Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Grasi kepada Corby, Kemenkumham Rela Menjilat Kembali Ludahnya Sendiri

23 Mei 2012   18:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:54 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13377965161429857873

[caption id="attachment_178603" align="aligncenter" width="538" caption="Schapelle Leigh Corby (Sumber: Metrotvnews.com)"][/caption]

Ketika dengan pesawat udara, kita dari luar negeri mau masuk ke Indonesia, selalu ada peringatan dari pramugari bahwa Indonesia adalah negara yang melarang keras, dan akan menjatuhkan hukuman yang sangat berat terhadap segala macam bentuk perdagangan dan penggunaan narkoba. Namun mulai sekarang, rupanya pengumuman pramugari di atas pesawat itu harus direvisi, dengan memberi keterangan kecuali narkoba jenis ganja. Karena rupanya sekarang, membawa ganja bukan lagi termasuk bentuk pelanggaran hukum yang berat. Jadi, silakan, Anda, terutama orang asing dari Australia, silakan membawa ganja masuk ke Indonesia. Memang itu tetap merupakan bentuk pelanggaran hukum di Indonesia, tetapi hukumannya ringan. Dasar hukumnya apa? Bukankah selama ini hukum Indonesia tidak pernah membeda-bedakan jenis narkoba dengan berat-ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pelakunya yang memperdagangkan, membawa, menyimpan, dan mengkonsumsikannya? Silakan Anda tanyakan kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Karena dia yang bilang bahwa membawa, memperdagangkan dan mengkonsumsi ganja di Indonesia bukan merupakan bentuk pelanggaran hukum yang berat. Di undang-undang mana yang menyebutkan demikian? Sekali lagi, silakan Anda tanyakan kepada Amir Syamsuddin, karena dia yang bilang begitu. Pernyataan ini diutarakan Amir Syamsuddin, berhubungan dengan timbulnya kontroversial atas pemberian grasi (dalam bentuk pengurangan hukuman penjara selama 5 tahun) oleh Presiden SBY kepada Schapelle Leigh Corby, perempuan warganegara Australia, yang telah dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun karena kedapatan membawa ganja seberat 4,2 kg di Bali pada tahun 2004. Pada 27 Mei 2005 Corby divonis Hakim PN Denpasar Bali waktu itu, Asep Wirawan, penjara 20 tahun plus denda Rp 100 juta. Pada 12 Oktober 2005 lewat pengadilan banding, hukuman Corby dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Namun pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi Mahkamah Agung hukuman Gorby dikembalikan menjadi 20 tahun penjara dengan alasan bahwa narkoba yang diselundupkan oleh Corby itu termasuk kualitas nomor 1, atau tergolong berbahaya. Pertimbangan Mahkamah Agung ini kini ditentang oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin lewat pernyataan tersebut di atas. "Banyak perkembangan di dunia yang melatarbelakangi keputusan itu (pemberian grasi). Di berbagai negara di dunia, tidak menerapkan hukuman yang keras untuk produk narkoba jenis ganja," kata sang Menteri usai acara Rakornas Kementerian Hukum dan HAM di Depok, Jawa Barat, Rabu 23 Mei 2012 (Republika.co.id, 23/05/2012).. Bahkan, menurut Amir, beberapa negara di dunia tidak menganggap membawa atau mengkonsumsi ganja sebagai bagian dari tindak pidana. Padahal yang dia bicarakan itu adalah hukum di Indonesia, bukan di negara lain. Namun, anehnya, dia melanjutkan dengan kalimat bahwa peraturan di berbagai negara itu tidak mempengaruhi kedaulatan hukum negara Indonesia. Kalau memang tidak terpengaruh, untuk apa Anda ngomong seperti itu, dan kenapa dasar pertimbangannya kok bisa sinkron dengan keadaan beberapa negara di dunia yang Anda sebutkan tadi itu? Jadi, Menteri HUKUM kok bicaranya tidak konsisten. Ketidakkonsisten Kementerian Hukum dan HAM itu terhadap grasi yang diberikan oleh Presiden SBY kepada narapidana narkoba warga negara Australia itu, semakin kentara dan kontradiksi dengan kebijakan yang pernah mereka adakan sendiri, yakni pengetatan remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat terhadap narapidana koruptor, narkoba, dan terorisme. Yang juga sempat membuat Kementerian ini, yang diwakili oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana bersitegang dengan Yusril Ihza Mahendra soal pengetatan remisi bagi narapidana koruptor. Pemberian grasi kepada narapidana narkoba Schapelle Corby oleh Presiden SBY selain baru pertamakali terjadi dalam sejarah hukum Indonesia, juga jelas-jelas bertentangan dengan kebijakan pengetatan remisi, asimilasi, dan bebas bersyarat yang diadakan oleh Kementerian Hukum dan HAM ini. Seharusnya, mereka sangat tersinggung dan marah dengan apa yang dilakukan atasannya itu. Bilamana perlu, minta mundur dari jabatannya sekarang. Betapa tidak, "hanya" gara-gara remisi terpidana koruptor saja, mereka menyatakan "perang" dengan Yusril (sayangnya, kalah). Sedangkan, yang dilakukan oleh Presiden SBY jauh lebih parah lagi; memberi grasi sebanyak 5 (lima) tahun kepada seorang narapidana narkoba. Warganegara asing lagi. Tersinggungkah, marahkah Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, dan Wakilnya Denny Indrayana? Ternyata, sama sekali tidak. Malah mereka sepertinya rela menjilat kembali ludahnya sendiri, untuk berbalik membela atasannya itu dengan memberi argumen-argumen yang lemah dan terlalu dibikin-dibikin, seperti yang diutarakan Amir Syamsuddin itu. Jadi, tantangan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo kepada Denny Indrayana untuk mengecam kebijakan Presiden SBY itu, rupanya tak bakal dilayani oleh Denny. Tepatnya, tidak akan berani dilayani Denny. Sebaliknya, seperti yang disampaikan di Metro TV Rabu sore, 23 Mei 2012, Denny juga ikut-ikutan membela SBY. Argumen-argumennya pun sama lemahnya dengan apa yang disampaikan oleh Amir Syamsuddin dalam rangka membela kebijakan kontroversial SBY itu. Denny malah seolah-olah hendak mengkambinghitamkan Mahkamah Agung yang telah memberi pertimbangan kepada Presiden dalam rangka pemberian grasi tersebut. Denny mengatakan, " Sebenarnya, Presiden hanya meneruskan pertimbangan Mahkamah Agung. Sebab pemberian grasi itu atas pertimbangan Mahkamah Agung." (Mediaindonesia.com, 23/05/2012). Padahal, pertimbangan itu diberikan atas permintaan Presiden SBY, dan apapun pertimbangan yang telah diberikan Mahkamah Agung keputusan akhirnya tetap ada di tangan Presiden. Denny juga mengatakan, "Jangan karena satu kasus kami dianggap main-main dalam memberantas narkoba!" Padahal sebagai seorang Professor Hukum seharusnya Denny lebih dari tahu bahwa akibat dari pemberian grasi kepada terpidana narkoba itu akan berpotensi menjadi preseden hukum di kemudian hari. Terpidana lain akan meminta "hak" dan "perlakuan yang sama" dengan apa yang telah dilakukan oleh Presiden SBY kepada Corby. Kalau Corby boleh, kenapa yang lain tidak boleh. Apalagi kalau itu diprotes oleh terpidana narkoba WNI. Masakan orang asing boleh, warganegara sendiri, malah tidak dikasih. Argumen Denny di Metro TV itu antara lain dengan membandingkan bahwa pemerintah Australia pernah membebaskan 301 ABK (yang masuk wilayahperairan Australia secara ilegal), dan bahwa pemerintah Australia juga pernah membantu Indonesia untuk memulangkan buronan koruptor dan aset-asetnya ke Indonesia. Meskipun begitu, kata Denny, ini hanya sebagai gambaran saja, bukan suatu sebab-akibat yang membuat SBY memberi grasi kepada Corby. Argumen ini membuat Ketua Umum DPP Gerakan Anti Narkoba (Granat) Hendry Yosodingrat bingung. Di sisi yang satu, Denny bilang tidak ada kaitannya, tetapi di sini lainnya lagi dia membandingkan sikap pemerintah Australia yang telah membantu pemerintah Indonesia itu dengan pemberian grasi itu. Lagipula kasus pembebasan 301 ABK Indonesia tersebut sebenarnya sama sekali bukan karena terkait kasus hukum berat, seperti membawa narkoba, tetapi karena mereka yang sebetulnya nelayan itu mencari ikan sampai melewati batas perairan Indonesia. Masuk ke wilayah perairan Australia. Mereka ditangkap, ditahan selama beberapa hari. Akhirnya, dibebaskan karena pertimbangan pelanggaran hukum yang dilakukan tidak berat, dan kalau harus diproses dan dipenjara, pemerintah Australia malah akan terbebani dengan penempatan di penjara, dan biaya makan 301 ABK itu. Kapal-kapal nelayan mereka dibakar (dimusnahkan), dan dideportasi kembali ke Indonesia. Sedangkan, terhadap pemulangan buron koruptor berserta aset-asetnya itu tidak bisa dibandingkan dengan pemberian grasi terhadap terpidana narkoba Corby itu. Buronan koruptor itu dipulangkan ke Indonesia untuk diproses hukum di Indonesia. Sedangkan Corby justru diberi grasi sehingga bisa bebas lebih cepat, dan pulang ke Australia. Pada waktu itu nanti (kepulangannya), dia akan disambut bak pahlawan oleh warga Australia, terutama oleh keluarganya. Dan, mungkin SBY akan diberi penghargaan oleh pemerintah Australia oleh karena jasa-jasanya itu. Belum apa-apa saja, SBY sudah dipuja-puji oleh Menteri Luar Negeri Asutralia Bob Carr. Kata Carr: "Dia (SBY) adalah orang besar. Dia sungguh sahabat baik bagi Australia!" SBY tentu sangat senang disanjung seperti itu. Satu pertanyaan yang saya lontarkan di Twitter kepada @dennyindrayana, tetapi tidak dijawab, adalah untuk apa Anda giat dan begitu bersemangat melakukan sidak di lapas-lapas narkoba selama ini. Bahkan, baru-baru ini sampai timbul insiden pemukulan terhadap petugas lapas, kalau toh, pada akhirnya Anda malah pro, mendukung pemberian grasi kepada seorang terpidana narkoba? Warganegara asing lagi! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun