Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa DPR (dan Pemerintah) Ogah KPK Punya Gedung Baru?

5 Juli 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:17 2250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_186313" align="aligncenter" width="500" caption="Gedung KPK (sumber: http://pedomannews.com/images/photos/gedung_KPK_Flickr_Shanghai_Daddy_OK.jpg)"][/caption]

Dengan alasan apapun sesungguhnya tidak masuk akal Komisi III DPR belum juga menyetujui, kalau tak mau disebut menolak/mencekal, anggaran pembangunan gedung baru KPK. Kecuali jika mereka mengakui terus terang bahwa mereka sebenarnya anti-KPK. Maka, wajar yang anti KPK (pro koruptor, atau bahkan koruptor itu sendiri) anti pembangunan gedung baru KPK.

Sebenarnya DPR itu memang tidak punya alasan yang bisa diterima akal sehat atas tindakan mereka tersebut. Maka itu, yang keluar adalah dua alasan yang sangat tidak masuk akal menurut akal sehat. Sangat kelihatan terlalu dibuat-buat. Sekadar supaya ada alasan saja. Alasan DPR itu adalah karena KPK adalah lembaga ad-hoc, dan pembangunan gedung baru KPK itu bertentangan dengan program pemerintah untuk hemat anggaran!

Seolah-olah DPR itu mau bilang karena KPK itu sifatnya ad-hoc (sementara), toh suatu ketika akan dibubarkan, untuk apa dibangun gedung baru? Seolah-olah menurut DPR, suatu ketika KPK tidak akan lagi dibutuhkan di Indonesia, karena korupsinya sudah hilang, maka itu tidak perlu dibangun suatu gedung baru yang lebih besar, karena nanti kan mubazir.

Mungkinkah suatu ketika korupsi tidak ada lagi di Indonesia, dan oleh karena itu suatu ketika KPK juga tidak dibutuhkan lagi? Tentu saja, jawabnya adalah tidak mungkin. Seperti kejahatan lainnya, meskipun bisa diperangi dan dikurangi semaksimal mungkin, yang namanya penjahat itu akan selalu ada. Untuk memberantasnya yang di DPR saja, ‘kan tidak pernah habis-habisnya. Malah semakin lama semakin bertambah banyak, baik dari segi kuantitas, maupun kualitasnya. Taruhlah kita berandai-andai saja, suatu waktu Indonesia akan benar-benar bebas dari korupsi, tetapi itu perlu berapa tahun lagi? Minimal beberapa puluh tahun lagi.

Bandingkan saja dengan Hongkong, yang terkenal sebagai salah satu negara yang paling sukses memberantas korupsi. Dimulai dari berdirinya lembaga antikorupsi di negara itu pada 1974, The Independent Commission Against Corruption of Hongkong (ICAC), sampai sekarang masih ada dan masih dibutuhkan. Padahal saat ini Hongkong dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil memberantas korupsi. Bahkan gedung kantor pusat ICAC di Hongkong yang baru dibangun pada 2005, berdiri dengan megahnya, seperti gambar di bawah ini. Itulah suatu bukti bahwa di negara manapun, lembaga seperti KPK tetap terus dibutuhkan sepanjang manusia itu belum berubah menjadi malaikat.

Kenapa DPR kita tidak mau mempunyai KPK dengan gedung yang megah dan besar seperti ini? Sebenarnya tidak perlu semegah yang punya ICAC, tetapi yang penting besar dan luasnya memadai, tetapi itu pun DPR bersama pemerintah kelihatan sekali ogah-ogahan untuk memberikannya kepada KPK. Kalau tidak terus disorot dan diawasi masyarakat, sejak awal menerka sudah secara tegas mengatakan menolak. Biar KPK terus berada di gedung lamanya, semakin tak layak, semakin baik. Karena KPK akan semakin lemah, atau setidaknya tidak bisa bertambah kuat.

[caption id="attachment_186314" align="aligncenter" width="598" caption="Gedung kantor pusat ICAC di Hongkong (sumber: wikipedia.org)"]

13414561812111256259
13414561812111256259
[/caption]

1341456269972779286
1341456269972779286

(sumber: http://www.flickr.com/photos/21644610@N06/2239245416/ )

DPR Menolak, karena Tidak Mau KPK Menjadi Lebih Perkasa

Apakah betul karena alasan demi penghematan anggaran? Rasanya kita mau muntah kalau mendengar DPR bicara soal penghematan anggaran, karena selama ini DPR dikenal sebagai salah satu lembaga negara yang selain paling korupsi, juga paling boros anggaran. Selain mereka sendiri menetapkan gajinya yang kelewat tinggi (tak sebanding dengan kinerjanya), masih ditambah dengan berbagai fasilitas mewah, seringkali bepergian ke luar negeri untuk pelesiran sambil studi banding-bandingan, dan sebagainya.

Tidak masuk akal alasan demi penghematan anggaran DPR mau menolak pencairan dana APBN untuk membangun gedung baru KPK. Karena sudah sangat jelas saat ini KPK memang sangat membutuhkan segera punya gedung baru yang lebih besar/luas, yang memadai, agar kinerjanya bisa lebih maksimal lagi. Potensi kinerja KPK pasti meningkat pesat dalam pemberantasan korupsi kalau sudah punya gedung baru. Inilah alasan sesungguhnya DPR untuk menolak pembangunan gedung baru KPK. Mereka takut KPK bertambah perkasa dan garang, karena bisa-bisa di antara mereka yang selama ini belum tersentuh akan menjadi “korban” KPK berikutnya.

Jika, nanti KPK gagal punya gedung baru gara-gara diganjal oleh DPR ini, maka KPK ingat-ingat saja. Kelak kalau ada anggota DPR yang ditangkap dan ditahan KPK karena korupsi, ditahan saja di kebon binatang. Bikin alasan karena kapasitas gedung KPK tidak mencukupi, maka terpaksa anggota DPR koruptor itu ditahan di kebon binatang.

Ketika saya mengusulkan hal ini di sebuah mailing list, ada yang bilang, lebih baik lagi dijadikan makanan penghuni kebon binatang, daripada repot-repot dikasih makan.

Alasan penolakan pembangunan gedung baru KPK itu demi penghematan anggaran oleh DPR itu menjadi semakin kelihatan bohongnya kalau kita mengkaitkan dengan rencana pembangunan gedung baru DPR tempo hari. Waktu itu (awal tahun 2011) DPR mau membangun gedung barunya yang sangat mewah dengan anggaran mencapai Rp. 1,164 triliun. Yang kemudian terpaksa mereka turunkan beberapakali karena mendapat penolakan keras dari masyarakat, sampai terakhir anggarannya menjadi Rp 700 miliar. Tetapi, tetap saja ditolak masyarakat, karena itu jelas-jelas suatu pemborosan yang tidak perlu, dan bahkan belum apa-apa ada indikasi-indikasi korupsi di dalamnya.

Kemudian di awal 2012, masyarakat kembali digegerkan dengan anggaran renovasi ruang Badan Anggaran (Banggar) DPR yang mencapai Rp 20 miliar. Hampir semua mebel dan peralatan di ruang Banggar itu barang impor, termasuk 100 buah kursinya diimpor dari Jerman dengan harga Rp 12 jutaan  – Rp 16 jutaan per buah. Padahal, di pasaran harganya paling mahal Rp 10 juta.

Dalam masa itu, yakni, rencana pembangunan gedung baru DPR dan renovasi ruang Banggar DPR itu, sebetulnya KPK sudah terlebih dahulu mengajukan permintaan persetujuan dari DPR untuk anggaran pembangunan gedung baru KPK. Tetapi, rupanya, tidak ditanggapi DPR. Mereka malah lebih fokus dan mengutamakan rencana pembangunan gedung barunya, dan mengrenovasi ruang Banggar-nya dengan biaya yang super fantastis itu. Kelihatanlah, alasan penghematan anggara itu benar-benar suatu omong kosong yang keterlaluan.

Mereka dengan mudahnya hendak menggunakan uang negara untuk membangun gedungnya sampai triliunan rupiah, tetapi biaya pembangunan gedung baru KPK yang hanya Rp. 61 miliar, malah diabaikan. Bahkan sepertinya mau dicekal.

Rupanya masih ada anggota DPR yang tetap menyimpan hasratnya untuk punya gedung baru itu. Priyo Budi Santoso dari Golkar mengatakan, kalau KPK dibangun gedung baru, seharusnya DPR juga dibangun gedung baru!

Belum lagi kalau kita bandingkan dengan begitu mudah dan cepatnya DPR dan Banggar-nya yang menyetujui anggaran pembangunan proyek yang kini bermasalah dan ditangani KPK, proyek Hambalang, yang dari semula anggarannya Rp 125 miliar di-simsalabim menjadi Rp 1,5 triliun. Giliran KPK mau membangun gedung barunya justru dipersulit minta ampun, kalau tak mau dikatakan dicekal.

Kalau pun nanti DPR menyetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK itu kemungkinan besar dikarenakan mendapat tekanan dari masyarakat. Alias karena terpaksa. Adanya gerakan “Koin untuk KPK” sebagai reaksi masyarakat dari tak kunjung disetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK oleh DPR itu, sebenarnya sudah cukup mempermalukan DPR. Tetapi, apakah mereka masih punya malu itu?

Seandainya, tidak ada tekanan dari masyarakat, mereka (DPR) benar-benar akan menolak pembangunan gedung baru KPK itu. Supaya KPK tidak bisa menjadi lebih perkasa.

Sikap Presiden SBY

Bagaimana dengan sikap Presiden SBY, yang pernah mengklaim dirinya sebagai presiden yang sukses memimpin negara ini memerangi korupsi?

Semula, seperti biasa, Presiden SBY hanya diam tanpa reaksi di tengah-tengah pro-kontra rencana pembangunan gedung baru KPK itu. Setelah “bertapa”-nya dirasakan cukup, barulah pihak Istana menyatakan sikapnya. Melalui Juru Bicara Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha bilang, Presiden SBY terus mengikuti perkembangan kontroversi pembangunan gedung baru KPK itu. Hasilnya, Presiden SBY menyatakan sepenuhnya menyerahkan pada mekanisme dan prosedur yang berlaku. Alias, Presiden patuh pada hukum. Tidak mau intervensi.

Anehnya, kalau KPK sukses menangkap banyak koruptor, Presiden SBY bisa dengan enteng membanggakan diri mengklaim itu sebagai bagian dari keberhasilan pemerintahannya memberantas korupsi (ingat kampanye pilpres-nya di tahun 2009).

Bicara soal prosedur, padahal proses permintaan KPK kepada DPR untuk membangun gedung baru itu sebenarnya sudah lama. Sudah empat tahun! Tetapi tidak pernah disetujui DPR. Terakhir, Komisi III DPR sepakat menolak pembangunan gedung baru KPK itu lewat rapat pleno yang dihadiri 46 anggota Komisi III dari 9 fraksi poada 13 Oktober 2011. Saat itu alasan DPR adalah karena KPK belum memiliki roadmap pemberantasan korupsi. Maka DPR pun dengan caranya sendiri memberi tanda bintang kepada rencana pencairan anggaran pembangunan gedung baru KPK itu.

Ingat-ingat saja, sebaiknya, nanti kalau ada anggota DPR yang korupsi, ditangkap KPK, di dahinya dikasih tanda gambar tikus berkaki dua dan berdasi di dahinya.

Mundur ke belakang, ternyata sudah sejak Juni 2008, KPK sudah meminta kepada DPR agar menyetujui anggaran pembangunan gedung baru KPK itu. Tetapi selalu ditolak dengan berbagai alasan. Sampai dengan sekarang.

Kronologis permintaan KPK untuk membangun gedung barunya itu bisa dibaca di sini.

Maka, kelihatan pula bahwa alasan Presiden SBY untuk tidak mau ikut campur tangan dalam pro-kontra pembangunan gedung baru KPK itu karena menghormati proses dan prosedur adalah alasan yang dibuat-buat. Karena proses itu sebetulnya sudah dimulai sejak Juni 2008 sampai sekarang, tak kunjung ada tanda-tanda positifnya. Presiden SBY pura-pura tidak tahu, diam-diam mendukung sikap DPR itu, dan baru sekarang bikin alasan menghormati prosedur, tidak mau intervensi.

Kalau SBY sungguh-sungguh pro-KPK, maka tanpa harus melakukan intervensi terhadap wewenang DPR itu, dia cukup memberikan pernyataan sikapnya yang tegas dan jelas bahwa dia mendukung segera dibangunnya gedung baru KPK itu.

KPK Dijadikan “Bola Ping Pong” oleh DPR dan Pemerintah

Dengan “bijaksananya” DPR pun memberi solusi untuk KPK, karena menurut mereka membangun gedung baru KPK hanya suatu pemborosan anggaran, maka sebaiknya KPK diberi gedung bekas milik pemerintah saja, yang tidak terpakai, tetapi masih layak dan memadai untuk dipakai KPK. KPK pun tak keberatan, asal memang ada gedung seperti itu. Apakah memang ada?

Kalau memang ada pun, rupanya giliran pemerintah (dalam hal ini Kementerian Keuangan) rupanya tak rela diberikan kepada KPK. Kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, sampai saat ini belum ada prioritas bagi KPK untuk mendapatkan gedung bekas sebagaimana diusulkan Komisi III DPR. Agus mengatakan dia tidak bisa memastikan apakah tersedia gedung bekas untuk KPK. Kalau pun ada, masih banyak lembaga negara lain yang juga membutuhkan, termasuk Kementerian (Keuangan). Maka, kalau ada pun, prioritasnya adalah untuk Kementerian (Jawa Pos, Kamis, 06/07/2012).

“Saya belum bisa memastikan apakah gedung bekas untuk itu (untuk KPK) ada ... Tetapi, tidak besar harapannya. Banyak lembaga negara yang juga membutuhkannya, termasuk Kementerian (Keuangan). Maka, kalau pun ada, prioritasnya adalah untuk Kementerian,” kata Agus di DPR, Rabu, 5 Juli 2012.

Maka, KPK pun dijadikan semacam bola pingpong oleh DPR dan Pemerintah, karena KPK mau punya gedung baru. Ujung-ujungnya, sebenarnya mereka tidak sudi KPK punya gedung baru, karena itu sama saja membuat KPK semakin kuat dan perkasa. Itu sama saja dengan mengancam lahan mereka di bidang korupsi-ria.

Petunjuk Mantan Komisioner ICAC kepada Komisi III DPR akan Sia-sia?

Senin kemarin ini, 2 Juli 2012, Komisi III DPR telah menggelar pertemuan tertutup di gedung DPR, dengan mantan Komisioner the Independent Commission Against Corruption of Hongkong (ICAC), atau KPK-nya Hongkong, Bertrand de Speville (Komisoner ICAC 1993 - 1996), untuk mendengar pemikiran dan masukkan darinya berkaitan dengan program pemberantasan korupsi.

Pada saat itulah Bertrand memberikan beberapa petunjuk berharga kepada Komisi III DPR, termasuk mengenai kebutuhan KPK terhadap sebuah gedung yang lebih memadai.

[caption id="attachment_186323" align="aligncenter" width="600" caption="Mantan Komisioner the Independent Commission Against Corruption of Hong Kong atau KPK Hong Kong Bertrand de Speville memberi kuliah umum di Universitas Paramadina, Rabu, 4 Juli 2012 (sumber: inilah.com)"]

13414584961273175102
13414584961273175102
[/caption] Bertrand mengatakan bahwa KPK butuh tambahan SDM dengan jumlah yang signifikan. Dibandingkan dengan Hongkong dan Malaysia, misalnya, Indonesia tertinggal terlalu jauh. Hongkong yang hanya berpenduduk 7 juta jiwa, mempunyai 1.300 pegawai di ICAC. Malaysia yang berpenduduk 25 juta, lembaga antikorupsinya mempunyai 1.700 pegawai. Sedangkan Indonesia yang berpenduduk 200 juta, KPK hanya mempunyai 700 pegawai. “Ini jelas (sangat) tidak cukup,” kata Bertrand (hukumonline.com, 02/07/2012).

Selanjutnya, Bertrand juga berpesan kepada DPR dan pemerintah, karena pegawai (SDM) KPK harus ditambah sampai mencapai jumlah yang cukup. Penambahan itu harus segera juga diikuti dengan pembangunan infrastruktur untuk KPK yang memadai, terutama gedungnya.

“Mereka (KPK) butuh SDM dan gedung. Karena tak mungkin SDM yang ada nanti bekerja di luar. Mereka (KPK) tidak bisa mendapat pegawai baru (lagi), bila gedung untuk menampung mereka itu tidak ada. Belum lagi gaji mereka,” ujar Bertrand.

Faktanya, sampai saat ini, kapasitas gedung KPK adalah 350 orang, sedangkan jumlah pegawainya 650 orang. Kebutuhan pegawai KPK adalah 1.200 orang. Terbatasnya ruang kerja membuat KPK hanya bisa merekrut 140 orang pegawai baru dari rencana semula 300 orang di tahun 2012 (Kompas, Jumat, 29/06/2012).

Maka, tunggu apa lagi, Komisi III DPR ini untuk segera memutuskan menyetujui pembangunan gedung baru KPK itu? Jangan sampai mengundang mantan Komisioner ICAC itu jauh-jauh dari Hongkong, hanya menjadikan pemikiran-pemikrannya hanya sebagai wacana saja, sekaligus pencitran bagi DPR, supaya kelihatan benar-benar perduli terhadap pemberantasan korupsi. Padahal sebenarnya adalah sebaliknya.

Karena sebenarnya, bukan baru pertamakali ini saja ada seorang mantan Komisioner ICAC yang datang ke Indonesia, karena diundang, untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran dan berbagi pengalamannya selama memberantas korupsi di Hongkong. Sebelum Bertrand de Speville, mantan Komisoner ICAC yang lain, Professor Tony Kwok Man-wai (Komisioner ICAC 1996 - 2002)  juga pernah ke Indonesia untuk menyampaikan dan berbagi pengalamannya ketika sukses memberantas korupsi di Hongkong.

Melalui lokakarya dan seminarnya di beberapa tempat di Semarang dan Jakarta, pada Agustus 2011, Professor  Kwok telah memberi cukup banyak bekal, “jurus-jurus” maut pemberantasan korupsi yang bisa dilakukan pemerintah dan DPR dalam rangka memperkuat KPK, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun yang dilaksanakan. Sebaliknya, justru “jurus-jurus maut pembunuh” koruptor itu dipakai secara sebaliknya. Yakni, apa yang dikatakan Professor Kwok, sangat penting dilakukan pemerintah dan DPR, justru tidak dilakukan.

Seolah-olah DPR itu ingin mengetahui jurus-jurus mematikan koruptor itu dengan maksud bukan untuk dipakai memberantas korupsi, tetapi sebaliknya. Setelah mengetahui jurus-jurus itu, mereka pun berkomplot, memikirkan bagaimana caranya mematahkan jurus-jurus itu supaya para koruptornya bisa selamat.

[caption id="attachment_186319" align="aligncenter" width="813" caption="Jurus-maus maut pembunuh koruptor sudah diberikan Prof. Kwok, tetapi rupanya DPR hanya ingin mengetahui jurus-jurus itu untuk kemudian mencari tahu bagaimana mematahkannya? (sumber: http://www.kwok-manwai.com)"]

1341456982809045099
1341456982809045099
[/caption]

Di antaranya, Professor Kwok mengatakan bahwa untuk membuat KPK kuat, maka Ketua KPK harus bebas dari pengaruh politik manapun, oleh karena itu  ketua KPK harus dipilih  sebuah lembaga independen. Parlemen dan pemerintah tidak boleh memilih Ketua KPK. Yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah sebaliknya. Mereka tidak mau peran mereka dalam memilih dan menentukan seorang Ketua KPK (dan para pimpinan lainnya) ditiadakan.

KPK harus diberi anggaran (keuangan) yang besar, karena untuk memberantas korupsi diperlukan biaya yang besar pula. Faktanya, anggaran untuk KPK justru mau dipangkas.

Professor Kwok juga mengatakan bahwa supaya posisi KPK menjadi sangat kuat, tidak bisa dipermainkan oleh kekuatan-kekutan politik, maka KPK perlu dimasukkan di dalam konstitusi negara. Satu-satunya cara untuk mengontrol KPK adalah lewat sebuah unit independen yang bertugas mengawasi kinerja KPK, seperti di Hongkong, ICAC diawasi oleh sebuah unit independen yang terdiri dari berbagai tokoh masyarakat.

Faktanya, jangankan ada upaya dari DPR dan pemerintah untuk memasukkan peraturan tentang KPK di dalam Konstitusi Negara, mereka justru hendak membuat UU KPK yang baru, yang di dalamnya ingin mengurangi wewenang yang ada di KPK saat ini. Seperti kewenangan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan mau dipangkas, menjadikan KPK hanya sebagai lembaga yang bertugas mencegah terjadinya korupsi.

Professor Kwok mengatakan kejahatan korupsi besar, maupun kecil harus tetap ditangani lembaga antikorupsi seperti KPK. Bahkan ICAC pernah menangkap seorang tukang pos yang minta tip kepada penerima paket. Untuk memberantas korupsi harus mengutamakan sikap zero tollerance. Semua perkara korupsi, tanpa memandang jumlahnya harus ditangani oleh lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Polisi dan Kejaksaan menangani perkara kejahatan lainnya, seperti pembunuhan, pencurian, dan seterusnya.

Faktanya, oleh DPR justru kewenangan KPK menangani perkara korupsi mau dibatasi, minimal korupsinya bernilai Rp 10 miliar baru menjadi kewenangan KPK.

Jangankan mau berupaya memasukkan KPK ke dalam Konstitusi, DPR justru berwacana dengan mengatakan bahwa KPK itu hanya sebuahlembaga ad-hoc. Keberadaanya hanya sementara saja. Bahkan sempat beberapa di antara anggota DPR yang ingin membubarkan KPK. Hampir pasti, karena kehendaknya seperti inilah, maka DPR menolak pembangunan gedung baru KPK itu. ***

Tulisan saya lain yang terkait:

JURUS MAUT PEMBUNUH KORUPTOR SUDAH DIBERIKAN, TETAPI INDONESIA TIDAK MAU PAKAI, TANYA KENAPA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun