Kebetulan ada rekan Kompasianer, Mbak Rosita Ade, yang menulis, mempertanyakan keberadaan begitu banyaknya anggota Kompasiana yang muncul tanpa gambar profil, dan tanpa menulis artikel, atau posting-an satu pun (Apa Maksud Kompasianer Ini?). Maka saya pun menulis artikel ini, yang mempunyai keterkaitan dengan tulisan tersebut.
Sebenarnya, saya juga sudah lama bertanya-tanya dalam hati, kenapa Admin begitu toleran terhadap keberadaan anggota-anggota Kompasiana seperti ini? Untuk apa mereka hadir? Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Menjadi anggota,bukan saja tanpa gambar profil, juga terutama tanpa menulis satu pun artikel? Selain hanya memberi satu-dua kali komentar, terus “menghilang”. Bahkan sekarang, ada yang tanpa memberi komentar apa pun juga. Jadi, untuk apa dia menjadi anggota Kompasiana?
Lebih parah lagi, pada saat-saat sekarang ini, seperti yang diamati Mbak Rosita, anggota-anggota Kompasiana seperti ini sepertinya mendadak melonjak drastis. Ada kecurigaan Mbak Rosita bahwa ini ada kaitannya dengan pooling dalam program Kompasianival, untuk memilih “Kompasianer Terfavorit”.
Saya sengaja tidak menggunakan sebutan “Kompasianer” terhadap anggota-anggota seperti ini. Karena menurut saya seseorang hanya layak disebut “Kompasianer” jika dia telah berpartisipasi di Kompasiana dengan menyumbang artikelnya. Tidak perlu harus banyak, atau harus bagus. Yang penting ada. Atau setidak-tidaknya rajin memberi tanggapan terhadap tulisan orang lain.
Masa hanya mendaftar begitu saja, tanpa identitas jelas, tanpa verifikasi, tanpa gambar profil, dan tanpa menulis satu artikel pun, bahkan tanpa memberi komentar sama sekali, sudah boleh menjadi “Kompasianer”? Apa bedanya dengan orang non-anggota yang hanya membaca tanpa memberi tanggapan?
Jumlah anggota Kompasiana jenis ini semakin membengkak. Itu kelak akan membuat kualitas Kompasiana secara keseluruhan berkurang. tidak akan bisa menjamin kualitas sesungguhnya dari Kompasiana. Bisa-bisa jumlah anggota Kompasiana seperti ini jumlahnya akan sangat signifikan. Sebanding dengan jumlah Kompasianer sesungguhnya, atau malah – jangn sampai – lebih banyak. Kompasiana hanya kelihatan saja besar dengan jumlah anggotanya, tetapi 50% darinya adalah "manusia-manusia misterius" yang 100% pasif.
Saya harap Admin lebih ketat dalam hal ini.
Bilamana perlu semua anggota Kompasiana harus terverifikasi. Identitas harus jelas. Setidak-tidaknya harus diketahui oleh Admin. Dan Admin harus merahasiakan identias tersebut (kalau dikehendaki yang bersangkutan).
Kalau untuk menulis surat pembaca saja redaksinya mensyaratkan adanya identitas yang jelas dari penulisnya, kenapa untuk menjadi Kompasianer (dan menulis artikel), kok boleh saja menjadi “manusia misterius”?
Masih mendingan kalau mereka yang “misterius” itu tidak mempunyai maksud jelek, atau bukan hanya memanfaatkan Kompasiana untuk mencapai maksud-maksud tertentu yang negatif, seperti yang dicurigai Mbak Rosita Ade itu.
Di samping itu, pada kesempatan ini, saya juga mengajukan pertanyaan terbuka. Khususnya kepada Admin: Apakah menggunakan nickname (nama sebutan) di Kompasiana ini boleh bebas sebebas-bebasnya? Termasuk menggunakan nama sebutan yang rasis?
Apakah di Kompasiana, Admin-nya mengtolerir juga komentar-komentar provokatif rasis, yang isinya sejatunya bukan komentar, tetapi hanya caci-maki (terhadap ras tertentu)? Membangkitkan rasa benci, saling curiga, dan sejenisnya? Tanpa ada substansinya?
Kalau tidak, kenapa Admin masih saja membiarkan apa yang saya tanyakan itu eksis di Kompasiana?
Saya pernah melaporkan anggota Kompasiana yang menggunakan nama sebutan yang tidak patut, berikut komentar-komentarnya. Tetapi, rupanya laporan saya itu tidak direspon oleh Admin. Atau dianggap bukan pelanggaran di Kompasiana? Buktinya sampai detik ini semua yang saya laporkan itu masih ada. Kata orang, diam itu berarti setuju.
Ada anggota Kompasiana yang menggunakan nama sebutan: “Anti China”, yang mendaftar menjadi anggota Kompasiana sejak 22 Oktober 2011, tetapi tidak pernah menulis satu pun artikel. Rupanya yang bersangkutan hanya menjadi anggota untuk bisa memberi komentar -- tepatnya menyalurkan kata-kata sampahnya -- terhadap sebuah posting tanggal 17 Oktober 2011, yang berjudul Penggantian Mari Elka Pangestu Karena Rasisme?, oleh Telomania.
[caption id="attachment_145764" align="aligncenter" width="660" caption="Anggota Kompasiana dengan nama sebutan Anti China. Ditolerir Admin?"][/caption]
Semua tuliannya hanya berisi caci-maki SARA. Sangat provokatif dan sangat kasar. Singkatnya, isinya hanya sampah.
Lepas dari setuju-tidaknya kita terhadap isi artikel Sdr. Telomania tersebut, apakah layak dan boleh ditolerir komentar-komentar dari anggota Kompasiana yang menggunakan nama sebutan “Anti China” itu seperti di bawah ini:
Kalau mengacu pada Ketentuan dan Syarat yang dibuat oleh Admin sendiri, jelas semua apa yang disebutkan di atas, termasuk apa yang disinggung Mbak Rosita dalam tulisannya itu telah melanggar ketentuan dan syarat tersebut. Bisa Anda baca di sini.
Tapi kenapa Admin membiarkannya? Apakah menyalurkan semangat "Anti China" difasilitasi oleh Kompasiana?
Menurut Anda? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H