Wakil Presiden Jusuf Kalla tampaknya dari dulu memang kurang sreg dengan KPK. Ia bahkan pernah beberapakali menyalahkan KPK sebagai penyebab tersendatnya progres pembangunan di daerah-daerah. Dalam pernyataannya itu, Kalla menilai sepak terjang KPK sudah kebablasanlah yang membuat banyak kepala daerah takut menjadi kuasa pengguna anggaran, salah-salah malah nanti ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi,oleh karena itu mereka hanya memarkirkan dana pembangunan daerahnya di bank.
Padahal, jika kepala daerah itu menggunakan anggaran pembangunan daerah itu secara profesional, jujur, benar dan tepat, transparan, bila perlu diaudit akuntan publik independen secara berkala, diumumkan ke publik,kenapa harus takut kepada KPK?
Jusuf Kalla juga pernah mengatakan, sebenarnya gratifikasi itu merupakan sesuatu yang wajar sebagai pelumas pembangunan. Menurutnya dulu, gratifikasi itu masih dianggap sesuatu yang lumrah, baru sekarang hal itu dianggap sebagai suatu kejahatan.
Baru-baru ini, saat diwawancara Majalah Tempo, Ia juga menyindir KPK dengan mengatakan sebagai lembaga penegak hukum, KPK itu jangan menjadi seperti monster yang menakutkan.
“… Dulu orang bawa kado atau hadiah tidak apa-apa, biasa. Sekarang itu baru melanggar. Bagaimana kalau ada orang dulu kasih hadiah kemudian diterapkan hukuman yang baru? Tidak boleh, kan? Kami harus setuju terhadap penegakan hukum, tapi janganlah lembaga penegak hukum menjadi monster yang menakutkan,”kata Jusuf Kalla (Majalah Tempo, 2-8 Februari 2015).
Pernyataan Jusuf Kalla itu digunakan sebagai argumen membela Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang sampai saat ini masih berstatus calon tunggal Kapolri sekaligus tersangka korupsi. Rupanya, menurut Kalla gratifikasi yang diperoleh Budi Gunawan itu adalah kejadian lama, yang seharusnya tidak perlu dipersoalakan secara hukum oleh KPK.
“Kejadian yang disangkakan kepada BG itu sepuluh tahun yang lalu. Masak tiba-tiba muncul pada saat dia mau diangkat? Yang diperiksa kan awalnya hanya uang Rp 150 juta?” bela Jusuf Kalla.
Padahal, sebenarnya korupsi yang disangkakan KPK kepada Budi Gunawan itu adalah kejadian antara tahun 2004-2008. Pada saat itu sudah ada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negaradianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannyadan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kepada Tempo, Jusuf Kalla bercerita, ketika Ketua KPK Abraham Samad datang ke Istana Bogor, Jumat, 23 Januari 2015, memenuhi panggilan Presiden Jokowi, terkait kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto, Jokowi dan dia mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abraham.
Membaca uraian pertanyaan-pertanyaan Kalla kepada Abraham menyangkut Budi Gunawan itu terkesan kuat dia sangat membela Budi Gunawan, sebaliknya kepada Abraham (KPK). Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu, Jusuf Kalla menguliahi dan menghakimi KPK atas penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka itu.
Kalla bahkan memberi “kuliah singkat” tentang hukum kepada Abraham Samad, kepada KPK. Bahwa KPK salah dalam penerapan tindakan hukumnya kepada Budi Gunawan, dan seharusnya bagaimana. Sayang sekali “kuliah hukum” itu malah salah kaprah.
Kalla malah bertindak terlalu jauh, dengan menanyakan hal-hal yang sebenarnya sudah masuk ke pokok perkara, seperti meminta bukti-bukti apa yang bisa diberikan KPK kepadanya bahwa memang Budi Gunawan patut ditetapkan sebagai tersangka. Ketika Abraham menolak menjawabnya, Kalla menyimpulkan, KPK tidak punya bukti sama sekali, tetapi berani dan ceroboh menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka.
Saya bertanya: “itu orang salahnya apa?” Dijawab, “Aliran uang, Pak.” Saya bilang apakah semua orang yang ada aliran uang langsung dianggap melakukan korupsi? “Iya, Pak, tapi tidak wajar.” Tidak wajar dari segi apa? “Tidak wajar dari segi pendapatan.” Wah, kalau dari segi pendapatan, semua orang di Jakarta tidak wajar. Mana ada yang bisa hidup dengan gaji Rp 7 juta. Bisa saja ada bisnis keluarga dan istri atau dia jual tanah. Ya, jangan dulu bilang salah dong kalau begitu. “Kan ada anaknya umur 19 terima miliaran.” Jangan begitu, saya tersinggung. Umur 19 itu sudah dewasa dari segi hukum. Saya umur 17 sudah pegang uang lebih banyak dari itu. Jangan anggap umur itu langsung salah, yang benar saja itu. Jangan pakai ngomong umur lagi. Saya bilang tersinggung semua anak muda kalau begitu.
… Bukan saya membelanya (Budi Gunawan). Tapi kalau begini, semua orang yang terima duit dianggap korup, bahaya negeri ini.
… Jangan tiba-tiba orang itu tersangka.
Padahal, usia dewasa menurut Hukum Perdata adalah jika seseorang sudah mencapai usia 21 tahun, bukan 19 tahun. Pasal 330 KUHPerdata: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah kawin.”
Sangat naif, Kalla memandang hasil penyidikan KPK secara sedemikian sempit dan sederhana. Tentu saja, tidak sebatas begitu melihat transaksi tak wajar saja, langsung KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Pasti ada teknik-teknik penyidikan, banyak petunjuk dan variabel-variabel lainnya yang menjadi patokan KPK sesuai dengan SOP yang berlaku.
Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2011, Bibit Samad Waluyo, mengaku bahwa kasus Budi Gunawan sudah mulai diusut sejak dia masih menjabat di KPK, "Kasus BG dari zaman saya sudah dilakukan penyelidikan," kata Bibit,Senin (26/1/2015), di Jakarta.
Menurut Bibit, ketika ia masih di KPK, sudah ditemukan indikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan Budi. Hanya saja, proses penyelidikan itu ditunda karena pimpinan KPK waktu itu tidak menemukan cukup bukti hingga masa jabatannya berakhir. Indikasi tindak pidana yang ditemukan KPK ketika itu juga belum kuat.
"Indikasinya belum kuat, yang belum selesai diteruskan ke pemimpin berikutnya yang belum selesai," kata Bibit (Kompas.com).
[caption id="attachment_349779" align="aligncenter" width="490" caption="(Sumber: Harian Jawa Pos)"][/caption]
Bukti-bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Budi sebagai tersangka itu mulai ditemukan KPK di bawah kepimpinan Abraham Samad, di antaranya data mengenai transaksi mencurigakan dari rekening-rekening bank milik Budi dan anaknya di beberapa bank.
Di antaranya, adanya setoran-setoran mencurigakan dari beberapa perwira polisi ke rekening Budi dari 2004-2006, yang jumlahnya dari ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah per transaksi. Dicurigai setoran-setoran tersebut berkaitan erat dengan penempatan dan jabatan perwira-perwira polisi itu ke “tempat basah” oleh Budi Gunawan, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Karier dan Pembinaan.
Lebih lengkap lagi, lihat grafis di bawah ini:
[caption id="attachment_349782" align="aligncenter" width="560" caption="(Sumber: Majalah Tempo, 19-25 Januari 2015)"]
Demikian juga dengan soal usia anak Budi, Herviano Widyatama, yang saat itu baru 19 tahun, tetapimenerima dana sampai Rp. 57 miliar, yang dipersoalkan Kalla kepada KPK itu. Ini jelas sekali, bukan hanya sekadar karena dia masih 19 tahun,lalu KPK curiga, lalu menjadikan Budi sebagai tersangka. Tetapi, yang substansial adalah adanya beberapa kejanggalan di transaksi tersebut; Bagaimana mungkin, ada orang yang begitu gampang menyetorkan dana sampai sedemikian besar tanpa akta perjanjian, kepada anak yang baru berusia 19 tahun ataubelum dewasa secara hukum, dan tanpa agunan pula?
Tempo: Bukankah KPK sudah memberi tanda merah?
Jusuf Kalla: Ya, tentu disampaikan, tapi saya kan juga berpegang pada praduga tak bersalah, dong. Apalagai disampaikan tanpa bukti. Kalau semua begitu, semua orang bisa menjadi sandera. Maka dewasalah itu teman-teman KPK. Kuning-merah-kuning-merah-kuning-merah. Dan, saat diminta bukti, tidak ada bukti.
Apakah KPK sudah menyatakan Budi Gunawan itu bersalah? Kok, bisa Kalla berbicara tentang asas praduga tak bersalah dengan KPK?
KPK baru menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, KPK tidak mengatakan Budi pasti bersalah. Semua itu nanti menjadi wewenang hakim pengadilan Tipikor saat menyidangkan kasus ini kelak.
Tetapi secara logika, etika dan moral, seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, tidak sepatutnya tetap dilantik sebagai pejabat negara apa pun, termasuk apalagi sebagai Kapolri, yang adalah lembaga tinggi penegak hukum. Seharusnya hal ini sudah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, yang melarang seseorang dilantik sebagai seorang pejabat negara jika dia berstatus tersangka tindak pidana.
Apalagi mengingat reputasi KPK selama ini, bahwa begitu seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka, pasti akan diitkui dengan tindakan penahanan, dan di sidang pengadilan tipikor selama ini, KPK selalu menang, terdakwa korupsi itu selalu terbukti bersalah dan divonis penjara. Bagaimana mungkin seorang yang sudah menjadi Kapolri mengikuti proses hukum itu?
Dari mana Kalla bisa menyimpulkan bahwa KPK secara sedemkian ceroboh menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka tanpa bukti? Apakah hanya karena ketika dia meminta Abraham menunjukan bukti itu, Abrahaam menolaknya? Meskipun dia adalah Wakil Presiden, jelas sekali dia tidak boleh mengintervensi KPK sampai sedemikain jauh, dengan menanyakan KPK tentang alat bukti yang menjerat Budi. Bahkan Presiden sekali pun tak berwenang menanyakan hal-hal yang sampai mengenai pokok perkara, termasuk tentang alat bukti.
Yang harus bersikap dewasa itu justru Jusuf Kalla sendiri, apalgi sudah termasuk sepuh begitu.
Diperlakukan sedemikian rupa oleh Jusuf Kalla, tidak heran wajah Abraham Samad terlihat begitu merengut ketika berdiri di samping Presiden Jokowi yang menyampaikan keterangan persnya yang singkat itu.
[caption id="attachment_349792" align="aligncenter" width="630" caption="(Tibunnews.com)"]
Jusuf Kalla adalah salah satu tokoh penting pembela dan pembeking Budi Gunawan yang paling vokal sekaligus ngawur! ***
Artikel terkait:
Siapa di Belakang Praperadilkan KPK?
Janggalnya Tudingan terhadap Abraham Samad
Sikap Budi Gunawan yang Membuat Kita Semakin Yakin
Kenapa Wacana Hak Imunitas Pimpinan KPK Bisa Diterima?
Janggalnya Kasus Bambang Widjojanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H