[caption id="attachment_171093" align="aligncenter" width="520" caption="Ilustrasi (Sumber: www.jitourism.com)"][/caption]
Mungkin hanya di Indonesia yang para politikus dan pejabat pemerintahnya sering diasosiasikan dengan dunia satwa. Mungkin ini memang karena ada korelasi di antara keduanya? Entah kebetulan ataukah tidak juga, sampai pada atap Gedung DPR pun dibuat mirip dengan punggung kura-kura. Diisi oleh banyak politikus yang suka berpura-pura.
Pertama-tama adalah sebutan “politikus” itu sendiri. Yang acapkali diplesetkan dengan sebutan “poli-tikus”. Ini karena ada kaitannya dengan perilaku koruptif dari para politikus itu yang diibaratkan seperti hama tikus yang identik dengan binatang yang suka mengerat dan mencuri makanan manusia. Supaya lebih pas, sebutan terhadap tikus jenis manusia ini ditambah sebutannya menjadi “tikus kaki dua”, atau “tikus berdasi.”
Sebenarnya, ada sebutan lain yang juga pas. Yakni, rayap. Binatang yang meskipun ukurannya mini, tetapi daya rusaknya sangat dahsyat, dengan cara yang tidak kelihatan pula. Tiba-tiba saja semua yang terbuat dari kayu, mebel rumah, tiang-tiang, kusen, rangka plafon, dan seterusnya, telah keropos, dimakan dari dalam sampai tinggal kulit kayunya saja. Tidak jarang bisa membuat sebuah rumah sebesar apapun tiba-tiba ambruk.
Demikian juga dengan perbuatan korupsi yang dilakukan secara “berjamaah” oleh para pejabat negara, maupun politikus. Mereka ibarat rayap, yang memakan keuangan negara dari dalam. Membuat pondasi keuangan negara rapuh, sehingga tidak cukup kuat menaungi dan mensejahterakan rakyatnya. Ironisnya, kepala rumah tangganya bukan berupaya memberantas rayapnya, malah meminta penambahan anggaran untuk membuat tiang-tiang penyanggah baru. Tiang-tiang baru tersebut hanya akan menjadi tambahan makanan empuk para rayap koruptor berikutnya.
Para tikus kaki dua, atau tikus beradasi, dan para rayap yang rakus itu, dulu hanya digolongkan atas dua golongan. Yakni, kelas teri dan kelas kakap. Sekarang, karena jumlah korupsinya sudah terlalu sangat besar, maka sebutan kakap pun sudah terasa tidak cocok lagi. Maka, muncul sebutan baru: “korupsi/koruptor kelas paus”. Bahkan ada yang merasa paus pun masih kurang pas, “derajatnya” dinaikkan lagi menjadi kelas dinosaurus.
Sedangkan di dunia politik, dikenal dengan sebutan kutu loncat, sebutan yang diberikan untuk para politikus pragmatis yang suka berpindah-pindah partai politik sesuai dengan situasi dan kondisi yang dianggapnya menguntungkan dirinya sendiri.
Ada juga yang mirip-mirip dengan kutu loncat, atau bisa dikatakan sebagai pasangannya kutu loncat, meskipun tidak semua begitu. Yakni, politikus bunglon, yang sikap, perilaku, dan bicaranya suka berubah-ubah untuk suatu permasalahan yang sama, sesuai dengan ke arah mana dia akan menjilat demi keuntungannya.
Belum lama ini ada sebutan baru lagi untuk dunia politik kita, yakni “parpol kodok” yang menghasilkan “koalisi kodok”. Istilah “koalisi kodok” ini pertama kali saya ketahui dari sebuah tulisan di Kompas Cetak, edisi Selasa, 10 April 2012, berjudul Koalisi Kodok, oleh Feri Amsari.
Sebagaimana diketahui kodok adalah binatang amphibi yang bisa hidup di dunia alam; di daratan dan di dalam air. Saat ini ada partai politik di Indonesia yang ingin meniru cara hidup kodok, yang bisa hidup di dua alam itu. Parpol ini sangat ingin menjadi kodok politik (pertama) di Indonesia. Dia ingin merasakan nikmatnya berjalan di daratan pemerintahan, bersamaan dengan itu dia juga ingin berenang dalam popularitas oposisi. Selengkapnya dapat dibaca di artikel saya di sini.
Politikus dan pejabat negara dengan perilaku-perilaku seperti di atas biasanya juga tidak mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang dia pernah lakukan, atau apa yang dia pernah ucapkan, yang kemudian ternyata menghasilkan atau berdampak buruk. Untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya maka cara yang biasa dipakai adalah menyalahkan orang, atau pihak lain sebagai kambing hitamnya. Stok kambing hitamnya itu pasti ada, dan biasanya yang menjadi kambing hitamnya adalah para anakbuahnya. Dia akan mengelak dengan mengatakan tidak tahu-menahu, itu salah anak buahnya. Anak buahnya berbuat itu tanpa sepengetahuan dirinya, padahal tidak mungkin anakbuahnya bisa melakukan sesuatu itu tanpa persetujuan dan tandatangannya, dan seterusnya, seperti dalam beberapa kasus korupsi saat ini. Kalau anak buahnya atau pihak lain tidak mungkin dijadikan kambing hitam, maka bilamana perlu mulutnya yang dijadikan kambing hitam. Caranya, dengan mengatakan: "Itu keseleo lidah!" Bandingkan dengan beberapa pejabat tinggi negara lain yang "hanya" gara-gara salah ucap, langsung mengundurkan diri.
Contoh: Pada Juli 2011, Menteri Rekonstruksi Pasca Bencana Jepang Ryu Matsumoto, yang baru menjabat selama seminggu atas inisiatifnya sendiri mengundurkan diri dari jabatannya itu setelah dalam suatu kunjungannya ke Provinsi Miyagi, mengeluarkan pernyataan kepada gubernur setempat yang dinilai menyakiti perasaan korban bencana dan keluarganya. Waktu itu Matsumoto antara lain bilang, pemerintah pusattidak akan membantu provinsi yang tidak mempunyai rencana pembangunan. Bandingkan dengan pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie, yang pernah berkomentar menyalahkan korban tsunami Mentawai yang tinggal di tepi pantai. Waktu itu sang Ketua DPR dari Partai Demokrat itu bilang, "Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi tinggal di pulau lah ... Kalau takut ombak, yah, jangan tinggal di tepi pantai!" Jangankan mundur, minta maaf saja dia tidak melakukannya. Dan, sampai detik ini dia masih dipelihara sebagai Ketua DPR.
Selain politik kambing hitam, para politikus dan para pejabat (tinggi) negara ini juga tak segan-segan menjalankan praktik politik adu domba. Siapa pun bisa mereka jadikan korban politik adu dombanya, termasuk rakyat dengan rakyat. Persoalan sensitif, seperti soal agama dan suku, biasanya dijadikan andalan untuk mengefektifkan semaksimal mungkin politik adu domba tersebut. Semua itu dilakukan demi kepentingan politik sesaatnya. Rakyat pun dijadikan tumbalnya.
Lucunya, beberapa waktu lalu, para politikus kita itu sempat saling mengejek seperti anak kecil, dengan saling menyebut lawannya dengan sebutan nama-nama ikan. Kelakukan tak terpuji mereka itu sempat ditulis oleh Mbak Ira Oemar di Kompasiana ini, dengan judul Ikan Salmon ala Bhatoegana dan Irasional Versi Marzuki Alie Lagi-lagi Gaduh.
Sutan Bhatoegana dari Partai Demokrat mengejek politikus Golkar dan PKS seperti “Ikan Salmon”. Yang dibalas oleh politikus Golkar dengan menyebutkan Bhatoegana punya mulut seperti “Ikan Teri Asin”. Sedangkan politikus PKS menyebut politikus Demokrat itu seperti “Ikan Piranha”. Berikut saya kutip tulisan Mbak Ira itu:
Kata Bhatoegana, mereka itu tak lebih dari “ikan salmon” singkatan dari intelektual kagetan asal ngomong. Seperti anak kecil, Bamsat dari Golkar membalas mengatakan mulut Bhatoegana mirip “ikan teri asin”, singkatan intelektual kagetan teriak sana sini. Tak mau kalah dengan Bamsat, Nasir Djamil dari PKS balas mengejek dengan menyebut Demokrat sebagai “ikan piranha” yang pikiran dan pembicaraan suka berbeda. ...
Dalam aksi unjuk rasa anti Presiden SBY, beberapa waktu lalu, para pengunjukrasa juga sempat membawa-bawa seekor kerbau dan menulis tulisan di tubuh hewan itu dengan cat: “Si Buya”. Yang bisa diartikan juga dengan nama buaya. Kebetulan juga SBY itu bisa singkatan dari nama kota Surabaya, yang mempunyai logo antara lain seekor buaya. Untuk cara unjuk rasa seperti itu, saya pribadi yang kerap kritis terhadap Presiden SBY, menilainya sebagai cara unjuk rasa yang kelewat batas dan tidak etis.
Lepas dari masalah etis ataukah tidak, apa yang saya tulis di atas sudah merupakan fakta dan bukti nyata bahwa betapa dunia politik Indonesia ini penuh dengan sebutan-sebutan nama-nama satwa/hewan. Sebutan-sebutan itu bukan asal bunyi saja, tetapi harus diakui memang cocok juga.
Maka itulah, tidak heran Republik ini semakin lama semakin kacau-balau, semrawut tidak keruan, penuh kericuhan, dan seterusnya. Waktu untuk mengurus negara sepertinya sudah menjadi pekerjaan sambilan para pejabat negara kita, termasuk Presdiennya. Konsentrasi utama mereka lebih tercurah pada saling serang, saling melindungi, dan memperebut kekuasaan, saling memperebutkan uang hasil korupsi (yang jumlahnya serba fantastis), dan seterusnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H