[caption id="attachment_289294" align="aligncenter" width="448" caption="Jokowi akankah menjadi Presiden (Solo Pos)"][/caption]
Berbagai hasil survei elektabilitas calon presiden yang pernah dilakukan – yang terbaru survei Kompas yang telah dimuat di Harian Kompas edisi Rabu, 8 Januari 2014, -- selalu memperlihatkan hasil, Jokowi berada di urutan pertama, dan semakin jauh meroket meninggalkan para pesaingnya (baca artikel saya sebelumnya: Slogan Prabowo Lebih Cocok untuk Jokowi).
Personality Politics
Hasil-hasil survei ini menunjukkan kebenaran teori yang dikemukakan oleh Associate Professor Leonard Sebastian, Direktur Program Studi Indonesia di Rajaratnam School of International Studies, Singapura, yang juga adalah Professor dari Australian National University.
Sebastian mengatakan, kepribadian kandidat presiden dinilai bakal menjadi penentu dalam Pemilu Presiden 2014 di Indonesia. Kondisi itu dia sebut sebagai “personality politics.”
"Sosok yang paling berkharisma (dan) mampu menggugah perhatian warga yang akan terpilih," katanya awal Januari lalu.
Sebastian mengatakan, pemilu Indonesia tidak lagi ditentukan oleh ideologi ataupun platform partai politik. Contoh personality politics yang berlangsung di Indonesia, sebut dia, adalah melejitnya popularitas Jokowi.
Sosok Jokowi dengan kegiatan blusukan-nya, kata Sebastian, mampu menggugah warga, terutama dari kalangan miskin yang tinggal di kawasan kumuh. Jokowi digambarkan sebagai sosok yang merakyat dan tak elitis.
Bisnis Jokowi pun diyakini publik dibangun dari bawah sehingga tahu rasa hidup susah. Sebastian mengatakan, kinerja Jokowi dalam satu tahun terakhir memimpin Jakarta juga terlihat lebih sukses dibandingkan kinerja lima tahun pendahulunya, Fauzi Bowo (Kompas.com).
Fenomena yang disebut Sebastian dengan sebutan “personality politics” sesungguhnya sudah terbukti secara kongkrit di dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, ketika sejumlah partai besar dengan dana kampanye yang sangat besar berkoalisi “mengeroyok” Jokowi-Ahok yang hanya didukung PDIP dan Gerindra, tetapi mayoritas warga DKI menjatuhkan pilihan kepada Jokowi-Ahok. Ini karena adanya faktor personality politics pada sosok Jokowi, yang kini terus semakin membesar menjelang Pilpres 2014.
Megawati “Mengalah”
Maka, sesungguhnya dilihat dari fenomena yang terjadi dalam setiap hasil survei, dan membaca teori dan analisa dari Leonard Sebastian ini, seharusnya sudah semakin memperkukuh pilihan PDIP dalam menentukan siapa calon presiden dari partainya di Pilpres 2014 ini.
Megawati seharusnya dapat lebih bijaksana dalam melihat “kehendak alam” ini, dengan menguburkan rasa penasarannya karena tiga kali kalah dalam dua pilpres sebelumnya (di Pilpres 2004 Megawati kalah dari SBY dalam dua putaran pilpres tersebut), dengan tak lagi ikut-ikutan maju sebagai capres.
Faktor Mega, justru akan mengerus potensi kemenangan besar PDIP di dalam Pemilu Legislatif 2014, maupun Jokowi dalam Pilpres 2014, jika dia jadi diajukan.
Rasa penasaran Megawati ini tergambar dari ketika masih adanya isyarat darinya yang didukung oleh sebagian elit dan kader PDIP untuk kembali maju lagi (untuk ketiga kalinya) sebagai capres di Pilpres 2014. Padahal usianya saat ini sudah 67 tahun, dan PDIP sudah punya Jokowi yang tingkat elektabilitasnya dalam berbagai survei itu sangat jauh melebihi Megawati sendiri.
*
Tim Sebelas yang dibentuk Megawati pada April 2013 dengan tugas mengambil keputusan tentang kandidat yang akan diusung PDIP masih mencantumkan nama Megawati di dalam daftar kemungkinan sosok yang akan dijadikan calon presiden di Pilpres 2014.
Dalam melaksanakan tugasnya ini Tim Sebelas menyusun kriteria pemimpin nasional, menggodok sejumlah nama, menggelar jajak pendapat, dan membuat skenario opsi pasangan.
Kriteria calon presiden sudah disusun dan telah disampaikan ke Rapat Pimpinan Nasional PDIP pada September 2012, yakni, mempunyai kemampuan mengatasi krisis dan memiliki aspek ideologis partai, di samping memiliki kemampuan manajerial dan punya elektabilitas tinggi.
“Mega sedang menggandrungi regenerasi ideologis,” kata salah satu anggota tim (Tempo, edisi 12 Januari 2014).
Dengan alasan regenerasi ideologis itulah nama Megawati masih dicantumkan di dalam bursa calon presiden oleh Tim Sebelas PDIP itu. Maka disusunlah tiga skenario pasangan. Skenario pertama mengusung Mega-Jokowi. Skenario kedua mengusung duet Jokowi dengan kader partai. Skenario ketiga, Jokowi dengan calon dari partai lain.
Namun, dari hasil jajak pendapat internal PDIP sendiri sebetulnya sudah tergambarkan bahwa seharusnya Megawati jangan lagi dimasukkan sebagai calon. Jika dipaksakan, Megawati justru akan menjadi faktor yang merugikan PDIP, baik di dalam Pemilu Legislatif, maupun Pemilu Presiden (Pilpres).
Mei tahun lalu, tiga skenario ini sudah diujicobakan lewat jajak pendapat di kalangan PDIP di seluruh Indonesia. Hasilnya, seperti juga hasil survei publik, nama Jokowi terus melejit meninggalkan Megawati. Jokowi 60 persen, Megawati 30 persen.
Hasil jajak pendapat internal PDIP yang dilakukan setiap bulan sejak Oktober 2013 lebih menunjukkan bahwa faktor Megawati justru berpotensi mengurangi suara PDIP. Yaitu, ketika disurvei dilakukan dengan mengajukan duet Megawati-Jokowi, suara dukungan justru menurun, dibandingkan dengan kalau Jokowi yang sebagai calon presidennya.
Megawati, dikabarkan telah menunjukkan jiwa besarnya, sadar bahwa Jokowi tak mungkin bisa disaingi lagi, dia pun “mengalah”, dan memerintahkan agar Tim Sebelas lebih fokus pada skenario kedua dan ketiga.
Tekad Bulat Sabam Sirait
Isyarat agar Megawati tidak lagi ikut mencalonkan diri di Pilpres 2014 juga datang dari pendiri dan politikus senior PDIP, Sabam Sirait.
Ketika diwawancara Majalah Tempo (edisi 12 Januari 2014), Sabam memberi isyarat tersebut. Ditanya Tempo, “Bagaimana jika Mega maju jadi calon presiden, berapa besar peluang menang?” Sabam menjawab diplomatis, “Kalau pesaingnya berusia 60 tahun ke atas, dia layak maju.”
Dalam wawancara itu pula, menjawab pertanyaan, “Jokowi unggul di banyak survei. Dia akan menjadi calon presiden?” Sabam menyampaikan harapan besarnya kepada partainya itu agar mempertimbangkan betul hasil survei. “Kepercayaan masyarakat terhadap PDIP membaik. PDIP didirikan untuk kepentingan masyarakat,” katanya.
Bagaimana jika calon presidennya tak sesuai dengan aspirasi publik itu? Sabam menjawab, “Jangan meremehkan saya. Jangan kira saya hanya menerima sesuatu. Saya akan berperang sebelum mereka menentukan . Saya akan datang sebelum menjadi keputusan.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa Sabam Sirait benar-benar telah berbulat tekad untuk memajukan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP.
“Ahok Itu Isinya PDIP” (Jika Jokowi Presiden, Ahok Gubernur Jakarta)
Sabam Sirait mengatakan kepada Tempo, dia telah berpikir jauh mengenai konsekuensi dari diajukannya Jokowi sebagai calon presiden di Pilpres 2014 itu. Yakni, apabila Jokowi menang, maka posisi Gubernur DKI Jakarta akan lepas dari PDIP, beralih ke partai lain. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kader Gerindra, sebagai Wakil Gubernur secara otomatis akan naik menjadi Gubernur menggantikan Jokowi. Sabam mengaku, tak terusik dengan konsekuensi tersebut.
Sabam mengatakan dia sudah berbicara langsung dengan Ahok tentang kemungkinan itu. Kepada Ahok, Sabam berkata, “Kau siap-siap jadi gubernur kalau si Jokowi entah jadi apa. Walaupun itu sudah otomatis kau jadi gubernur. Belajar kau dari sekarang. Sebab, jadi gubernur beda dengan wakil gubernur. Kau mesti belajar lebih hebat dari orang lain.”
Ketika Tempo bertanya, “Anda legawa bila posisi Gubernur Jakarta diambil partai lain?” Dengan tegas Sabam menjawab, “Partai apa? Gerindra? Ahok itu sudah PDIP isinya.”
Jika skenario dan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas menjadi kenyataan: Jokowi menjadi Presiden, dan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, maka salah satu kendala dalam mewujudkan cita-cita Jakarta Baru dari Jokowi-Ahok dapat dihilangkan. Sinkronisasi dan koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemprov DKI Jakarta akan menjadi lancar, karena adanya kesamaan konsep antara Jokowi dengan Ahok.
Jokowi secara tersirat pernah mengatakan bahwa beberapa programnya bersama Ahok, untuk membangun Jakarta Baru, terbentur dengan kebijakan Pemerintah Pusat, yang tidak sejalan dengan pemikiran-pemikirannya.
Misalnya, ketika diwawancara Majalah Tempo (Tempo, edisi 1 Agustus 2013), dengan pertanyaan: “Setahun menjadi Gubernur Jakarta, apa masalah terberat?”
Jokowi menjawab: “Masalah di Jakarta itu tak bisa ditangani sendirian, harus dengan Pemerintah Pusat. Ini bukan menyalahkan Pusat, tapi gambarannya memang begitu. Contohnya, banjir di Jakarta terkait dengan 13 sungai dan semua kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum. Termasuk tanggul yang jebol di Menteng dan Waduk Pluit, itu wewenang Pekerjaan Umum. Bagian Jakarta hanya selokan dan parit kecil-kecil.”
“Begitu pula soal macet. Lebih dari 10 tahun, problemnya sama. Meski otoritas transportasi Jabodetabek sudah terbentuk, tetap tak bisa jalan sempurna karena otoritas ada di Pemerintah Pusat. Semua harus realistis, enggak bisa sepotong-sepotong di DKI. Peran itu harus diberikan pusat, gubernur harus di-drive oleh pusat. Ini keputusan politik, Jakarta mau diselesaikan atau tidak, atau hanya selesai dalam pembicaraan.”
Tempo: “Jika memang begitu, apa problemnya selama ini?”
Jokowi: “Komunikasi dan kerja sama enggak nyambung. Saling tunggu. Saya memilih mengejar di mana letak tidak nyambung-nya. Yang penting masalah clear dan terselesaikan, jelas arahnya mau ke mana.
Nah, seandainya Jokowi menjadi Presiden, kendala-kendala seperti ini lebih besar harapannya untuk dihilangkan, karena Gubernur Jakarta-nya adalah Ahok, yang mempunyai pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan Jokowi.
Apakah harapan-harapan ini akan menjadi kenyataan? Tahun ini juga kita akan mulai mendapatkan jawabannya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H