargai Jokowi sebagai Presiden RI, mereka berdua masih menganggap Jokowi adalah bawahan mereka, petugas partainya. Jadi, seolah-olah mereka menghendaki mereka berdualah yang mengendalikan negeri ini, bukan Jokowi. Jokowi hanya sebagai bonekanya mereka, yang melaksanakan tugas-tugas kepresidenannya sesuai dengan arahan mereka atas nama PDIP.
Saya sekarang menduga, tempo hari, di Pilpres 2014, saat Mega akhirnya merelakan Jokowi yang dimajukan sebagai calon presiden dari PDIP, Mega tidak tulus hatinya. Sebab sebelumnya, ia masih menunjukkan hasratnya untuk maju lagi sebagai calon presiden. Tetapi Mega akhirnya harus memilih realistis dengan melihat fenomena Jokowi pada saat itu, yang dari berbagai hasil survei pilpres menunjukkan selalu unggul dengan persentasi yang sangat besar, melebihi siapa pun, termasuk dia sendiri.
Mega pun memutuskan tidak mencalonkan dirinya sendiri, digantikan oleh Jokowi. Dengan harapan jika Jokowi yang menang, terpilih sebagai presiden, maka ia bersama PDIP akan mengendalikan Jokowi sebagai petugas partai dalam menentukan kebijakan dan jalannya pemerintahan. Akhirnya, memang Jokowi-lah yang menjadi Presiden, dan bukankah sekarang ini hal itu sudah terjadi, dan semakin terbukti dengan pidato Megawati tersebut?
Megawati sudah secara tegas dan jelas menyatakan Jokowi adalah petugas PDIP, yang wajib menjalankan garis kebijakan yang ditetapkan partai dalam nenjalankan pemerintahannya sebagai Presiden. Mega sudah menegaskan PDIP harus ikut menentukan garis kebijakan pemerintahan dari petugas partainya yang kini menjadi Presiden RI.
Pernyataan Megawati dan Puan ini bertentangan dengan prinsip dan janji yang jauh-jauh hari sudah pernah diucapkan Jokowi berkali-kali, yaitu saat masa kampanye Pilpres 2014 yang lalu. Antara lain, pada 25 Mei 2014, saat dia berkampanye di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pada kesempatan itu Jokowi menegaskan bahwa sampai saat itu ia memang petugas partai, tetapi jika sudah terpilih menjadi presiden ia bukan lagi petugas partai. "Saya ‘kan memang petugas partai. Di PDIP itu memang ada istilahnya ‘petugas partai’," ujar Jokowi ketika itu.
Kemudian Jokowi menegaskan: "Tapi kalau saya sudah menjadi wali kota, gubernur, bahkan nanti pas jadi presiden, ya, partai ndak ikut-ikutlah!” (Kompas.com).
Jokowi mengatakan, partainya (PDIP) hanya berpesan kepadanya untuk menjalankan tugas sebaik-baiknya sebagai wali kota, gubernur, atau presiden. Yang penting, Jokowi diminta menjalankan ideologi partai.
"Partai cuma minta menjalankan tiga hal. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam hal ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan," lanjutnya.
Selama dia menjabat sebagai wali kota serta gubernur, Jokowi pun mengaku tidak pernah dititipkan apa-apa oleh petinggi partai politik. Bahkan, petinggi partai menegaskan kepada Jokowi bahwa pemegang kekuasan sebenarnya adalah rakyat, bukan partai politik.
Jokowi menegaskan hal tersebut, karena sejak waktu itu. beberapa pihak sudah pernah mengatakan bahwa jika Jokowi menjadi presiden, maka PDIP, terutama ketua umum Megawati Soekarnoputri akan mendiktenya dalam hal pemerintahan.
Sekarang, ternyata apa yang dikatakan beberapa pihak itu terbukti benar.
Dengan Megawati dan Puan menyatakan hal yang sebaliknya dengan prinsip dan komitmen yang pernah diucapkan sendiri Jokowi itu, sama saja dengan mereka juga menantang Jokowi: apakah berani melawan pernyataan mereka itu, ataukah tidak.
Jika berani, maka berarti untuk selanjutnya, mulai dari sekarang, Jokowi tidak mau didikte PDIP/Mega lagi, ia menyatakan bukan petugas partai, tetapi petugas rakyat – dengan konsekuensi “keluar dari partai!”, jika tidak berani, maka berarti Jokowi mengkhianati komitmennya itu sendiri. Sama dengan PDIP, ia ikut membohongi juga para pendukungnya.
Kita yang dulu mendukung PDIP, ternyata telah dibohongi partai ini, sekarang tinggal Jokowi. Apakah ia juga akan membohongi kita semua, para pendukungnya?
Cara untuk menjawabnya: Sekarang juga, Jokowi harus menunjukkan konsistensi atas komitmennya tersebut di atas. Apakah sekarang ia merasa sebagai petugas partai, ataukah petugas rakyat? Apakah pemegang kekuasaan tertinggi itu adalah rakyat, atau PDIP? Tidak mungkin dua-duanya. Jokowi memilih mana? Saat ia menjawabnya dalam wujud nyatanya, saat itu juga kita juga bisa menilai apakah Jokowi ini tipikal sosok yang bersih dari korupsi, dan tidak takut kehilangan jabatannya, ataukah bersih, tetapi takut kehilangan jabatannya?
Memang Jokowi tidak boleh juga melupakan jasa PDIP dan parpol-parpol lain dalam KIH sebagai pendukungnya di Pilpres 2014, ia juga harus memberi peran yang penting bagi PDIP dan parpol-parpol lain pendukungnya secara proporsonal, ia boleh melakukan diskusi dan mendengar nasihat-nasihat mereka, tetapi bukan berarti dan tidak sama dengan PDIP boleh mendikte Jokowi, atau Jokowi harus mengikuti kehendak PDIP. Dalam sistem pemerintahan presidensial, kedudukan presiden adalah independen dan lebih tinggi daripada parpol mana pun.*****
Artikel terkait:
Jadi, Jokowi Mau Dikeluarkan dari PDIP, Karena Menjadi Petugas Rakyat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H