[caption id="attachment_244839" align="aligncenter" width="494" caption="Foto handout dari Freeport Indonesia memperlihatkan tim operasi penyelamatan berdoa bersama di terowongan tambang yang runtuh di area Big Gossan, Kompleks Grasberg, Papua, 17 Mei 2013. (Kompas.com)"][/caption]
Presiden SBY tidak terima dirinya dibandingkan dengan Presiden Chili Sebastián Piñera dalam kasus kecelakaan runtuhnya terowongan pelatihan di area Tambang Big Gossan milik PT Freeport Indonesia yang menewaskan 28 orang pekerjanya, Selasa, 14 Mei lalu. (Proses evakuasi korban telah berakhir pada Rabu, 22 Mei 2013)
SBY bilang, peristiwa kecelakaan runtuhnya terowongan di area tambang Freeport, di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua itu sangat berbeda dengan perisitiwa runtuhnya terongan tambang emas di Chili.
Di Chili, menurut SBY, terowongan runtuh, para pekerjanya terjebak di dalamnya, tetapi masih hidup, sampai bisa dikeluarkan dari sana. Sedangkan di area tambang Freeport itu, terowongannya runtuh langsung menimpa dan menimbun para pekerjanya.
"Kejadian di Freeport benar-benar beda. Saat mereka melakukan pelatihan pada hari pertama 40 orang dan hari kedua 38 orang, atap tempat di mana mereka berada runtuh, jatuh. Langsung menimpa mereka-mereka yang sedang melaksanakan pelatihan. Sekali lagi berbeda dengan terperangkap di sebuah ruangan," kata SBY membela diri, Senin, 20 Mei lalu (Kompas.com).
Pada 5 Agustus 2010, terowongan tambang emas Emoresa Minera San Esteban di Chili, 700 meter di bawah permukaan bumi, runtuh. Tiga puluh tiga pekerja tambang yang berada di dalam terowongan itu terperangkap di dalamnya. Operasi penyelamatan yang sangat dramatis yang menarik perhatian dunia pun dimulai. Selama 69 hari non-stop siang-malam operasi itu dilakukan. Dipimpin langsung oleh Presiden Sebastián Piñera sampai hari terakhir, 13 Oktober 2010.
Presiden Sebastián Piñera membuktikan bahwa kalimat bijak yang menyatakan: “Kehadiran seorang pimpinan di antara warganya yang sedang menderita akan menjadi dorongan dan semangat yang luar biasa untuk mereka terus berjuang sampai batas maksimal kemampuan manusia,” bukan hanya sebatas slogan di atas kertas atau pidato-pidato nan muluk dari seorang pimpinan.
Pada 13 Oktober 2010 itu, Piñera sama sekali tidak tidur, ketika proses mengeluarkan para pekerja tambang itu dimulai pukul 00:10 (dini hari) sampai dengan 21:55 (menjelang tengah malam) waktu setempat. supaya dia dapat menyaksikan sendiri semua pekerja tambang itu satu per satu dikeluarkan. Setiap pekerja yang berhasil keluar dari reruntuhan itu, langsung dipeluk Piñera. Padahal mereka semua tentu sudah sangat kotor dan berbau karena terkubur 700 meter di bawah tanah di dalam udara lembab dan tidak terkena sinar matahari selama 69 hari.
Presiden SBY didesak untuk meniru cara Piñera dalam menangani peristiwa runtuhnya terowongan milik PTFI itu dengan terjun langsung ke lokasi kejadian, memberi dorongan semangat tim penyelamat/evakuasi di sana. Tetapi, SBY secara tak langsung menolaknya dengan alasan kejadian di Chili itu berbeda dengan di Tembagapura, Mimika, Papua itu. Sangat berbeda, kata SBY.
Di Chili, para pekerjanya terjebak dan masih hidup, sedangkan di Tembagapura itu, para pekerja yang sedang mengikuti pelatihan itu langsung tertimbun reruntuhan. Dengan kata lain, SBY mau bilang, para pekerja itu semua langsung tewas, kok, untuk apa dia ke sana lagi.
Padahal, bagaimana pun, kehadiran SBY di sana tentu akan membuat para pekerja lainnya, orang Papua, keluarga korban, bisa menilai bahwa SBY juga menghargai sekali para pekerja itu, dan juga orang Papua, sama dengan etnis lainnya di Indonesia.