Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Gerindra Memang Bukan Habitat Ahok

10 September 2014   17:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:06 4174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menyatakan mundur dari Gerindra (Kompas.com)

Akhirnya, pecah juga konflik antara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan partainya sendiri, Partai Gerindra. Gara-garanya adalah Ahok sangat tidak setuju dengan sikap Gerindra yang begitu sangat getol untuk mengubah sistem pilkada, dari pilkada langsung oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD (kembali ke zaman seperti Orde Baru berkuasa).

Ahok menilai tindakan Gerindra bersama parpol-parpol yang bergabung di Koalisi Merah Putih di DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada Perubahan 2014 itu sebagai suatu tindakan yang sangat tidak masuk akal, hanya menyuburkan korupsi, bahkan bertentangan dengan konstitusi.

Ahok juga menentang alasan Gerindra bahwa pilkada langsung berdampak buruk karena sering terjadinya kerusuhan. Hal ini antara lain disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Fadli mengatakan, pemilihan kepala daerah langsung lebih banyak mudaratnya. Misalnya, pemilihan kepala daerah di Papua yang diwarnai dengan pembakaran kantor DPRD.

Terhadap alasan yang dikemukakan Fadli itu, Ahok berujar, "Berarti kamu (Fadli Zon) menghina. Kenapa kemarin pilkada di Jakarta tenteram? Kalau memang sudah tidak sesuai, ya harus keluar (dari Gerindra)!”

Memang terlalu kelihatan bahwa alasan yang dikemukan Gerindra dan kawan-kawannya itu itu terlalu dicari-cari. Mereka mengambil contoh kekurangan pilkada langsung yang rusuh hanya dari segelintir kejadian dan di beberapa daerah kecil dibandingkan dengan ribuan pilkada yang sudah diadakan dengan aman. Secara rata-rata pilkada di seluruh Indonesia sudah berlangsung dengan baik tanpa ada gejolak (yang berarti). Contohnya, di DKI Jakarta sendiri, di Bandung, di Jawa Barat, di Surabaya, di Jawa Timur, di Jawa Tengah, dan lain-lain, termasuk di sebagian besar kabupaten di Papua dan Papua Barat.

Gejolak yang terjadi di beberapa daerah ketika pilkada diadakan merupakan suatu proses atau masa transisi masyarakat belajar berdemokrasi. Kekurangan-kekurangan itu pasti bisa diperbaiki sehinga menjadi jauh lebih baik. Kalau ada barang bagus kita di rumah yang rusak, tetapi masih bisa diperbaiki, apakah kita akan membeli yang baru?

Saking gemasnya Ahok menyaksikan sikap Partai Gerindra itu, dia menyatakan, jika sampai RUU Pilkada 2014 itu disahkan DPR, dia akan keluar dari partainya (Gerindra).

"Saya bahkan sempat kepikir, kalau sampai ini dilakukan, mungkin saya keluar dari partai politik saja. Ngapain main di partai politik. Ya, ‘kan?" ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (9/9/2014).

Ahok mengatakan UU Pilkada seharusnya difokuskan untuk menekan kemungkinan pejabat menjadi korup. Namun, isi RUU Pilkada yang sedang dibahas di DPR justru tidak substantif dan penting. Menurutnya, jika RUU Pilkada itu sampai disahkan akan berpotensi sangat besar membuat pejabat sebagai korup. Kepala daerah hanya harus mampu 'memuaskan' DPRD agar tetap menjabat.

"Ini justru money politic dan rakyat semakin dicuekin. Bisa diperes (kepala daerah). Tiap tahun kita diperes anggota DPRD. 'Kalau kamu enggak (nurutin) saya tolak lho laporan kamu.' Biar dipecat. Jadinya kerjaan kepala daerah cuma menyervis DPRD saja. Enggak usah ngurusin rakyat," jelasnya.

Penilaian Ahok ini sejalan dengan pendapat para akademisi, ahli hukum tata negara, pengamat politik, dan mayoritas masyarakat (berdasarkan hasil survei beberapa lembaga survei kredibel, antara lain Litbang Kompas dan Lingkaran Survei Indonesia), bahkan dengan KPK.

Sikap Ahok yang menyatakan, jika sampai RUU Pilkada itu disahkan DPR, dia bakal keluar dari partai (Gerindra), segera disambut dengan kemarahan khas kubu Gerindra.

Ahok dikatai sebagai orang yang tidak tahu balas budi, tidak konsisten, dan kekanak-kanakan, karena katanya, Gerindra-lah yang berjasa besar membawa Ahok sampai menjadi seperti sekarang ini (wakil gubernur, sebentar lagi menjadi gubernur DKI Jakarta).

Padahal seharusnya Gerindra itu menyanggah pernyataan Ahok itu dengan dalil-dalilnya yang masuk akal dan konstitusional bahwa apa yang dikatakan Ahok itu tidak benar, daripada bersikap defensif, dan menuduh Ahok seperti tersebut di atas.

Ahok Setia kepada Konstitusi, bukan kepada Partai Gerindra

Ketua DPD DKI Jakarta Partai Gerindra, Mohammad Taufik, -- yang pernah berorasi menyerukan pendukung Prabowo untuk menculik Ketua KPU itu --  menilai Ahok sebagai pribadi yang tidak pandai bersyukur kepada partainya. Karena, Ahok memilih mundur dari Gerindra, meskipun dia sudah disokong partai itu sampai kini hendak menjadi gubernur DKI Jakarta. Lebih-lebih lagi, katanya,  Ahok tidak pernah dimintai uang sepersen pun oleh Gerindra.

"Partai kita enggak dagang. Dia (Ahok) harusnya bersyukur. Tanya saja ke Ahok, Gerindra ada minta duit enggak waktu nyalonin dia jadi Wakil Gubernur. Jadi orang itu harusnya lebih banyak bersyukur," katanya, Selasa (9/9/2014).

Tidak hanya mundur dari partai, Taufik berpendapat Ahok harus mundur dari jabatan jika ingin konsisten.

"Kalau mau konsisten, setelah mundur dari partai, mundur juga dari jabatan gubernur. Kan dia bisa jadi seperti sekarang karena partai. Jadi jangan mau enaknya saja," ujar anggota DPRD DKI itu.

Senada dengan Mohammad Taufik, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Rindoko Dahono Wingit menyatakan, Ahok itu tidak sepatutnya mengeluarkan pernyataan  itu karena Gerindra mendukung pilkada dipilih oleh DPRD. Dia menilai Ahok bersikap kekanak-kanakan dengan pernyataannya itu.

"Silakan berbeda pendapat, tapi tidak perlu keluar dari partai. Ini kekanak-kanakan, kalau perbedaan di parlemen itu dinamika," kata Rindoko di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (9/9/2014).

Meski demikian, kata Rindoko, Ahok memiliki hak jika ingin keluar dari Gerindra karena menolak pilkada dipilih oleh DPRD. Ia hanya berharap Ahok tak melupakan partai yang membantunya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi.

"Itu hak dia (Ahok) mau masuk dan keluar dari Gerindra, kalau kita kan sangat demokratis," ujarnya.

Gerindra sangat demokratis? Apa yang mereka pertontonkan di DPR dengan berkehendak kuat mengubah pilkada langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD itu adalah tindakan yang sangat jauh dari demokratis.

Demokrasi itu terjadi jika suara rakyat didengar dan dijalankan, rakyat berkehendak kedaultannya dihargai, yaitu daulat rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya. Halmana merupakan bagian dari perjuangan para aktifis pro-demokrasi 1998, yang berjuang dengan mengorbankan darah dan air mata, bahkan nyawa, – termasuk tiga belas aktifis yang diculik dan keberadaannya sampai sekarang tidak diketahui itu -- ketika melawan rezim Soeharto untuk memperoleh demokrasi dan kedaulatan itu.

Yang sekarang justru hendak dirampas kembali Gerindra dan kawan-kawannya itu, untuk membawa kembali kita ke era Orde Baru lagi. Bukankah ini justru merupakan khianat terhadap demokrasi, dan perampokan terhadap hak kedaulatan rakyat?

Hasil perjuangan demokrasi, dituangkan dituangkan di dalam UUD 1945 yang diamandemenkan pasca jatuhnya rezim Soeharto, yang antara lain terdapat di Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan, “Gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Apa itu “dipilih secara demokratis”? Sesungguhnya sudah dijabarkan di UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 56 ayat (1) dengan jelas-jelas mengatur: “Kepala daerah dan wakil  kepala daerah dipilih dalam satu pasangan  calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) ini dibuat berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dan berkaitan sangat erat – tidak bisa dipisahkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Maka, masuk akalkah niat Gerindra dan kawan-kawannya itu untuk mengubah ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, yang dibuat berdasarkan UUD 1945 itu?

Maka itu jugalah Ahok berkata, "Saya bilang dari awal, kalau saya ini tidak pernah loyal kepada partai yang tidak sesuai konstitusi. Saat Pilkada 2012 lalu, Gerindra menarik saya dari Golkar dan mengarahkan perjuangkan pilihan rakyat. Kenapa sekarang malah memiliki pandangan pilkada melalui DPRD? Konsisten dong!"

Jadi, sebetulnya tuduhan Mohammad Taufik dan Rindoko Dahono Wingit kepada Ahok sebagaimana disebutkan di atas sudah jelas-jelas dijawab Ahok dengan konsisten. Ahok sudah jelas-jelas konsisten, justru Gerindra-lah yang tidak konsisten.

Bahwa Ahok dalam menjalankan jabatannya sebagai Wakil Gubernur, dan kemudian sebentar lagi Gubernur DKI Jakarta adalah sebagai pengabdiannya sepenuhnya kepada bangsa dan negaranya, khususnya kepada rakyat DKI Jakarta, bukan kepada konstituen, apalagi kepada partai politik, -- sekalipun partai itu yang mengusungkannya.

My loyalty to my party ends where my loyalty to the country begins,” kesetiaanku kepada partai berakhir ketika kesetiaanku kepada negara dimulai, itulah sebuah prinsip yang paling terkenal sedunia yang pernah diucapkan oleh Manuel Luis Quezon Molina, Presiden Persemakmuran Philipina (1935-1944), yang menjadi pegangan bagi semua pimpinan di dunia yang berjiwa negarawan, termasuk Ahok saat ini.

Ketika masih dalam taraf Pilkada DKI Jakarta 2012 pun saya masih ingat pernyataan Ahok dan Jokowi bahwa mereka bersedia dicalonkan dengan syarat jika terpilih, tidak ada campur tangan dalam bentuk dan alasan apapun dari mana pun, termasuk dari partai mereka, juga tidak ada syarat apapun, termasuk money politic. Ahok dan Jokowi konsisten dengan pernyataan mereka itu, jadi tidak perlu kita tanyakan lagi kepada Ahok, seperti saran Mohammad Taufik itu.

Sebaliknya dengan Gerindra, petinggi-petingginya seperti Mohammad Taufik dan Rindoko, bahkan Prabowo Subianto, masih beranggapan bahwa kesetiaan kadernya adalah kesetiaan tanpa batas, kesetiaan membabi buta, bahkan sampai seorang kader telah menjadi pejabat negara pun harus tetap setia kepada partainya. Sekali pun partai itu dianggap tidak aspiratif terhadap kehendak rakyat, dan bahkan tidak konstitusional lagi, dia tetap harus setia kepada partainya.

Pemikiran seperti inilah yang kerap melahirkan pejabat-pejabat korup, yang tersandera parpol-nya, selalu merasa berhutang budi kepada parpol-nya lebih kepada dan menjadi mesin ATM parpol.

Gerindra-lah yang Harus Bersyukur kepada Ahok

Kalau mau jujur, seharusnya Gerindra-lah bersyukur mempunyai kader seperti Ahok, kalau mau jujur Gerindra-lah terangkat namanya, termasuk Prabowo, karena kepimpinan Ahok yang terkenal berintegritas tinggi, jujur, bersih, dan transparan ikut berperan penting memberi dampak yang sangat positif bagi pencitraan Gerindra, maupun Prabowo Subianto.

Ahok sedari awal bersikap konsisten, bahwa begitu dia menjabat sebagai Wakil Gubernur, termasuk tentu saja ketika nanti menjadi Gubernur, kesetiaan dan tanggung jawabnya itu bukan kepada partainya lagi, tetapi semata-mata kepada konstitusi, kepada rakyat, khususnya warga DKI Jakarta.

Jika Ahok mundur dari Gerindra, tidak berarti dia harus mundur juga sebagai Wakil Gubernur atau Gubernur, karena kesetiaannya dan tanggung jawabnya itu kepada rakyat DKI Jakarta, bukan kepada Gerindra, bukan pula kepada Prabowo Subianto.

Justru Gerindra-lah yang tidak konsisten, dan kelihatan belangnya. Berjanji akan tetap setia kepada kehendak rakyat, dan selalu berjuang demi kepentingan rakyat, kenyataannya malah berkhianat kepada rakyat melalui ambisinya yang hendak merampas kedaulatan rakyat dari pilkada langsung.

Dengan Gerindra menuntut Ahok mengingat jasa dan berterima kasih kepada mereka, maka jelas Gerindra punya pamrih pribadi ketika mencalonkan Ahok sebagai wakil gubernur DKI itu. Ahok bukan tidak tahu berterima kasih, tetapi terima kasihnya itu dalam batas-batas yang wajar, dalam batas hubungannya sebagai kader dengan partainya, tidak sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta kepada partainya.

Dengan sikap Gerindra seperti ini kita pun bisa menjadi percaya terhadap isu yang pernah beredar ke publik bahwa Prabowo Subianto ketika menggandeng Ahok maju sebagai calon wakil  gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi itu, bukan sikapnya yang tulus, tetapi punya maksud atau pamrih tersebut, yang merupakan strateginya untuk maju sebagai calon presiden di Pilpres 2014. Ahok yang dobel minoritas, Tionghoa dan Kristen, dimanfaatkan untuk memperbaiki dan menaikkan citra Prabowo, yang sering diidentikkan dengan sosok yang anti-Cina dan anti-Kristen.

Sikap-sikap Gerindra selama Pilpres 2014 sampai sekarang menjadi bumerang bagi mereka sendiri, mengungkap tabir sikap mereka yang sebenarnya yang tidak pro-rakyat, tetapi berpolitik demi kepentingan mereka sendiri dengan mengatasnamakan rakyat.

Gerindra Bukan Habitat Ahok, Jokowi Siap Menerimanya

Kekonsistensi Ahok bukan hal yang main-main. Dia bahkan berani menunjukkan kekonsistensinya mengenai rencana mundurnya dari Partai Gerindra itu. Seolah-olah meladeni tantangan Mohammad Taufik yang mempersilakan Ahok segera mengundurkan diri, hari ini juga (Rabu, 10/9) Ahok menyatakan telah menyampaikan rencananya itu secara resmi kepada Fraksi Gerindra di DPRD DKI. Bahkan surat pengunduran dirinya itu pun sudah dibuatnya.

"Makanya, hari ini juga saya menyiapkan surat pengunduran diri dan berhenti sebagai kader Partai Gerindra," katanya di Balaikota Jakarta.

Surat pengunduran diri itu akan langsung dikirim ke DPP Partai Gerindra. Di Gerindra, Ahok menduduki jabatan sebagai Ketua Bidang Politik DPP.

Sekali lagi Ahok menyatakan alasannya mundur dari  Gerindra. Parpol yang didirikan Prabowo itu dianggap sudah tidak lagi sejalan dengan visinya. Ahok menilai Gerindra melakukan "blunder" dengan mendorong pilkada dikembalikan seperti Orde Baru, yakni oleh DPRD.

"Bagi saya, Partai Gerindra sudah tidak sesuai dengan perjuangan saya untuk memberikan rakyat sebuah pilihan terbaik," katanya tegas.

Jokowi yang juga menolak pilkada tidak langsung itu mengatakan dia siap menerima Ahok, jika Ahok keluar dari Gerindra. Apakah ini berarti jika Ahok jadi keluar dari Gerindra dia akan bergabung dengan PDIP, partainya Jokowi? Lebih bagus begitu, karena habitat Ahok ternyata memang bukan di Partai Gerindra.

Jokowi berkata, "Sekarang pilpres sistemnya apa? Presidensial, dipilih rakyat. Masa di kota, kabupaten, malah sistem parlementer. Logikanya di mana?" ujar Jokowi di Balaikota, Jakarta, Selasa (9/9/2014).

Sedangkan mengenai rencana Ahok yang akan keluar dari Gerindra jika RUU Pilkada 2014 itu disahkan DPR, Jokowi berujar, "Nanti kalau benar RUU itu benar-benar disahkan, saya dapat teman.”

Jika nanti sudah begini, nanti di Pilpres 2019, Jokowi maju lagi sebagai capres, sedangkan cawapres-nya adalah Ahok. Maka dwi-tunggal ini kembali bersatu, dan diharapkan memimpin Republik ini. ***

Sumber berita:

Ahok Ancam Keluar Gerindra Bila Pilkada Tidak Langsung Disahkan

Gerindra: Ahok Tidak Pandai Bersyukur

Gerindra Anggap Ahok Kekanak-kanakan

Ahok: Dulu Gerindra TArik Saya dari Golkar karena Janji Akan Perjuangkan Pilihan Rakyat

Ahok Keluar Dari Gerindra, Jokowi Siap Terima Teman

Ahok: Hari Ini Saya Siapkan Surat Penguduran Diri dari Gerindra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun