Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jika Pilkada oleh DPRD: Seperti Apa Karakter Gubernur DKI Jakarta 2017-2022?

9 September 2014   07:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410196638734778074

Dari berbagai pernyataan dan opini yang dimuat/ditayangkan di berbagai media massa dengan mudah kita ketahui bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan pilkada langsung oleh rakyat tetap dipertahankan. Karena mereka sadar, itulah pesta demokrasi terbesar di mana mereka melaksanakan kedaulatannya sebagai rakyat dalam memilih calon kepala dan wakil kepala daerahnya. Saat itulah mereka secara langsung menentukan siapakah yang dianggap paling layak menjadi pimpinan di daerahnya. Rakyat itu tak sudi pesta demokrasinya itu dibubarkan, dan kedaulatan mereka itu dirampas begitu saja oleh DPR, dan diberikan kepada DPRD, sebagaimana rencananya akan disahkan RUU Pilkada-nya dalam September ini juga.

Hasil survei Litbang Kompas yang dimuat di Harian Kompas (cetak), Jumat (5/9/2014) menghasilkan: 87,6 persen respon menghendaki pilkada langsung, dan hanya 10,2 persen yang menghendaki pilkada dengan sistem perwakilan oleh DPRD, sedangkan 2,2 persen menjawab tidak tahu.

Demikian juga dari berbagai media massa itu, sepengetahuan saya belum ada dari tokoh kalangan akademisi, ahli hukum tata negara, dan pengamat politik yang setuju dengan kehendak DPR yang hendak mengubah sistem pilkada dari langsung menjadi sistem perwakilan oleh DPRD itu. Mereka semua menolak RUU Pilkada 2014 yang hendak mengatur perubahan tersebut.

Semua alasan DPR untuk mengembalikan pilkada ke DPRD itu (karena pilkada langsung memakan biaya yang besar, adanya politik uang, dan konflik horizontal)  sudah dipatahkan dengan mudah oleh tokoh akademisi, ahli hukum tata negara, dan pengamat politik (selengkapnya baca artikel saya: UU MD3 dan RUU Pilkada 2014, Mengkhianati Demokrasi, dan Merampok Kedaulatan Rakyat).

Bahkan KPK pun merasa sangat perlu untuk menyampaikan pandangannya. Salah satunya dari Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dia dengan tegas menyatakan kekhawatiran KPK jika pada akhirnya kepala daerah jadi dipilih oleh DPRD. Karena hal ini menurutnya bisa membuat kepala daerah lebih berpotensi tinggi korupsi dibandingkan dengan yang dipilih langsung oleh rakyat.

Busyro Muqoddas mencontoh, belajar dari hasil penelitian KPK soal penerbitan izin usaha pertambangan yang diselewengkan di sejumlah daerah, para pengusaha hitam akan lebih mudah menyogok DPRD. Sementara DPRD akan lebih leluasa memeras kepala daerah karena merasa sebagai penentu kepimpinan di daerah.

“Dengan dipilih DPRD, kondisi itu akan semakin parah. Kepala daerah rentan korupsi. ... Potensi korupsi yang tinggi jika DPRD memilih kepala daerah justru membuat biaya pilkada langsung tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kerugian negara yang mungkin timbul,”kata Busyro (Kompas cetak, Senin, 8/9/2014).

Mengenai politik uang di pilkada, yang dimaksud oleh DPR itu adalah pemberian uang kepada para pemilih untuk memilih calon pimpinan tertentu. Hal ini memang hampir pasti ada di pemilu mana pun, termasuk di pilpres, hanya apakah itu dilakukan secara sistematis, masih, dan terstruktur, sehingga secara signifikan mempengaruhi hasil suara, tidak ada buktinya sampai sekarang.

DPR menuduh demikian kepada rakyat, seolah-olah kalau di DPRD, politik uang itu tak ada, atau hanya kecil saja. Sebaliknya, dengan watak dan kualitas anggota DPRD sekarang ini, justru potensi terjadinya politik uang jauh lebih besar. Baik dari segi kualitas, maupun kuantitasnya.

Peneliti senior LIPI, Syamsuddin Haris, mengatakan, anggota DPRD periode 2014-2019 merupakan produk sistem pemilu proporsional terbuka, yang lebih mengandalkan uang dan popularitas agar terpilih. Selain itu mereka produk dai sistem perekrutan partai politik yang buruk. Partai cenderung memilih seseorang menjadi calon anggota DPRD sebatas karena orang itu punya uang, popular, atau dekat dengan elite partai (Kompas cetak, Minggu, 7/9/2014).

Untuk menjadi anggota DPRD, mereka sudah mengeluarkan modal yang (sangat) besar, tentu mereka berusaha sedapat mungkin untuk kembali modal dan untung. Salah satu caranya adalah ladang basah di pilkada di DPRD, -- jika itu sampai benar-benar diberlakukan.

Dengan mental anggota DPRD seperti ini, bisakah kita harapkan mereka akan memilih kepala daerah yang benar-benar berkualitas, berintegritas tinggi, jujur, bersih, dan sebagainya?

Umpamanya saja, kalau pilkada diadakan lagi di DKI Jakarta, hanya memerlukan dana sebesar Rp. 10 miliar sampai dengan Rp. 25 miliar untuk menyuap sekitar 500.000 pemilih dengan uang @Rp. 20.000 – Rp. 50.000, agar mereka mencoblos calon yang ditentukan. Sebaliknya jika pilkada di DPRD DKI, kalau terjadi politik uang, untuk menyuap separoh saja dari anggota dewan yang berjumlah 106 orang itu, untuk memilihnya, calon gubernur itu membutuhkan biaya yang jauh lebih besar. Uang sogoknya paling sedikit Rp 1 – Rp. 2 miliar miliar per suara.

Dari segi jumlah yang harus disogok, tentu sangat jauh lebih mudah menyogok puluhan  anggota DPRD daripada menyuap puluhan ribu rakyat pemilih.

Persengkongkolan korupsi kepala daerah dengan DPRD tidak akan berhenti di pilkada itu, tetapi akan diteruskan selama pemerintahan itu berjalan, akan terjadi pemerintahan oligarki terselubung yang yang manipulatif dan korup, kecuali sampai ketahuan dan ditangkap KPK. Persengkongkolan untuk melakukan korupsi itu akan diteruskan dalam berbagai proyek pembangunan daerah, proyek fiktif, memainkan anggaran, dan sebagainya.

Itu kerusakan dari segi materi, belum lagi kerugian dari aspek lainnya, seperti terlantarnya pembangunan infrastruktur daerah, terlantarnya pembangunan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Semua itu akan berpotensi jauh lebih besar kemungkinan terjadinya, juga jauh lebih besar dana yang dikorupsinya, dibandingkan dengan pilkada langsung, yang saat itu sambil berjalan terus diperbaiki dari berbagai aspek. Sampai hari ini belum ada bukti  korupsi kepala daerah mempunyai korelasi langsung dengan pilkada. Sebaliknya dalam sejarah pemerintahan Orde Baru praktek semacam itu sudah lazim terjadi.

Ketika proses pilkada langsung secara keseluruhan  itu  sudah menjadi semakin baik, tiba-tiba DPR hendak mengubah semuanya itu, dengan membubarkan pesta demokrasi yang semakin dinikmati rakyat banyak itu, dan hendak merampas kedaulatan rakyat tersebut, demi kepentingan ambisi dan politik pragmatis mereka semata.

Dari hasil Pemilu Legislatif 2014, pada tingkat provinsi di seluruh Indonesia, memang koalisi Merah Putih menguasai seluruh DPRD tingkat provinsi, dari seluruh 34 provinsi yang ada, mereka hanya menyisakan satu provinsi yang dimenangkan oleh koalisi PDIP, yaitu Provinsi Sulawesi Utara (7-16), sedangkan Bali seri (27-27).

[caption id="attachment_322910" align="aligncenter" width="418" caption="(Sumber: Jawa Pos cetak, Senin, 8/9/2014)"][/caption]

Pantasan Koalisi Merah Putih itu mati-matian menghendaki pilkada dilangsungkan dengan sistem perwakilan oleh DPRD, sehingga mereka hampir pasti memenangkan semua pilkada di seluruh Indonesia. Ingatlah perkataan kubu Merah Putih yang dikutip Majalah Tempo, “Tidak mengapa presidennya Jokowi,tetapi semua kepala daerah kami ambil semua!” Strategi mereka adalah mengepung pemerintahan Jokowi-JK dari semua lini, di parlemen, dan di semua daerah. Sudah nyaris tak ada bedanya dengan rencana tindakan sabotase terhadap kelancaran suatu pemerintahan yang sah.

Jadi, kepala daerah yang bakal terpilih bukan lagi semata-mata berdasarkan kualitas dan rekam jejak calon, tetapi lebih berdasarkan dukungan mayoritasnya di DPRD plus berapa kuat dia membayar. Sedangkan mengenai kualitasnya, itu adalah urusan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Maka, jika RUU Pilkada 2014 ini berhasil disahkan, dan lolos di MK (pasti akan digugat), misalnya, di pilkada DKI 2017, jika yang bersaing adalah calon-calon gubernur berkarakter seperti Jokowi melawan calon yang berkarakter seperti Haji Lulung.  DPRD DKI akan memilih calon gubernur DKI yang berkarakter seperti Haji Lulung sebagai gubernur DKI 2017-2022, karena dia didukung Koalisi Merah Putih, dan secara karakter lebih cocok dan serasi dengan mereka di DPRD DKI, dan bisa membuat mereka lebih aman. Sedangkan rakyat DKI Jakarta, silakan jadi penonton dan pasrah saja, sebagaimana nasib daerah-daerah lainnya kelak. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun