Surat inisiatif Hak Angket terhadap Pemerintah karena tidak menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta telah dibacakan oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, di rapat paripurna DPR RI, Kamis, 23 Februari 2017. Artinya, inisiatif Hak Angket tersebut akan dibahas di rapat paripurna berikutnya (setelah reses): apakah Hak Angket tersebut akan disetujui untuk dilaksanakan ataukah tidak.
Empat fraksi yang menandatangani inisiatif Hak Angket yang mereka namakan “Hak Angket Ahok-gate” itu adalah Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Demokrat dan PAN adalah parpol pengusung pasangan calon gubernur Agus-Sylvi (yang sudah tereliminasi), dan Gerindra dan PKS pengususng Anies-Sandi.
Di antara keempat parpol itu hanya PAN yang merupakan parpol yang masuk di dalam pemerintahan Presiden Jokowi, tetapi justru di parlemen melawan kebijakan Presiden Jokowi terhadap Ahok itu. Sedangkan parpol lainya: PPP dan PKB memilih menunggu untuk melihat perkembangan politiknya sebelum mengambil sikap terhadap status Ahok itu.
Kenapa PAN merupakan satu-satunya parpol yang pro-pemerintah, tetapi sekligus juga menjadi salah satu inisiator dilaksanakan Hak Angket terhadap Presiden Jokowi? Akan dibahas di artikel berikut.
Seperti yang sudah diketahui, alasan penandatanganan pengajuan Hak Angket oleh keempat parpol tersebut adalah karena mereka menilai Pemerintah (Presiden Jokowi) telah bersikap melawan hukum dengan tidak menonaktifkan Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dijabatnya kembali seusai menjalani cuti kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017, padahal ia adalah seorang terdakwa pelaku kejahatan penistaan agama dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun.
Mereka merujuk pada ketentuan Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang antara lain menyebutkan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.
Sedangkan Ahok didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan dua pasal alternatif tentang penistaan agama, yaitu Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 4 tahun penjara, atau Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman selama-lamanya 5 tahun penjara.
Alasan Mendagri Tidak Menonaktifkan Ahok
Atas dasar dua tuntutan alternatif dari jaksa penuntut umum itulah Pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, memutuskan sampai saat ini tidak dapat memberhentikan sementara Ahok, karena masih harus menunggu sampai jaksa membaca tuntutannya terhadap Ahok.
Jika Ahok dituntut dengan hukuman maksimal, yaitu 5 tahun,barulah Mendagri Tjahjo Kumolo atas nama Presiden akan memberhentikan sementara Ahok.
Jika Ahok dituntut kurang dari 5 tahun, maka pemberhentian sementara itu tidak akan dilakukan.