[caption id="attachment_350689" align="aligncenter" width="560" caption="Rabu, 11 Februari 2015, KPK diwakili Bambang Widjojanto mengadakan konferensi pers, menjelakan adanya teror dan ancaman serius terhadap nyawa para penyidik KPK (Kompas TV)"][/caption]
Jika Budi Gunawan Tidak Tersangka, Apakah KPK Juga Tidak “Dihabisi”?
Pertanyaan ini penting diajukan, mengingat begitu luar biasa ngototnya para pembeking Budi Gunawan untuk mempertahankan dia dilantik sebagai Kapolri, padahal ia sudah berstatus tersangka, juga sudah mendapat penolakan dari publik. Sampai-sampai demi mempertahankan Budi Gunawan itu pun para pemimpin KPK itu dikriminalisasikan.
Kemudian dikaitkan dengan serangan mematikan dari Hasto Kristiyanto sebagai wakil dari PDI-P. Majalah Tempo juga berhasil mengendus bahwa ada jalinan kerja sama rahasia antara Hasto Kristiyanto, A.M. Hendropriyono, Budi Gunawan, dengan sejumlah penyidik di Bareskrim Polri, di balik kriminalisasi semua pimpinan KPK ini.
Jika itu benar, maka saat ini sedang terjadi konspirasi besar untuk “menghabisi” semua pimpinan KPK yang sekarang! Pertanyaannya selanjutnya: Kepentingan sangat besar apakah yang membuat mereka berkomplot untuk melakukan hal itu?
Ada informasi yang diperoleh Majalah Tempo bahwa sebenarnya Hasto juga sudah diincar KPK berkaitan dengan ketika masih di Tim Transisi, dia diduga mendagangkan jabatan direktur dan komisaris BUMN. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, Hasto menyangkalnya. Jika pun benar, kasus ini terlalu kecil untuk dikaitkan dengan apa yang sekarang sedang terjadi dalam perseteruan KPK vs Polri plus PDI-P itu.
KPK Mengincar Megawati?
Pernah ada dugaan kriminalisasi para pimpinan KPK itu ada kaitannya dengan dimulainya pengusutan KPK terhadap kasus Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) yang terjadi di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dugaan tersebut pernah juga ditulis di Kompasiana. Tetapi, ketika itu dugaan tersebut baru sebatas dugaan saja, tanpa ada indikator-indikator yang bisa menguatkannya. Tetapi, sekarang seiring dengan semakin kuatnya serangan terhadap semua pimpinan KPK, dan semakin kentara dan terungkapnya siapa-siapa sesungguhnya para lakon utama “pemburu” dan “pembunuh” KPK itu, maka dugaan-dugaan tersebut semakin kuat mendapat pembenarannya.
Jika bukan karena kasus itu, lalu karena apa lagi, sehingga kali ini justru PDI-P-lah yang diduga berperan penting bersama Polri bertarung melawan KPK? Masakan kita mau disuruh percaya, itu hanya semata-mata wujud perjuangan idealisme dari seorang Hasto Kristiyanto, yang tidak tahan melihat Ketua KPK Abraham Samad yang pendendam dan pembohong?
Semakin gencar Hasto/PDI-P menyerang KPK, semakin kuat sinyalemen bahwa serangan tersebut memang dimaksudkan untuk “menghabisi” KPK, dengan cara menyerang semua pemimpinnya, dengan maksud dan tujuan tertentu. Suatu kepentingan yang sangat besar dan mengerikan.
KPK di bawah para pimpinannya yang sekarang memang sedang fokus untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus BLBI, khususnya pada penjualan aset-aset grup Gajah Tunggal yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Grup ini ditengarai masih berhutang sebesar Rp. 3,8 triliun, tetapi Megawati yang menjadi Presiden ketika itu malah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL BLBI) pada Maret 2004.
Untuk kepentingan penyelidikan itulah beberapa mantan menteri di era Megawati itu dipanggil satu per satu oleh penyidik KPK untuk diminta keterangannya. Mereka adalah Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno -- yang saat ini adalah Menteri BUMN di Kabinet Kerja Presiden Jokowi-JK, dan Mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Gebrakan KPK inilah yang diduga membuat Megawati dan PDI-P ketar-ketir, sangat mungkin cepat atau lambat tibalah saatnya Megawati sendirilah yang akan dipanggil KPK, entah sebagai saksi, ataukah sebagai tersangka!
Apalagi, sebelum Pilpres 2014, Abraham pernah mengatakan, ada kemungkinan KPK akan memanggil Megawati untuk dimintai keterangan terkait penyelidikan penerbitan SKL untuk beberapa obligator BLBI.
Pada 24 Juli 2014, misalnya, ketika ditanya wartawan terkait penyelidikan kasus BLBI, Abraham menyatakan KPK tidak akan terkendala atau takut untuk memanggil Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, meski kader PDI-P, yakni Jokowi, terpilih sebagai presiden periode 2014-2019.
"Megawati ‘kan bukan presiden. Presiden pun kalau diperlukan, kita akan panggil. KPK enggak ada kendala panggil presiden," kata Abraham ketika itu (Kompas.com).
Abraham jelas bukan asal bicara, buktinya bahkan Boediono, ketika masih menjabat sebagai wakil presiden pun pernah diminta jaksa penuntut KPK untuk hadir sebagai saksi di sidang pengadilan Tipikor yang mengadili perkara Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya. Pada 9 Mei 2014, Wakil Presiden Boediono pun memenuhi panggilan tersebut, dan tak ada perlakuan khusus yang diterima selama menjadi saksi di pengadilan tipikor tersebut.
Sebelumnya, pada 21 Februari 2011, KPK pernah memanggil Megawati dalam kasus suap cek pelawat (traveler cheque) untuk pemilihan Miranda Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Panggilan tersebut atas permintaan Max Moein, politikus PDIP yang menjadi tersangka kasus ini. Saat itu, KPK sudah menahan 24 tersangka penerima cek pelawat yang merupakan anggota DPR periode 1999-2004. Dari jumlah itu, 13 di antaranya adalah politikus PDIP.
Megawati tak memenuhi panggilan itu. Ia hanya mengutus Tim Hukum PDI-P ke KPK mempertanyakan urgensi pemanggilan tersebut. Tapi, tentu saja, untuk kasus SKL BLBI ini sangat urgensi KPK memanggil Megawati, karena dalam kasus tersebut dialah pelakon utamanya, dan bisa jadi pula berpotensi menjadi tersangka.
Wajar, jika kemungkinan ini membuat Megawati dan PDI-P ketakutan. Apalagi tanda-tanda itu semakin kelihatan, dengan dipanggilnya tiga mantan menterinya oleh KPK itu, plus pernyataan Abraham Samad tersebut. Pernyataan Abraham Samad itu diterjemahkan sebagai suatu isyarat bahwa KPK memang sudah mengincar Megawati terkait kasus SKL BLBI.
Mendekati KPK
Sebelum itu terjadi, itu mereka harus dihentikan. Yang dilakukan pertama kali adalah langkah-langkah pendekatan persuasif. Saat itulah kemungkinan memang ada pertemuan antara Abraham Samad dengan beberapa petinggi PDI-P yang dikoordinasi oleh Hasto Kristiyanto. Bukan merupakan pertemuan-pertemuan rahasia, sebagaimana diungkapkan Hasto, tetapi pertemuan-pertemuan di muka umum, dalam acara-acara resmi atau resepsi tertentu.
Dalam pertemuan itulah diperkirakan ada semacam penawaran kepada Abraham Samad untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi, dengan harapan jika Abraham bersedia dan kelak menjadi wakil presiden, maka diharapkan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus BLBI itu bisa dihentikan, atau ada penawaran lain kepada Abraham agar tidak melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus BLBI itu.
Hasto tidak mengerti, bahwa meskipun Abraham adalah ketua KPK, keputusan untuk meneruskan atau menghentikan suatu penyelidikan dan penyidikan suatu kasus, sampai penetapan seseorang sebagai tersangka di KPK bukanlah dia seorang diri yang berwenang memutuskannya. Tetapi harus melalui tahapan yang sangat ketat sesuai SOP yang berlaku di KPK, dan keputusan akhirnya harus kolektif kolegial bersama para komisioner lainnya.
Ketidakpahaman Hasto terhadap mekanisme tersebut terungkap juga di sidang praperadilan Budi Gunawan, Selasa, 10 Februari 2015.
Ketika Catharina Muliana Girsang dari kuasa hukum KPK menanyakan kepada Hasto, apakah tahu bagaimana mekanisme penetapan seseorang sebagai tersangka di KPK, Hasto kelabakan menjawabnya, jawabannya asal bunyi dan berbelit-belit, sehingga membuat Hakim Sarpin Rizaldi memotong, dan menegurnya.
"Saudara saksi, Anda cukup menjawab tahu atau tidak," tegur Sarpin.
"Tidak (tahu) Yang Mulia," ujar Hasto.
Ketidakpahaman Hasto inilah yang diduga membuat dia mengarang cerita bahwa Abraham Samad menawarkan dirinya supaya KPK memperlakukan secara khusus kader PDI-P yang tersangkut kasus korupsi, seperti Emir Moeis, dengan imbalan PDI-P mau menjadikan dia sebagai calon wakil presiden.
Padahal itu tidak mungkin terjadi, sekalipun misalnya, Abraham ingin, karena semua proses penyelidikan sampai dengan penetapan seseorang sebagai tersangka bukan merupakan wewenang tunggal Ketua KPK, tetapi harus melibatkan banyak orang, mulai dari tim penyelidikan, tim penyidikan, sampai dengan tahapan penetapan seseorang sebagai tersangka, yang harus disetujui oleh semua anggota dan ketua tim, serta para komisioner. Apalagi kisah Hasto itu sampai pada ringannya hukuman penjara kepada Emir Moeis itu juga karena bantuan Abraham. Bagaimana bisa Abraham bisa begitu sakti, sampai bukan hanya seorang diri mampu mengendalikan KPK, tetapi juga mengendalikan hakim Pengadilan Tipikor?
Maka itu pendekatan persuasif Hato kepada KPK itu pun gagal untuk membuat KPK tidak melanjutkan penyelidikan kasus BLBI.
Emir Moeis sendiri mengaku, tidak pernah merasa menerima keringanan vonis dalam putusan hakim terkait kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. Emir menjelaskan bahwa ia dijadikan tersangka tanpa saksi ahli yang dihadirkan dalam pengadilan.
Terkait pernyataan Hasto tersebut, Emir mengatakan, ia sama sekali tidak merasa diuntungkan. Menurut Emir, bagaimanapun ia telah dirugikan dengan menjalani masa hukuman.
"Saya sudah dipenjara, saya sudah pasti rugi," ujar Emir, saat ditemui Kompas.com, seusai diperiksa oleh penyidik Bareskrim Polri, Rabu (11/2/2015).
Gagal melakukan pendekatan secara baik-baik dengan Abraham Samad sebagi Ketua KPK, cara keras pun dilaksanakan, apalagi dipicu dengan ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Hasto pun diduga secara diam-diam menyusun strategi bersama Hendropriyono, Budi Gunawan, dan sejumlah penyidik polisi dari Mabes Polri.
Menurut sebuah sumber yang didapat Tempo, saat Presiden Jokowi mengumumkan penundaan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Hasto terlihat bersama Budi di ruang kerja Budi Gunawan, bersama sejumlah penyidik polisi, sampai sore hari. Hasto membantah informasi tersebut, dengan mengatakan saat itu dia sedang berada di Blok M.
Dokumen BLBI di KPK pun Diincar
Kecurigaan bahwa serangan Hasto Kristiyanto yang diduga bekerja sama dengan kubu Budi Gunawan ada kaitannya dengan kasus BLBI itu kian menguat, ketika terungkap pula kehendak polisi untuk menyita dokumen dari KPK yang tak ada hubungannya dengan kasus yang sedang disidik polisi.
Pada 2 Februari 2015, Bareskrim Mabes Polri menugaskan Komisaris Besar Karyoto, yang pernah menjadi penyidik di KPK, untuk membawa surat panggilan kepada sejumlah pejabat struktural di direktorat pengaduan masyarakat, direktorat penyelidikan, serta direktorat penyidikan KPK. Selain itu, polisi juga meminta data tiga kasus besar yang ditangani KPK, harus diserahkan paling lambat tanggal Kamis, 5 Februari 2015.
Berkas yang diminta adalah perkara suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tarahan, Lampung, yang melibatkan politikus PDI-P, Emir Moeis. Kedua, berkas Muhtar Ependy, yang dituduh menjadi makelar suap mantan Ketua MK Akil Mochtar, dan yang ketiga, ini yang membuat kecurigaan itu semakin mengental: Mabes Polri juga meminta data penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sedang diselidik KPK!
Meskipun sudah memanggil saksi-saksi, kasus BLBI ini masih dalam tahapan penyelidikan oleh KPK, belum sampai pada taraf penyidikan. Mungkin karena itulah, sebelum terlambat, polisi pun meminta data-data kasus BLBI itu untuk diserahkan kepada mereka.
Apa yang bisa dijelaskan dari polisi meminta juga KPK untuk menyerahkan dokumen-dokumen BLBI, yang tak ada kaitannya dengan kasus yang sedang mereka usut itu? Apakah dimaksud untuk menghambat proses penyelidikan KPK demi kepentingan “partner”-nya di PDI-P? Jika dokumen itu sudah di tangan polisi, pasti akan sulit sekali untuk kembali ke KPK. Dengan demikian KPK pasti mengalami kesulitan melanjutkan penyelidikan kasus BLBI itu.
Pimpinan KPK menganggap janggal tindakan penyidik polisi dari Mabes Polri tersebut, termasuk pemanggilan terhadap struktural KPK itu, maka itu mereka mengambil-alih masalah tersebut, dan tidak menyerahkan dokumen apa pun kepada penyidik Polri itu.
Oleh karena itulah sehari setelah batas waktu penyerahan dokumen itu terlewatkan, pada Jumat, 6 Februari, sejumlah polisi terlihat berkumpul di dekat Gedung KPK. Diduga, dengan mengantongi surat izin penggeledahan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, polisi-polisi itu hendak melakukan penggeledahan dan penyitaan paksa dokumen-dokumen itu. Tetapi keburu dilarang oleh Presiden Jokowi yang saat itu berada di Malaysia. Jokowi memerintahkan agar baik polisi, maupun KPK tidak lagi melakukan dinamika-dinamika baru yang akan menambah runyam kasus ini.
Wakil Kapolri Badrodin Haiti membenarkan adanya pengajuan permohonan penyitaan dokumen milik KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia menyebutkan, permohonan itu ditujukan untuk melengkapi proses penyidikan yang dilakukan terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang menjadi tersangka kasus dugaan saksi palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Sedangkan tentang banyaknya polisi yang berkumpul di Gedung KPK itu menurut Badrodin bukan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan dokumen secara paksa, tetapi untuk mengantisipasi unjuk rasa yang akan digelar pada hari itu. Unjuk rasa itu kemudian terbukti tak pernah ada.
Tindakan menghambat penyidikan kasus Budi Gunawan juga dilakukan sejumlah penyidik Kepolisian dari Mabes Polri. Menurut Tempo, minggu lalu (awal Februari juga) para penyidik Kepolisian mendatangi kantor pusat BCA di Jakarta Pusat. Mereka memaksa manajemen bank itu memberikan informasi tentang data apa saja yang telah diambil penyidik KPK berhubungan dengan transaksi di rekening Budi Gunawan.
Penyidik KPK yang mendengar hal ini, segera datang ke kantor pusat BCA itu untuk mengonfirmasikan kedatangan sejumlah penyidik polisi itu. Mereka juga minta diperlihatkan rekaman CCTV untuk membuktikan kebenaran kedatangan para penyidik polisi itu, tetapi menurut petugas BCA, data rekaman tersebut sudah dibawa para penyidik polisi itu. Penghilangan jejak?
Fakta-fakta yang diuraikan dari artikel bagian pertama sampai dengan bagian ketiga ini memperlihatkan adanya semacam bagian-bagian dari puzzle yang mulai menyatu membentuk suatu gambar yang kian jelas, apa sebenarnya yang terjadi di balik kekisruhan hebat KPK vs Polri, dan PDI-P vs KPK.
Tidak semua polisi termasuk para perwiranya setuju atau mendukung Budi Gunawan, tetapi mereka yang mendukung dan melindunginya diperkirakan selain karena ada rasa kesetiaan kepada sesama polisi, juga demi mengamankan dirinya sendiri. Sebab bisa jadi setelah Budi Gunawan, giliran berikutnya jatuh kepada mereka. Karena, bukankah bukan hanya Budi Gunawan yang punya rekening gendut yang mencurigakan?
Sejatinya, memang perseteruan ini bukan terjadi antara lembaga, tetapi karena terjadi di antara para petinggi masing-masing, sulit untuk menghindari dampaknya adalah nama institusi pun terbawa-bawa, dan risiko menanggung akibatnya. Khususnya KPK yang bakal hancur jika semua pemimpinnya ditetapkan sebagai tersangka.
Teori Konspirasi
Para pimpinan KPK, yang terdiri dari Ketua KPK Abraham Samad, dengan tiga orang Wakil Ketuanya, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain sudah bertekad bulat untuk menjadikan kasus BLBI sebagai salah satu kasus prioritas mereka. Pemanggilan saksi-saksi pun sudah dimulai. Cepat atau lambat progres pengusutan kasus tersebut akan sampai juga ke Megawati, entah sebagai saksi atau tersangka. Sebab saat itu dialah yang menerbitkan SKL BLBI.
Hasto telah diutus Megawati/PDI-P untuk meminta “secara baik-baik” kepada Abraham Samad untuk tidak melanjutkan pengusutan kasus tersebut, tetapi tidak berhasil. KPK akan tetap maju terus dengan kasus BLBI tersebut. Ingat pernyataan Abraham Samad itu: “Tidak ada kendala, dan KPK tidak takut untuk memanggil Ibu Mega!”
Segera dicarilah cara lain yang terbaik, efektif dan efesien untuk bisa menghentikan para pimpinan KPK itu. Cara apapaun, halal, maupun haram.
Cara terbaik itu adalah harus bisa bekerja sama dengan sejumlah perwira polisi untuk melawan para pimpinan KPK itu. Untuk itu diperlukan seorang Kapolri yang sangat bisa diandalkan, maka pilihannya jatuh kepada Budi Gunawan, mantan ajudan Megawati ketika dia Presiden (2001-2004).
Rencananya, setelah Polri dipimpin Budi Gunawan, polisi akan mulai mengusut kasus satu persatu para pimpinan KPK itu, tentu saja dengan melibatkan masyarakat sebagai pihak pelapornya. Dengan landasan ini, maka polisi akan menetapkan satu per satu pimpinan KPK itu, mulai dari Abraham Samad sampai dengan Zulkarnain sebagai tersangka. Konsekuensi dari status tersangka itu, menurut Undang-Undang KPK, para pimpinan KPK itu harus diberhentikan sementara oleh Presiden.
Selanjutkan para komisoner KPK itu akan diproses hukum, entah disertai dengan penahanan ataukah tidak. Jika ini sudah terjadi, maka dipercepatlah pemilihan lima komisioner KPK yang baru, menggantikan Abraham Samad cs. Para komisioner KPK yang baru ini akan diupayakan terdiri dari pemimpin yang lebih jinak, dan yang terpenting prioritas pengusutan kasusnya akan berbeda jauh dengan Abraham Samad cs, kasus BLBI dikeluarkan dari skala prioritas, demikian juga dengan kasus rekening gendut Budi Gunawan, dan perwira polisi lainnya. Para pimpinan KPK yang baru itu “diarahkan” untuk lebih fokus pada kasus-kasus korupsi yang baru.
Sejak semula, para pemimpin/komisioner KPK sudah diskenariokan untuk “dihabisi” dengan cara seperti ini. Yaitu, sejak mereka mulai mengusut kasus BLBI.
Jadi, dari pertanyaan: Jika Budi Gunawan tidak tersangka, apakah KPK juga “tidak dihabisi”? Jawabannya adalah: Tidak! Meskipun, seandainya Budi Gunawan tidak dijadikan tersangka oleh KPK, para pemimpin KPK itu tetap saja akan “dihabisi” dengan cara seperti sekarang, untuk menghentikan proses penyelidikan mereka terhadap kasus BLBI.
Tetapi karena Budi Gunawan sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka polisi pun membuka front untuk kali ini benar-benar “menghabisi” para pemimpin KPK itu bekerjasama dengan PDI-P, karena keduanya mempunyai kepentingan yang sama.
Karena Abraham Samad dan para wakil ketuanya itu tidak bisa dibujuk untuk menghentikan penyelidikan/penyidikan kasus BLBI dan rekening gendut perwira polisi, maka skenario untuk mengkriminalkan semua pimpinan KPK itu tetap akan dilakukan.
Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK jelas sangat mengejutkan mereka. Budi Gunawan menjadi terhambat untuk dilantik menjadi Kapolri. Jokowi yang didesak terus untuk tetap melantik Budi, justru mengambil keputusan lain dengan menunda pelantikan tersebut.
Namun demikian skenario itu tetap bisa dijalankan, dengan cara mendesak Jokowi untuk mempercepat masa pensiun Jenderal Sutarman sebagai Kapolri, karena dia tidak sejalan dengan kubu Budi Gunawan dan PDI-P. Sutarman bahkan langsung memberi dukungan kepada KPK begitu Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka. Pemberhentian secara hormat Sutarman yang seharusnya baru berakhir masa jabatannya pada Oktober 2015 itu pun dilakukan Presiden Jokowi secara mendadak pada 16 Januari 2015
Pada hari yang sama, Komisaris Jenderal Suhardi Alius diberhentikan sebagai Kabareskrim Mabes Polri, dia dimutasikan ke Lembaga Pertahanan Negara (Lemhanas), posisinya digantikan dengan Inspektur Jenderal Budi Waseso.
Semua itu merupakan bagian dari skenario besar tersebut di atas.
Sutarman dipensiundinikan karena bisa menjadi penghambat jalannya skenario tersebut. Suhardi Alius sebagai Kabareskrim perlu diganti, karena Suhardi tidak bisa diajak kerja sama menjalankan skenario itu. Ia bahkan disindir oleh Budi Waseso sebagai pengkhianat di dalam tubuh Polri karena ditengarai sebagai pemasok data Budi Gunawan kepada KPK.
Sedangkan Budi Waseso adalah pilihan yang tepat karena dia memang orangnya Budi Gunawan. Oleh karena itulah, sudah ada plan B, bahwa jika sampai Budi Gunawan sudah dipastikan batal menjadi Kapolri, maka Budi Waseso-lah yang akan menjadi penggantinya, ia pun segera dinaikkan pangkatnya menjadi Bintang Tiga (Komisaris Jenderal) agar memenuhi syarat pencalonan Kapolri. “Tiada rotan, akar pun jadi”, tak jadi Budi Gunawan, Budi Waseso pun jadi.
Pada 19 Januari 2015, Budi Waseso pun dilantik menjadi Kabareskrim Mabes Polri mengganti Suhardi Alius. Setelah itu, pada hari yang sama, Mabes Polri mengklaim menerima pengaduan atas Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, yang dituduh menyuruh saksi-saksi memberi keterangan palsu pada sidang sengketa hasil pemilihan Bupati Kotawaringin, di Mahkamah Konstiutisi, Juni 2010.
Tiga hari kemudian, 22 Januari, Mabes Polri menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka, dan ditangkap pada 23 Januari, dibawa ke Mabes Polri diperiksa penyidik sampai lewat tengah malam.
Pada 22 Januari itu juga Ketua KPK Abraham Samad diadukan ke Bareskrim Polri dengan tuduhan menyalahgunakan kewenangan sebagai pemimpin KPK dengan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Langsung diikuti dengan konferensi pers yang dilakukan oleh Hasto Kritiyanto, yang membeberkan kisah versinya bahwa Abraham Samad telah melakukan beberapa kali pertemuan politik rahasia dengan dirinya dan beberapa petinggi PDI-P untuk melakukan tawar-menawar politik dengan hukum, dengan imbalan dia dijadikan calon wakil presiden mendampingi Jokowi, dan seterusnya kisah serangan-serangan selanjutnya kepada pimpinan KPK yang lain, seperti yang kita saksikan sekarang sampai sekarang.
Kondisi menjadi semakin memburuk, ketika Rabu, 11 Februari, dikabarkan ada serangkaian ancaman teror dan pembunuhan terhadap penyidik KPK, dan keluarganya. Dalam konferensi persnya, Rabu malam itu, Bambang Widjojanto menyebutkan, ancaman kali ini sudah dalam tahap yang sangat serius.
"Menurut kami, ancaman sudah sangat eskalatif. Ini bisa menyangkut nyawa," kata Bambang dalam konferensi pers yang disiarkan langsung oleh beberapa televisi itu.
Apakah ancaman itu berkaitan dengan kasus Budi Gunawan, ataukah ancaman itu datang dari kubu Budi Gunawan, hal tersebut tidak dijelaskan. Namun, demikian kita bisa menduga sendiri siapakah di balik ancaman-ancaman ini, yang membuat situasi sekarang menjadi semakin menakutkan. Sampai kapan Presiden Jokowi berhenti dengan sikap peragunya? Apakah menunggu sampai benar-benar ada jatuh korban jiwa? ***
Artikel terkait:
Baca Bagian Pertama, dan Bagian Kedua artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H