[caption id="attachment_209057" align="aligncenter" width="394" caption="Ilustrasi (Sumber: http://moviescreenshots.blogspot.com/2010/12/godfather-1972.html)"][/caption]
Hubungan Istana dengan Mahfud MD memanas. Gara-garanya, Ketua MK itu menuding bahwa mafia narkoba telah menyusup ke Istana, mempengaruhi sampai Presiden SBY memberi grasi kepada Meirika Franola alias Ola (42) terpidana mati kasus narkoba. Dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Ternyata, Ola adalah seorang gembong narkoba kelas kakap. Bukan sekadar kurir, yang menjadi salah satu dasar pertimbangan utama Presiden SBY menyetujui grasi yang dimohonkan oleh pihak Ola itu.
Kepastian tersebut diperoleh setelah Ola kembali diduga terlibat dalam penyelundupan narkoba. Ola diduga menjadi otak penyelundupan sabu seberat 775 gram dari India melalui Bandara Huseinsastranegara, Bandung, berdasarkan temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 4 Oktober 2012..
Apakah hanya berdasarkan temuan itukah, maka Ola diduga sebagai salah satu otak atau gembong narkoba di Indonesia? Tidak, tidak hanya itu. Ada fakta yang jauh lebih besar dan kuat daripada kasus baru tersebut. Fakta yang sejak awal seharusnya sudah diketahui, membuat keputusan pemberian grasi oleh Presiden SBY itu memang sangat janggal.
Fakta itu akan saya sebutkan di bagian bawah artikel ini..
Kenapa Mahfud MD Bicara Langsung ke Media?
Faktor itulah juga yang antara lain membuat Mahfud MD yakin dengan kebenaran tuduhannya tersebut. Tentu saja, sosok sekaliber Mahfud MD itu tidak akan bicara sembarangan, kalau tidak didukung oleh bukti-bukti atau fakta-fakta yang kuat seperti itu.
Tapi, kenapa Mahfud MD bicaranya langsung ke media, tidak diam-diam memberitahu informasi tersebut ke pihak Istana, atau langsung ke SBY? Seperi yang dikatakan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi yang sangat gusar dengan tuduhan Mahfud MD tersebut?
"Seorang ahli hukum, profesor, masalah dugaan itu diumbar ke pers. Kalau ada beritahulah baik-baik. Kalau ada (terlibat mafia) siapa kira-kira, kita tindak. Saya pun kalau salah siap diambil tindakan kok," kata Sudi (Kompas.com).
Saya menduga, itu karena Mahfud mempertimbangkan bicara ke media jauh lebih efektif daripada diam-diam lapor ke Istana. Apalagi ‘kan katanya, di Istana itu telah disusupi mafia narkoba, siapa saja mereka? Belum tahu. Kalau Mahfud bicara langsung ke Istana bisa-bisa malah lapornya ke mafia itu sendiri? Bicara langsung ke SBY? Selain harus melalui tahapan birokrasi yang relatif lama, kecil kemungkinan SBY akan percaya, atau meresponnya dengan cara yang seperti yang diharapkan. Misalnya, segera melakukan memerintahkan penyelidikan internal tentang kebenaran laporan tersebut.
Lihat saja, meskipun Mahfud sudah menyampaikan secara sedemikian terbuka tentang kemungkinan telah menyusupnya mafia narkoba sampai ke Istana, apa reaksi Presiden SBY? Lamban plus bergaya melankolis. Masih sempat-sempatnya melakukan pencitraan diri lagi. Kata SBY dengan “gagahnya,” bahwa meskipun ternyata pemberian grasinya keliru, dia tidak akan menyalahkan siapa-siapa. “Saya tidak akan menyalahkan Mahkmah Agung, tidak akan menyalahkan menteri, tetapi karena sayalah yang memberi grasi itu. Maka kesalahan itu, sepenunya sayalah yang bertanggung jawab,” katanya seperti pimpinan yang bijak.
Pimpinan yang bijaksana? Justru sebaliknya. SBY bilang, tidak akan menyalahkan siapapun yang telah memberi pertimbangan kepadanya sampai dia mengabulkan permohonan grasi oleh Ola tersebut. Biarlah dia yang mengambil-alih semua tanggung jawab itu. Padahal jelas-jelas siapapun yang memberi pertimbangan tersebut telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Apakah dia atau mereka yang telah melakukan kesalahan yang sangat fatal itu tidak diberi sanksi apapun oleh Presiden? Lalu, apa bentuk kongkrit dari pernyataan bahwa dialah yang bertanggung jawab penuh atas pemberian grasi yang salah orang itu?
Kenapa SBY malah “mengambil-alih tanggung jawab” tersebut? Bukankah malah ini bisa ditafsirkan bahwa SBY melindungi pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab itu? Kalau mereka itu, ternyata bagian dari mafia narkoba, berarti SBY justru melindungi mafia narkoba yang telah menyusup ke Istana?
Perkembangan terakhir (Senin, 12/11/2012), pihak Istana melalui Sudi Silalahi malah mengatakan bahwa Presiden SBY tidak akan melakukan penyelidikan internal terkait pemberian grasi untuk terpidana kasus narkoba Meirika Dranola alias Ola itu. Pihak Istana, katanya, beranggapan bahwa grasi itu tidak bermasalah secara hukum, baik dari usulan hinggapengambilankeputusannya (Kompas.com).
Di Balik Grasi Itu Memang Penuh Janggal
Sikap ini tentu saja sangat berbahaya bagi keamanan negara, seandai saja apa yang dikatakan oleh Mahfud itu benar, tetapi Presiden bukannya mengambil langkah-langkah segera dan tegas untuk melakukan investigasi internal secara intensif, tetapi malah sepertinya mengendapkannya, Indonesia yang sudah lemah karena terlalu banyak koruptornya itu berpotensi untuk menjadi seperti Kolumbia atau Mexico. Dua negara yang sudah di bawah cekraman mafia-mafia besar narkotik. Hakim, polisi, tentara yang berani melawan, mereka bunuh tanpa ragu. Presidennya pun tak berdaya menghadapi mereka. Entah sudah berapa banyak hakim, polisi, dan tentara mati di tangan mereka. Belum lagi begitu sering terjadinya perang terbuka antarmafia narkotik di kedua negara tersebut.
Bisa-bisa kalau Indonesia sudah menjadi seperti itu, Mahfud MD akan menjadi sasaran pertama dan utama mereka!
Reaktifnya pihak Istana atas pernyataan Mahfud MD itu, tetapi tidak ditindaklanjuti dengan upaya-upaya untuk memperjelas masalah di balik pemberian grasi tersebut justru semakin membuat orang curiga bahwa apa yang dikatakan Mahfud itu adalah benar.
Memang benar, di balik keputusan pemberian grasi oleh Presiden SBY itu banyak keganjilannya. Bukan soal obral grasi atau tidak, seperti yang kerap dilontarkan oleh Wamenhukham Denny Indrayana ketika membela atasannya itu.
Setiapkali diminta penjelasannya tentang grasi untuk terpidana narkoba, termasuk pada kasus Ola ini, Denny selalu saja melontarkan pernyataan favoritnya itu. Bahwa tidak benar, SBY obral grasi. SBY sangat selektif dan ketat soal itu. Buktinya 85 persen permohonan grasi ditolak Presiden. Kalau benar-benar selektif dan ketat kok bisa SBY memberi grasi yang salah kepada Ola?
Padahal yang dipersoalkan itu adalah pemberian grasi itu diberikan kepada orang-orang yang sangat tidak pantas menerimanya. Jadi, meskipun hanya satu atau dua orang yang diberikan grasi, padahal mereka sangat tidak pantas menerimanya, seperti Ola ini, maka SBY patut dikecam dan dikoreksi. Mana konsistensi pernyataan SBY sendiri bahwa dia akan berdiri paling depan dalam perang melawan narkoba? Bahwa narkoba adalah kejahatan yang harus diberantas tanpa toleransi karena merusak generasi muda bangsa?
Alasan kemanusiaan apa yang dijadikan landasan keputusan itu? Apakah demi alasan kemanusiaan kepada Ola, lalu SBY mengabaikan alasan kemanusaian yang menyangkut jutaan generasi muda bangsa yang akan dirusak oleh narkoba-narkoba itu?
Yang paling lucu dari pernyataan Denny Indrayana adalah malah menyalahkan Ola. “Ini grasi dibalas air tuba. Yang salah bukan yang memberi grasi, tapi yang membalas dengan air tuba,” katanya.
Pernyataan ini membuat Denny kelihatan menjadi orang yang lugu. Ya, jelas, dong, namanya saja penjahat kakap. Mana ada urusan dia dengan “air susu dibalas air tuba,” atau apa pun perumpamaannya. Apapun akan dia lakukan, bilaperlu membunuh SBY dan Denny Indrayana.
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dan Wakilnya Denny Indrayana, dan Jaksa Agung Basrief Arief berkali-kali mengatakan bahwa pemberian grasi oleh SBY kepada Ola itu tidak salah. Mereka siap bertanggung jawab sebagai pihak-pihak yang telah memberi pertimbangan tersebut. Katanya, pertimbangan tersebut telah dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat. Dengan kata lain, mereka mau bilang bahwa mereka itu kecolongan. Sudah cermat ternyata Ola lebih lihai daripada yang kelihatannya. Kelihatannya sebagai kurir saja, eh, tidak tahunya otak atau gembong narkotika.
Benarkah demikian?
Kita tidak tahu apa saja poin-poin pertimbangan yang telah diberikan kepada Presiden SBY, sehingga SBY mengabulkan permohonan grasi Ola tersebut, tetapi yang pasti adalah terdapat fakta-fakta yang tak terbantahkan yang membuat kita sangat heran, kalau fakta-fakta tersebut tidak masuk atau dimasukkan di dalam pertimbangan tersebut.
Jelas-jelas, mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai Mahkamah Agung telah mengvonis/menetapkan Ola dengan hukuman mati, dasar pertimbangannya adalah karena pelaku adalah seorang gembong narkoba. Bukan sekadar kurir. Bahkan pada saat SBY menerima permohonan grasi dari pihak Ola, Mahkamah Agung sudah “mengingatkan” SBY dalam pertimbangannya bahwa tidak ada alasan apapun untuk mengabulkan permohonan grasi tersebut, karena Ola bukan sekadar seorang kurir. Tetapi adalah bagian dari jaringan utama narkoba di Indonesia. Kenapa pertimbangan Mahlamah Agung ini diabaikan?
Inilah Fakta Utama yang Paling Dramatisir bahwa Sejak Awal Ola Memang Gembong Narkotika (Ada “Godfather” Mengontrol Istana?)
Yang teramat sangat penting adalah kita harus melihat kembali bagaimana proses penangkapan terhadap Ola, 12 tahun yang lalu. Tepatnya, pada Rabu, 12 Januari 2000 di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pada saat Ola ditangkap, benarkah posisi dia adalah kurir? Ternyata, tidak. Pada waktu ditangkap posisi Ola adala koordinator yang memberangkatkan beberapa kurirnya dari Indonesia ke London, Inggris (dengan pesawat Cathay Pacific).
Di dalam pengembangan kasus kemudian, Ola sendiri mengaku, dan memang benar demikian, dia adalah istri gembong sindikat narkoba. Mouza Sulaiman Domala, warga negara Pantai Gading. Dalam pemeriksaan intensif oleh polisi, Ola kemudian membongkar sendri jaringan mafia narkoba orang-orang dari Afrika yang dipimpin oleh suaminya itu.
Berdasarkan informasi sangat penting dari Ola itu, sehari kemudian (13/01/2000) polisi melakukan penggebrakan di rumah yang sekaligus menjadi markas gembong mafia narkoba asal Afrika yang dipimpin oleh suaminya itu. Dalam penggebrakan itu terjadi aksi baku-tembak polisi dengan Mouza Sulaiman dan empat orang temannya. Kelima orang asal Afrika itu tewas tertembak. Di rumah itu polisi menemukan kokain seberat 1 kg.
Kisah penangkapan Ola, dan tewasnya Mouza, suaminya pernah diberitakan di media massa pada waktu itu. Salah satunya adalah Harian Republika,, yang dapat kita baca kembali arsipnya di bawah ini.
Setelah selesai kita membaca arsip berita ini, kelihatanlah bahwa memang sejak awal Ola sudah diketahui sebagai gembok narkoba. Di dalam pengakuannya kepada polisi pun, dia terus terang bilang bahwa dia ikut membantu suaminya mengkoordinasi jaringan narkoba di Indonesia.
Tidak diragukan lagi; sejak awal Ola memang adalah gembok narkoba!
Misterius! Kenapa, sampai di dalam pertimbangan pemberian grasi kepada SBY itu, Ola bisa berubah menjadi hanya kurir? Siapakah yang mengubah fakta-fakta tersebut? Kalau bukan jaringan mafia narkoba, seperti yang dikatakan Mahfud, lalu siapa? Kenapa bisa begitu?
Berikut adalah kisah penangkapan Ola, pada 12 Januari 2000 lalu. Sebuah kisah yang sangat mirip dengan adegan film-film aksi Hollywood. Silakan disimak (sumber Republika.co.id).
Petugas polisi berlari-lari masuk ke Terminal Keberangkatan Luar Negeri Bandara Soekarno-Hatta. Mereka berpacu dengan waktu. Telat sedikit, pesawat yang membawa dua anggota sindikat narkoba internasional bakal terbang. Ini buruan kelas kakap. Di areacheck inpenumpang, polisi beruntung menemukan Rina Andriani. Polisi tanpa basa basi menangkapnya. Sementara rekan Rina, Deni Setia Maharwan sudah telanjur masuk ke perut pesawat Cathay Pacific tujuan London, Inggris. Tim lainnya bergerak cepat mengejar Deni. Mereka merangsek masuk ke kabin Cathay yang sudah penuh penumpang. Polisi meminta pesawat jangan lepas landas dulu. Polisi akhirnya menemukan Deni di tengah penumpang Cathay yang sudah duduk. Deni ditangkap berikut paket pakaian anak-anak yang ia jadikan pembungkus heroin dan kokain. Tahu berapa paketnya ketika itu? 1,6 kilogram (kg) heroin dan 15 kg kokain senilai total Rp 13,7 miliar! Pengejaran belum selesai. Masih ada anggota sindikat yang lain berkeliaran di bandara. Di lobby bandara, polisi memborgol Meirika Franola (Ola) yang mengantar kepergian Rani dan Deni. Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya ketika itu, Kolonel Polisi Alex Bambang Riatmodjo, menangkap Ola. Anehnya, Ola mengatakan ia sudah bermimpi akan bertemu Alex. "Saya sering melihat bapak di TV.Feelingsaya selalu mengatakan suatu saat saya akan berdampingan dengan bapak. Dan ternyata benar," kata Ola saat ditangkap. Dalam wawancara denganRepublikaketika itu, Alex menegaskan bahwa Rani, Deni, dan Ola adalah bagian kecil dari sindikat yang lebih besar. Rani dan Deni sebagia kurir. Sedangkan Ola adalah istri gembong sindikat narkoba itu, Mouza Sulaiman Domala, warga negara Pantai Gading. Dalam pemeriksaan, Ola membongkar jaringan sindikat yang dipimpin suaminya itu. Ola, perempuan asal Ciamis, sudah menikah satu setengah tahun dengan Mouza. Mereka memiliki dua anak. Sindikat ini mendapat pasokan narkoba dari warga Peru bernama Jemmy alias Tomy. Rencananya, kokain dan heroin itu mereka bakal antar ke London. Ola membayar Deni dan Rani sebesar 3.000 dolar AS untuk membawa paket ke London. Dalam pemeriksaan, Ola bernyanyi tentang persembunyian sindikat narkobanya. Alamat rumah mereka ada di Jalan Pangeran Antasari No 74, Cipete, Jakarta Selatan. Sindikat rupanya sudah setahun tinggal di sana. Polisi menggerebek rumah itu sehari setelah menangkap Ola. Di dalam rumah ada Mouza Sulaiman dan keempat temannya. Baku tembak tidak terhindarkan. Kelima warga Afrika itu pun tewas. Dari rumah itu polisi menyita kokain seberat 1 kg. Lalu, apa peran Ola? Alex mengungkapkan, di dalam pemeriksaan Ola secara tegas mengakui ikut mengorganisasi perdagangan narkoba yang dipimpin suaminya. Bahkan, Ola mengakui, Mouza adalah satu pucuk pimpinan yang mengelola perdagangan narkoba di kalangan warga Afrika di Indonesia. Dari dua penggerebekan itu, akhir bulan Januari 2000, polisi kembali melabrak satu markas sindikat narkoba Afrika. Kali ini di Jalan Garuda No 62, Kemayoran, Jakarta Pusat. Lagi-lagi polisi baku tembak dengan lima bandar heroin Afrika. Kelimanya berhasil dilumpuhkan. Dari rumah itu, polisi menemukan 3,469 heroin di dalam sofa, pistol FN, celurit, dan uang tunai serta perhiasan emas. *
Sangat aneh, kalau para pemberi pertimbangan itu tidak tahu tentang fakta ini. Kecuali, mereka memang sebenarnya tidak layak menjabat di posisinya masing-masing karena memang kemampuannya di bawah standar. Lebih aneh lagi, kalau SBY malah tidak merasa perlu melakukan tindakan apa-apa terhadap mereka.
Jangan-jangan memang benar apa yang dikatakan Mahfud, bahwa Istana memang sudah dikontrol mafia narkoba? Ataukah, ada “Godfather” yang kini mengontrol istana? Sangat mengerikan, kalau, ya.
Menurut Anda? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H