Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Nazaruddin: "Kalau Mau Bikin Sinetron, Bikinlah yang Meyakinkan!"

30 Mei 2011   01:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:04 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_111103" align="aligncenter" width="574" caption="(Majalah Tempo) "][/caption]

Maunya mereka, publik percaya bahwa tidak ada kaitan apapun antara PD dengan kasus-kasus yang diduga menimpa Nazaruddin tersebut. Bahwa kabar tentang ancaman Nazaruddin akan membongkar habis bobrok dalam tubuh partainya adalah kabar yang tidak benar. Karena memang tidak ada masalah dengan Partai binaan SBY ini. Maunya sih begitu. Tetapi dari sikap dan pernyataan-pernyataan dari para elit PD tersebut ternyata bertolak belakang. Akibatnya, publik justru mencurigai, bahkan banyak yang yakin bahwa memang ada keterkaitan yang kuat antara Nazaruddin dengan para elit di DPP PD dalam kasus-kasus suap dan korupsi. Baik dalam kaitannya dengan wisma atlet Sea Games 2011, maupun kasus-kasus lain di luar itu. Para elit itu tidak kompak dalam memberi pernyataan. Sehingga pernyataan mereka antara satu dengan yang lain saling bertentangan. Beberapa pernyataan pun terdengar tidak masuk akal. Yang menunjukkan indikasi bahwa ada kepanikan di antara mereka dengan manuver yang dilakukan Nazaruddin, yang ingin menyandera para elit yang dikatakan juga koruptor. Yang terpenting, adalah apabila benar tidak ada masalah apapun PD dengan Nazaruddin itu, kenapa PD begitu sibuk luar biasa sejak kasus Nazaruddin ini mulai mencuat? Sejak itu beberapakali PD melakukan rapat konsolidasi tertutup untuk umum, yang dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Pembinanya, SBY. Hanya para elitnya saja yang menghadirinya. Rapat-rapat konsilidasi yang serba mendadak dan tertutup itu memberi indikasi kuat bahwa sebenarnya para elit PD itu sedang panik. Kalau tidak demikian, lalu apa? Kalau tidak ada apa-apa, kenapa mesti mengadakan beberapakali rapat konsolidasi, dan tertutup untuk umum pula? Kalau memang tidak ada apa-apa, ya, santai saja. Biar si Nazaruddin itu berkoar-koar sampai mulut berbusa, tidak bakalan ada efek apapun. Perlu dicatat bahwa sebelum kasus ini benar-benar menjadi heboh, SBY lewat Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum, pada Jumat, 13 Mei lalu sudah mememinta Nazaruddin untuk mengundurkan diri, atau dipecat, keterkaitannya dengan dugaan kasus suap ke MK dan dalam proyek wisma atlet Sea Games itu. Seperti diberitakan majalah Tempo edisi 29 Mei 2011, Anas sampai merasa perlu terbang khusus ke Bali menemui Nazaruddin untuk menandatangani surat pernyataan mengundurkan dirinya. Tetapi Anas terpaksa pulang dengan tangan hampa. Nazaruddin menolak menandatangani surat tersebut. Dia malah menitip pesan kepada Anas buat SBY, bahwa dia merasa tidak bersalah, dan kalau sampai dipecat atau dupaksa mundur, dia akan membongkar bobrok lain yang juga melibatkan beberapa elit partai. Beberapa nama itu adalah Anas sendiri, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, Zulkarnain Mallarangeng alias Choel, dan Marzuki Alie. Menyusul kemudian nama Andi Mallarangeng juga disebutkan. Mendengar nama anaknya disebut, tulis Tempo, SBY yang semula bersemangat mencopot Nazaruddin yang dianggapnya dapat merusak citra partai, mendadak mengambil langkah mundur. Ciut nyalinya. Mungkin seperti waktu dia pernah mengultimatumkan ormas-ormas radikal sejenis FPI, tetapi ketika diancam balik, malah mundur. Mulai dari sinilah SBY bersama para elit PD lainnya mengadakan rapat-rapat konsolidasi. Sampai pada akhirnya, secara begitu kebetulan yang ajaib Nazaruddin tiba-tiba sudah ada di Singapore pada 23 Mei lalu. Satu setengah jam kemudian, keluar putusan pemecatan terhadap dirinya sebagai bendahara umum partai. Besoknya, terbit surat permohonan cekal Nazaruddin dari KPK ke Ditjen Imigrasi. Kalau memang ada kebobrokan itu, para elit PD wajar pada ketakutan. Karena sebagai bendahara umum DPP PD, Nazaruddin tentu saja mengetahui banyak dari mana, dan ke mana saja fulus partai mengalir. Apakah itu fulus haram ataukah halal. Sebaliknya, kalau memang tidak ada kebobrokan itu, sepatutnya tidak ada yang perlu ditakutkan dari seorang Nazaruddin. Bukankah begitu logikanya?

*

Perkembangan terakhir memberitakan bahwa SBY dan para elit PD lainnya sekarang seolah-olah marah besar dengan kepergian Nazaruddin ke Singapore tersebut. PD akan segera membentuk tim khusus dipimpin oleh Ketua Umumnya Anas Urbaningrum untuk memulangkan Nazaruddin dari Singapore. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto juga telah meminta jajarannya untuk segera membawa Nazaruddin kembali ke Indonesia. "Saya telah meminta Kapolri, Menlu, dan Kepala BIN melalui institusinya masing-masing untuk segera dapat memulangkan Nazarudin," katanya (Kompas.com, 29/5/2011). Nazaruddin pun tiba-tiba menjadi seperti buronan. Tapi, anehnya mereka semua itu tidak mempersoalkan bagaimana caranya sampai Nazaruddin itu bisa "lolos" ke Singapore? Padahal lebih dari jelas dia sedang dilanda masalah hukum yang besar. Kenapa PD tidak menunjukkan niat untuk menindak Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah? Karena sesuai dengan pengakuannya sendiri bahwa dialah yang memberi izin kepada Nazaruddin untuk ke Singapore setelah memperoleh surat permohonan izin dari yang bersangkutan dengan alasan untuk melakukan general check-up. Bukankah, seharusnya Jafar Hafsah ini diselidiki dan diminta tanggung jawabnya, kenapa bisa memberi izin tersebut. Padahal jelas-jelas mantan bendahara umum PD itu sedang dibidik KPK. Apalagi izin tersebut tanpa sepengetahuan elit politik lainnya, termasuk Ketua Dewan Pembinannya, SBY (setidaknya begitu pengakuan mereka)? Anehnya, dia kasih izin itu, tetapi dia sendiri tidak tahu sakit apa yang sebenarnya diderita Nazaruddin. Dia juga tidak tahu di rumah sakit mana di Singapore Nazaruddin akan berobat itu. Apakah ada surat pengantar dokter untuk itu? Begitu daruratkah sakitnya, sehingga surat izin itu dibuat tanggal 23, tanggal itu juga izin diberikan, dan saat itu juga Nazaruddin berangkat ke Singapore? Jadi, hitungannya hanya beberapa jam setelah izin dimohonkan. Sebenarnya, alasannya itu untuk hanya general check-up, ataukah berobat? Tapi, Jafar sendiri bilang izinnya itu untuk general chek-up. General check-up dengan berobat tentu saja berbeda. General check-up apa yang sedemikian darurat? Hebatnya lagi, izin diberikan tanpa ada kepastian kapan yang bersangkutan harus kembali! Jafar Hafsah bilang, sesuai dengan ketentuan, Nazaruddin telah meminta izin secara tertulis kepadanya untuk ke Singapore. Tetapi Ketua Divisi Komunikasi dan Informatika Ruhut Poltak Sitompul mengatakan bahwa tidak ada ketentuan bahwa seorang kader partai kalau mau ke luar negeri harus minta izin terlebih dahulu. Yang benar, yang mana? Ini sebenarnya, memberi izin ataukah memang "mengirim" Nazaruddin ke Singapore?

*

Mulanya, sepertinya para elit PD agak lega dengan telah "berhasilnya" Nazaruddin sampai di Singapore. Tetapi perkembangan selanjutnya, malah semakin menyudutkan mereka. Rasa curiga publik semakin menebal bahwa kepergian Nazaruddin ke Singapore justru merupakan bagian dari suatu skenario (kesepakatan tertentu) antara elit PD dengan Nazaruddin. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari pernyataan Juru Bicara PD, Andi Nurpati, yang dikutip Kompas.com (28/5/2011). Dia bilang, dengan dipecatnya Nazaruddin sebagai bendahara umum, maka kepergian dia ke Singapore sudah bukan lagi tanggung jawab PD! "Itu (kepulangan Nazaruddin) kan tidak pada tanggung jawab Demokrat, karena beliau bukan lagi pengurus Partai Demokrat. Beliau lebih sebagai anggota DPR. ..." demikian pernyataannya yang dikutip Kompas.com itu. Sebuah pernyataan yang aneh sebenarnya, karena meskipun sudah dipecat dalam pengurus partai, bukankah Nazaruddin masih tetap merupakan bagian dari PD? Dia masih tetap anggota partai. Dia masih dipercaya di DPR mewakili PD (di Komisi III, kemudian dipindahkan ke Komisi VIII). Bagaimana bisa, dikatakan bahwa kepergian Nazaruddin ke Singapore itu sudah bukan menjadi tanggung jawab PD lagi? Pernyataan ini bisa keluar, karena mungkin saja merupakan sebuah ungkapan spontanitas (keceplosan) yang mengungkapkan perasaan lega bahwa Nazaruddin kini sudah "diamankan" di Singapore. Mungkin ini merupakan strategis yang bersifat kompensasi agar Nazaruddin punya alasan untuk tidak membongkar bobrok dalam tubuh PD, sebagaimana ancamannya semula (yang kemudian dibantahnya)? Dia diminta lari ke Singapore, sehingga jauh dari jangkauan hukum yang berpotensi menyeret nama-nama lain elit partai, sebagaimana disebutkan di atas. Di Singapore, dia aman dari kejaran hukum. Demikian pula sejumlah elit lain. Biarlah, waktu berlalu, sampai publik melupakan kasus ini. Atau kemungkinan lain adalah untuk sementara mereka sepakat menempatkan Nazaruddin di sana, untuk memberi waktu menyusun strategi-strategi tertentu untuk bagaimana caranya lolos dari ancaman Nazaruddin yang telah telanjur diketahui publik itu. Namun skenario tersebut rupanya berantakan, publik malah menjadi semakin curiga kepada para elit di PD itu, seperti disebutkan di atas. Maka setelah Plan A gagal, dijalankan Plan B. Yakni, seperti perkembangan terakhir yang kita dapat beritanya. Dikisahkan, PD gusar kepada Nazaruddin, maka PD pun membentuk tim khusus untuk memulangkan Nazaruddin. SBY pun segera menghimbau kepada Nazaruddin agar segera pulang. Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto pun ikut memberi pernyataan (mewakili pemerintahan SBY, tentu saja), meminta Kapolri, Menlu, dan BIN untuk dengan menggunakan jajarannya untuk bisa memulangkan Nazaruddin. Kepergian Nazaruddin ke Singapore itu pun tiba-tiba berubah dari "bukan urusan PD lagi" menjadi tanggung jawab besar PD. Mereka tiba-tiba menjadi sangat serius untuk memulangkan Nazaruddin. Padahal sebelumnya semua pernyataan beberapa elit partai itu mengatakan bahwa Nazaruddin dapat dipercaya untuk akan segera pulang ke Indonesia, sebagaimana, katanya, dia sendiri bilang kepada mereka. Seharusnya, jika memang demikian, PD tidak perlu sampai sesibuk begini. Kirim saja beberapa orang partai yang berkompeten untuk mengawal Nazaruddin. Terangkan secara transparan, dia di Singapore tinggal di mana. Berobat di rumah sakit mana. Minta keterangan tertulis dari rumah sakit itu bahwa benar Nazaruddin dirawat di sana. Bilamana perlu umumkan rekam mediknya yang diverifikasi dokter yang independen di sini. Sehingga dia tidak bisa tiba-tiba nanti "lenyap," seperti Nunun Nurbaeti. Medical check-up, atau berobat apa, sih, di Singapore, sebenarnya? Masa sampai sudah seminggu ini belum juga ada tanda-tanda kapan pulangnya?

*

Apakah nanti kalau benar-benar Nazaruddin pulang kembali ke Tanah Air, murni karena berbagai upaya tersebut? Bukan karena sudah sesuai dengan skenario? Apa pun yang terjadi peristiwa ini hampir pasti akan (semakin) menurunkan kepercayaan rakyat terhadap PD. Sesuatu yang sangat berbahaya bagi PD menyongsong Pemilu 2014 nanti. Bukan tidak mungkin PD yang dari sebuah partai kecil, dalam waktu yang relatif singkat menjadi besar. Tetapi setelah diterpa prahara ini, akan kembali menciut menjadi partai gurem? Sebagaimana dialami oleh parpol semacam PBB dan PPP? Bahkan akan lebih buruk? Para elit PD sudah ketakutan dengan kemungkinan ini. Tetapi alih-alih mereka mau mengintrospeksi diri. Tudingan bahwa ada pihak ketiga yang sengaja memanfaatkan kasus Nazaruddin ini untuk menghancurkan PD pun dilontarkan. Tak kurang dari SBY sendiri, sebagaimana disampaikan oleh Ketua DPP Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, menyatakan bahwa kisruh yang terjadi di internal PD disebabkan oleh adanya pihak-pihak lain yang memanfaatkan momentum kasus Nazaruddin untuk menghancurkan PD. "Sangat nyata dan meyakinkan bagi kami dan Pak SBY bahwa ada pihak-pihak lain yang berhubungan dengan rivalitas politik dengan memanfaatkan kasus Nazaruddin sebagai strategi atau celah untuk menghancurkan Demokrat, Ini untuk kepentingan (pemilu) 2014," kata Kastorius (Kompas.com, 29/5/2011). Apakah ini tidak salah? Karena sesungguhnya, justru karena ulah elit PD sendirilah yang sebenarnya menghancurkan partainya sendiri. Bukan pihak lain. Pihak lain benar memanfaatkan kehancuran itu, kalau benar-benar terjadi. Tetapi yang menghancurkannya bukan pihak lain, melainkan para elit PD itu sendiri. Setelah hancur tentu saja, pihak lain memperoleh keuntungan darinya.

*

Kalau mau berbohong, berbohonglah yang cerdik. Kalau mau bikin sinetron, bikinlah sinetron yang meyakinkan. Kalau tidak, kebohongan dan sinetron tersebut justru mengisyaratkan apa yang sebenarnya mau disembunyikan itu. Barangkali himbauan ini berlaku untuk PD. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun