Ahok (liputan6.com)
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan mempercepat beberapa program unggulan Ibu Kota dalam sisa tiga tahun pemerintahannya. Salah satunya adalah penerapan transaksi non-tunai di Pemprov DKI.
Misalnya, pembayaran retribusi pedagang kaki lima (PKL), penghuni rusun, electronic road pricing (ERP), pembayaran tarif transjakarta, dan gaji penyapu jalan.
"Semua program seperti ERP dan transaksi non-tunai saya targetkan (terealisasi) sempurna tahun 2016. Tahun 2015 mulai diuji coba, 2016 (program berjalan) sempurna, dan tahun 2017 saya bye-bye, sudah enggak di Jakarta lagi, semua (program) sudah beres," kata Basuki, di Plaza Mandiri, Jakarta Selatan, Jumat (12/9/2014).
Kenapa Ahok bilang, “2017, bye, bye, Jakarta?”
Sebelumnya, Ahok mengatakan setelah keluar dari Partai Gerindra, dia belum berpikir untuk pindah partai mana pun. “Dalam perkawinan, kalau cerai, juga kan ada masa iddah-nya? Masa langsung kawin?” Begitu kira-kira yang Ahok katakan, ketika ditanya wartawan, apakah diaakan pindah ke papol lain.
Apakah Ahok kapok berpolitik? Apakah Ahok kapok menjadi pejabat negara? Apakah Ahok kapok mengurus Jakarta, maka itu setelah masa jabatannya sebagai gubernur DKI Jakarta habis di 2017, dia akan mundur?
Jika demikian yang terjadi, maka sama berarti dengan kemenangan akhirnya jatuh pada pihak-pihak yang anti-Ahok selama ini. Seperti Haji Lulung, dan M. Taufik. Mereka akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan akhirnya berhasil menekan Ahok, sehingga dia tak tahan lagi, akhirnya menyelamatkan diri keluar dari dunia politik dan pemerintahan. Pertarungan pun dimenangkan oleh kuasa kegelapan.
Sebaliknya, kita yang sudah senang adanya pejabat-pejabat tinggi berintegritas, tegas, bersih, dan jujur akan sedih, karena mereka berkurang satu, yaitu Ahok. Bahkan warga DKI Jakarta bisa lebih sedih lagi, seandainya tidak ada pimpinan pengganti yang berkarakter seperti Ahok atau Jokowi.
Saya yakin, bukan itu yang dimaksud Ahok. Karena Ahok sendiri berkali-kali pernah mengatakan, mengutip pesan almarhum ayahnya, bahwa untuk bisa mensejahterakan sebanyak mungkin rakyat, serta melawan pejabat (yang tidak benar) adalah menjadi pejabat. “Orang miskin jangan melawan orang kaya, orang kaya jangan melawan pejabat”, itulah ucapannya meniru pesan ayahnya yang mengutip falsafah dari Khong Fu Chu. Kalau pejabatnya tidak benar tentu akan menindas dan memeras rakyatnya, untuk mengatasi pejabat seperti ini, harus bisa menjadi pejabat yang lebih tinggi darinya. Itulah visi dan misi Ahok ketika bercita-cita menjadi pejabat. Kini itu dipraktekkan dengan sungguh-sungguh.
Jadi, tak mungkin Ahok akan keluar dari dunia politik, atau tidak mau menjadi pejabat lagi karena kapok mendapat tekanan dan serangan terus-menerus dari kelompok-kelompok pejabat tidak benar, berkarakter preman dan korup, penindas dan pemeras rakyat, terutama rakyat kecil. Hati nurani Ahok pasti masih terus memanggilnya untuk terus mengabdi kepada rakyat banyak melalui jabatannya sebagai pejabat tinggi negara. Selain itu, Ahok juga tipe petarung bernyali besar, yang tidak bisa digertak dengan cara-cara kekerasan (ala preman).
“Kalau tidak suka dan mau duel sama saya, ayo, saya beli. Tidak usah santet. Satu lawan satu kalau jantan. Sudah kepalang tanggung!” Itulah contoh karakter Ahok yang pantang takut demi membela rakyatnya. Ucapan ini disampaikan ketika menemukan lagi penyelewengan masih saja terjadi di Pemrpov DKI Jakarta. Kali ini mengenai masih terjadinya penghuni yang tak berhak tinggal di rumah susun bersubsidi. Hal ini diketahui ketika meresmikan pembayaran sewa rumah susun bersubsidi menggunakan virtual account Bank DKI Jakarta di Rumah Susun Marunda, Kamis, 4 September 2014.
Serangan yang dilakukan oleh Ketua DPD DKI Jakarta Partai Gerindra M Taufik yang mau melaporkan Ahok ke polisi, dan Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PPP Abraham Lunggana alias Haji Lulung, yang menyatatakan tekadnya untuk membinasakan karier Ahok sebagai Wakil Gubernur, dan mencegahnya menjadi Gubernur, sama sekali tidak menyurutkan nyali Ahok seinci pun. Karena dia tahu konstitusi masih bisa ditegakkan di negeri ini. Masih jauh lebih banyak orang benar, rakyat dan pejabat negara yang baik, yang siap membelanya.
Lalu, pertanyaannya sekali lagi, kenapa Ahok bilang, “2017, bye, bye, Jakarta?”
Pertama, karena Ahok konsisten dengan pernyataan dan tindakannya yang secara tegas menolak pilkada oleh DPRD itu, sehingga dia keluar dari Partai Gerindra. Kalau 2017, dia masih mau mencalonkan diri menjadi gubernur DKI lagi, berarti Ahok harus berhadapan langsung dengan DPRD DKI untuk dipilih atau tidak dipilih. Ahok tidak sudi hal itu terjadi. Sekalipun seandainya besar peluangnya dipilih oleh DPRD DKI, Ahok tetap tidak sudi, dia menyatakan, dia tak sudi menjadi budak DPRD DKI. Dia hanya mau menjadi budak dari rakyat.
Kedua, Ahok melihat karier di dunia politiknya masih sangat cemerlang untuk bisa naik ke posisi yang lebih tinggi lagi, posisi puncak. Yaitu, ke kursi RI-1 atau RI-2. Dengan kata lain Ahok berpeluang besar ikut dalam bursa pilpres 2019.
Jika Jokowi, masih mencalonkan diri lagi untuk kedua kali di pilpres 2019, maka calon wakil presiden yang paling berpotensi dan paling cocok berpasangan dengan Jokowi adalah Ahok. Hal itu sudah mereka rasakan bersama ketika bersama-sama memimpin DKI Jakarta. Jusuf Kalla (JK) sudah tidak mungkin lagi, karena faktor usia. Maka, besar kemungkinan bekas dwi-tunggal pimpinan DKI Jakarta itu akan bersatu kembali di pilpres 2019. Jika menang, mereka akan menjadi dwi tunggal baru pimpinan Republik Indonesia.
Jika Jokowi tidak mencalonkan diri lagi di pilpres 2019, maka Ahok-lah akan maju sebagai calon presidennya. Tetapi, lebih memungkinkan yang terjadi adalah Jokowi akan mencalonkan diri kembali di 2019. Maka itu, lebih berpeluang pula, Ahok menjadi calon wakil presidennya.
Nanti, jika Jokowi berakhir masa jabatannya di 2024, dan tidak bisa mencalonkan dirinya lagi (karena sudah dua periode), pada saat itulah Ahok memastikan diri maju sebagai calon presiden.
Semuanya itu memang masih lama, tetapi sudah harus dipikirkan dan ditanam benih-benihnya yang terbaik mulai dari sekarang.
Ambisi Ahok untuk menjadi lebih tinggi lagi, bahkan tertinggi di negeri ini, yaitu menjadi orang nomor 1 atau nomor 2 di negeri ini, bukan karena dia gila kuasa, tetapi demi lebih besar lagi, terbesar pengabdiannya kepada bangsa dan negara, kepada rakyat di seluruh Indonesia. Untuk menjadi budak rakyat Indonesia secara nasional. Supaya antara lain untuk lebih bisa mengatasi lebih banyak lagi pejabat-pejabat negara yang tidak benar, serta bersamaan dengan itu menciptakan lebih banyak lagi pejabat-pejabat negara yang benar.
Untuk mencapai semuanya itu, Ahok harus melepaskan peluangnya untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk kedua kalinya, dengan pilkada langsung oleh rakyat, maupun pilkada oleh DPRD, karena selain alasan tersebut di atas jika pilkada oleh DPRD DKI (tidak sudi dipilih oleh dan menjadi budak DPRD DKI), juga karena jika dia menjadi Gubernur DKI periode 2017-2022, maka itu akan “bertabrakan” dengan periode masa jabatan presiden atau wakil presiden yang baru (2019-2024). Dia harus mundur terlebih dulu, sehingga terjadi lagi kasus seperti mundurnya Jokowi di tengah masa jabatannya.
Itulah sebabnya, Ahok mengucapkan, “2017, bye, bye, Jakarta”. ***
(sumber: fanpage FB Jokowi
Artikel terkait:
Ahok vs Lulung, Siapa yang Layak Dibinasakan Kariernya?
Sumber berita:
Ahok: “2017, Bye, Bye, Jakarta”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H