[caption id="attachment_234726" align="aligncenter" width="520" caption="(Sumber diambil dari cover Majalah Tempo edisi 18-24 Maret 2013)"][/caption]
Ternyata, Presiden SBY sangat takut dengan AIDS! Saking takutnya sampai dia merasa perlu mengundang sekaligus tujuh Jenderal Purnawirawan ke Istana untuk berbicara dengan mereka tentang AIDS tersebut. Belum termasuk Letjen Purnawirawan Prabowo Subianto.
Karena takut dengan AIDS pula pada Senin, 25 Maret kemarin, SBY merasa perlu dijaga oleh 12.309 personel dari Polri yang dilengkapi dengan sejumlah kendaraan rantis, water canon, taktis Barakuda, dan mobil-mobil antianarkis lainnya. Bahkan terlihat pula beberapa pelontar mortir melengkapi penjagaan itu. Sejumlah kedutaan pun dibuat was-was. Terutama di Kedutaan Amerika Serikat, yang ikut dijaga sejumlah aparat dilengkapi mobil taktis Barakuda.
Yang dimaksud dengan AIDS di sini adalah singkatan dari “Aku Ingin Dipanggil SBY” atau “Aku Ingin Didukung SBY.”
Yang menciptakan singkatan tersebut adalah Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Dia membuat singkatan tersebut untuk mengejek Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) yang sesumbar akan melakukan unjuk rasa besar-besaran dengan mengerahkan massa sedikitnya 3.000 orang pada 25 Maret kemarin, untuk menggulingkan SBY-Budiono.
Faktanya, sesumbar tersebut sama sekali tidak terbukti. Jangankan 3.000 orang, ketika melakukan para pimpinan MKRI itu melakukan orasi yang datang hanya sekitar 200-an orang. Itu pun mereka tertarik karena diiming-iming dengan sembako. Yang datang juga kebanyakan ibu-ibu, yang entah mengerti atau tidak apa isi orasi tersebut.
[caption id="attachment_234727" align="aligncenter" width="653" caption="Ibu-ibu yang sedang menunggu pembagian sembako dari MKRI (sumber: Kompas.com)"]
“Mereka mengidap AIDS, ‘Aku Ingin Dipanggil SBY’ atau ‘Aku Ingin Didukung SBY,” kata Dipo Alam, setelah melihat aksi MKRI itu ternyata nyaris tak berbunyi pada hari Senin, 25 Maret 2013 itu (pesatnews.com).
Menurut Dipo para dalang dan pelaku MKRI, termasuk para penyandang dana gerakan politik itu, hanyalah mereka yang menggelembungkan kerongkongannya agar nampak besar, dan suaranya bisa terdengar oleh rakyat. Sama seperti masa-masa lalu, ancaman itu kandas, karena memang tidak ada alasan yang mendasar.
“Mereka berharap timbul gerakan politik ‘people power’, tapi itu tidak mungkin. Rakyat tidak tertarik,” kata Dipo Alam.
Dipo Alam boleh saja mengejek MKRI seperti itu. Tetapi, dia mungkin tipe manusia yang bicara dulu baru berpikir. Dia tidak sadar dengan mengejek MKRI dengan kalimat-kalimatnya seperti itu, sama saja dia juga mengejek atasannya sendiri, Presiden SBY!
Dipo mengatakan MKRI itu hanyalah sekelompok orang yang ingin diperhatikan SBY (“AIDS”), kelompok kecil yang memaksakan diri besar. Ancaman mengkudeta SBY, dan menggerakkan people power adalah sesuatu yang tidak realistis, tidak mungkin terjadi, tidak ada landasannya, rakyat tak tertarik.
Pertanyaan kepada Dipo Alam adalah: Kalau begitu kenapa Presiden SBY sampai begitu ketakutan dengan MKRI itu? Kenapa SBY begitu ketakutan dengan sekelompok “AIDS” itu? Apakah Dipo tidak malu punya Presiden kok takut sama hal-hal yang oleh Dipo sendiri malah hanya menjadi bahan ejekan itu? Seharusnya, Dipo Alam menasihati SBY supaya tidak perlu takut seperti anak kecil yang takut setan.
Ketakutan Presiden SBY dengan isu kudeta, atau unjuk rasa besar-besaran yang disumbar MKRI itu sangat jelas terlihat. Sementara itu, rakyatnya sendiri malah tenang-tenang saja. Bahkan merasa lucu punya presiden kok badannya gede, tetapi nyalinya kerdil.
Kalau bukan SBY yang menghendaki/memerintahnya, tidaklah mungkin pada Senin kemarin itu suasana sebagian Jakarta seolah-olah mencekam. Seperti di sekitar Istana, Bundaran HI, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Balai Kota DKI, sampai di Tugu Tani. Sejumlah jalan di sekitar Istana pun ditutup dengan barikade kawat duri. Total Polri mengerahkan 12.319 personelnya dilengkapi sejumlah kendaraan taktis antianarkis untuk menjawab isu aksi besar-besaran menentang SBY itu (lihat grafis di bawah ini : ).
[caption id="attachment_234731" align="aligncenter" width="496" caption="(Sumber: Harian Kompas, Selasa, 26/03/2013)"]
Ini bukan kali pertamanya Presiden SBY curhat, menunjukkan ketakutannya kepada rakyatnya menyangkut isu kudeta terhadapnya. Berikut data yang diambil dari Majalah Tempo edisi 18-24 Maret 2013:
Pada Desember 2009, muncul isu kudeta terhadap SBY, karena begitu banyaknya kasus di seputar pemerintahaanya, seperti heboh dana talangan Rp. 6,7 triliun Bank Century.
Oktober 2010, disebutkan Petisi 28 yang dipimpin oleh Rizal Ramli hendak melakukan revolusi perebutan kekuasaan terhadap Presiden SBY yang genap setahun pemerintahan periode keduanya. Rizal Ramli sempat ditahan.
23 Maret 2011, stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan pertemuan sejumlah purnawirawan jenderal tentara yang berencana mengkudeta Presiden SBY melalui Dewan Revolusi Islam, yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir dan mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal Tyasno Sudarto.
19 Maret 2012, dalam silaturahmi dan konsolidasi Partai Demokrat di Cikeas, Presiden SBY menyatakan ada gerakan aneh yang hendak menggulingkannya. Meskipun tidak jelas menyebutkan nama. Politikus Demokrat mengatakan tokohnya tak berbeda dengan yang di 2011. Bahkan Wakil Sekjen Partai Demokrat Ramadhan Pohan menuduh Jenderal Wiranto-lah yang hendak melakukan kudeta tersebut.
15 Maret 2013, SBY mengumumkan bakal ada demonstrasi besar-besaran pada 25 Maret 2013, yang diikuti dengan gerakan yang akan mengkudeta kepimpinannya. “Informasi inteljen” menyebutkan kelompok antikenaikan BBM itu akan memanfaatkan demonstrasi besar-besaran pada tanggal tersebut. Tokoh-tokoh tersebut akan membentuk kepimpinan presidium.
Ternyata “laporan inteljen” itu tidak terbukti. Laporan yang dipercaya sepenuhnya oleh SBY itu malah semakin membuat SBY terlihat konyol dengan ketakutannya terhadap bayang-bayang kudeta itu sendiri.
Ejekan Dipo Alam terhadap MKRI tersebut di atas pun menjadi bumerang terhadap intelejen negara, yang telah telanjur menilai serius sesumbar MKRI itu sebagai suatu gerakan yang berbahaya bagi pemerintahan SBY.
Isu demonstrasi besar-besaran dan isu kudeta ini membuat negara yang dipimpin oleh Presiden SBY ini semakin terlihat konyol di mata dunia internasional. Mungkin saja ini sudah dijadikan bahan guyonan di antara para pejabat negaranya.
Betapa tidak, mana ada sebuah rencana kudeta yang terlebih dulu diumumkan kepada publik, bahkan gerakannya dilaporkan ke polisi terlebih dahulu, seperti yang dilakukan oleh MKRI itu? Kekonyolan itu semakin memprihatikan ketika Presiden SBY pun menanggapinya secara sedemikian serius, melibatkan inteljen negara dan seribuan polisi, lengkap dengan sejumlah kendaraan taktis antianarkisnya itu.
MKRI pun terlalu ge-er (gede rasa) dengan menamakan dirinya Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia. Atas dasar apa mereka berani mengklaim dirinya sebagai mewakili kedaulatan rakyat, dengan agenda menggulingkan pemerintahan Presiden SBY dan Wapres Budiono itu?
Meskipun pemerintahan SBY memang sangat memprihatinkan, apakah suatu gerakan menggulingkan pemerintahan yang sah adalah solusinya? Sebaliknya, itu malah akan membawa dampak politik dan sosial yang jauh lebih buruk bagi rakyat. Padahal, pemerintahan SBY itu tinggallah 1,5 tahun lagi akan berakhir secara sah.
MKRI tak bercermin, terlalu pe-de tanpa dasar, merasa mereka pasti didukung rakyat banyak, berani-beraninya mengklaim gerakan mereka akan didukung paling sedikit 3.000 orang lewat unjuk rasa besar-besaran itu. Kenyataannya, yang datang di panggung orasinya pun tak lebih dari 200-an orang. Itu pun terdiri dari ibu-ibu dengan anak-anaknya dan orang tua. Itu pun karena mereka teriming-iming dengan pembagian sembako.
Seandainya tak ada iming-iming sembako itu, yang datang mendengar orasi mereka itu jangan-jangan hanya sejumlah wartawan yang meliput. Mungkin karena setelah tahu gerakan 25 Maret mereka ternyata tak dianggap rakyat, MKRI itu segera berkreasi dengan mengadakan “door prize” sembako itu. Terindikasi dengan pembagian sembakonya pun sangat telat. Sampai dengan pukul 14.00 WIB kemarin, sembakonya tak kunjung dibagi.
Sejumlah ibu-ibu yang mengantre sembako itu pun merasa kecele. Mereka tidak tahu tentang aksi MKRI itu. “Ngapain? Kalau tahu begini enggak ikut, ujar Siti, warga Bukit Duri, yang merasa lelah menunggu pembagian sembako, di pelataran kantor YLBHI Jakarta itu (Metrotvnews.com)
[caption id="attachment_234733" align="aligncenter" width="480" caption="(Sumber: Beritahukum.com)"]
Aksi orasi MKRI di YLBHI pun ternyata tidak terlebih dulu meminta izin ke YLBHI. Orang-orang YLBHI pun enggan ikut-ikutan. Masih untung YLBHI masih berbaik hati, dengan memberi tempatnya kepada MKRI untuk melancarkan aksinya itu (Kompas.com).
Setelah, ternyata, aksi mereka tak berbunyi, dan tidak dianggap rakyat, bahkan dicibir publik. Para pimpinan MKRI itu melakukan gerakan “balik kucing,” dengan mengatakan bahwa aksi mereka itu sama sekali tidak bermaksud melakukan kudeta terhadap Presiden SBY. SBY bahkan dikatakan mengalami “sakit jiwa” karena menuduh MKRI hendak melakukan kudeta itu.
“Maksudnya Presiden, mengatakan kudeta itu seperti apa (siapa yang mau kudeta)? Logikanya jangan dibalik, dong, dia (SBY) adalah panglima tertinggi dari angkatan laut, udara, dan darat, kami hanya masyarakat sipil,” kata Juan Forti Silalahi di YLBHI, Senin, 25 Maret kemarin.
Juan mengatakan, bagaimana cara masyarakat sipil melakukan kudeta, masyarakat notabene tidak memiliki senjata, “Ketakutan mereka diumbar ke siapa? Ini ‘kan artinya dia (SBY) mengalami ‘sakit jiwa’,” kata Juan (tribunnews.com).
"Siapa yang bilang mau kudeta?" ujar anggota Presidium MKRI, Razman Arif Nasution, sesaat sebelum panggung rakyat dimulai, di depan kantor YLBHI kemarin. "Kami hanya minta Presiden melaksanakan Pancatura atau lima tuntutan rakyat." (Koran Tempo, Selasa, 26/03/2013)
Kelima tuntutan MKRI itu adalah menuntut nasionalisasi aset migas dan kontrak karya; penurunan harga bahan kebutuhan pokok, termasuk bawang; menghentikan impor komoditas strategis; menuntaskan penanganan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta menghentikan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kedua tokoh MKRI itu, juga Ratna Sarumpaet di Metro TV Senin sore kemarin menyangkal gerakan mereka itu bermaksud untuk mengkudeta kepimpinan Presiden SBY dan Wapres Budiono. “Siapa yang mau kudeta?” Kata mereka beramai-ramai.
Mereka lupa dengan slogan mereka sendiri, yang juga tertera sangat jelas di spanduk yang digantung di belakang mereka ketika mengumumkan rencana aksi mereka itu secara resmi pada 16 Maret lalu. Di situ dengan jelas tertera tulisan: “MKRI Nasional – Menggulingkan SBY – Budiono Sebuah Keniscayaan.”
Beda, ya, "menggulingkan SBY-Budiono" dengan "mengkudeta SBY - Budiono"?
[caption id="attachment_234729" align="aligncenter" width="565" caption="Pertanyaan buat MKRI: Beda, ya, Menggulingkan SBY - Budiono dengan Mengkudeta SBY - Budiono? (Sumber: Tribunnews.com)"]
Jadi, siapa yang “sakit jiwa”?
SBY “sakit jiwa,” MKRI juga.
SBY “sakit jiwa” karena terlalu paranoid dengan bayang-bayang hantu kudeta.
MKRI “sakit jiwa” karena terlalu ge-er dan pe-de dengan gerakan mereka yang katanya mau gulingkan SBY-Budiono itu. Tanpa berpikir logika, bagaimana bisa dan caranya gerakan itu mereka wujudkan. Rupanya, mereka terlalu yakin gerakan itu akan menimbulkan “people power” yang kemudian akan didukung kelompok militer tertentu. Nyatanya, hasilnya seperti bunyi iklan Isuzu Panther: “Nyaris Tak Terdengar.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H