Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demi Bisa Menyingkirkan Ahok, DPR Pun Hendak Merampas Hak Pemilih Pemula

10 Juni 2016   11:28 Diperbarui: 10 Juni 2016   11:53 4938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Temanahok.com)

Seperti yang sudah bisa diduga, artikel saya yang berjudul Lewat Verifikasi Faktual Calon Perseorangan di Pilkada akan Diganjal,pasti akan diganjal pula oleh para pembenci Ahok di Kompasiana, dengan cara-cara khasnya. Karena apa? Karena hal itu juga secara aktual membahas tentang Ahok yang sudah memastikan dirinya maju lewat jalur perseorangan di pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.

Salah satunya adalah pembenci Ahok kelas super berat di Kompasiana ini, Go Teng Shin alias GTS, yang dalam salah satu paragraf artikelnya yang berjudul Ahok, Heru, Teman Ahok, Singapura, dan Pertempuran Para Kurawa, mengecam artikel saya tersebut, dengan menulis:

Sebaiknya Ahok tak usah cengeng, belum apa-apa sudah mengeluh ke media terus dicopy paste pendukungnya dari Fakfak yang sama lebaynya jadi posting rengekan di Kompasiana. Sebagaimana Faisal Basri, hadapi verifikasi faktual secara ksatria. Dulu Faisal-Biem turun langsung ke kelurahan untuk mengawasi. Ada baiknya kerendahan hati seperti itu ditiru, misalnya mengetuk door to door rumah di Pluit, PIK dan Pantai Mutiara supaya standby, jangan keluar negeri atau ke mall sebelum ke PPS. KTP Ahok kan kabarnya mayoritas dari sana, bukan Kampung Pulo, Bukit Duri atau Luar Batang. Jadi Ahok tidak perlu takut sampai harus bawa puluhan bodyguard.

Padahal substansi persoalan antara ketentuan verifikasi faktual calon perseorangan di Pilkada 2012 yang diikuti Faisal Basri dengan ketentuan yang baru saja dibuat DPR lewat revisi UU Pilkada 2015 menjadi UU Pilkada 2016 itu sangat berbeda.

Di pilkada 2012, ketentuan verifikasi faktualnya cukup dilakukan di kelurahan-kelurahan, sedangkan di ketentuan 2016 yang dibuat DPR ini verifikasi faktualnya dilakukan dengan metode sensus, yaitu Panitia Pemungutan Suara (PPS) mendatangi satu per satu alamat pemilik KTP pendukung calon perseorangan. Jika saat didatangi PPS, pemilik KTP sedang tidak berada di tempat, maka diberi waktu hanya 3 hari kepada pasangan calon perseorangan untuk membawa pendukungnya itu ke kantor PPS setempat (harus di kantor PPS). Jika lewat waktu 3 hari hal tersebut belum dilakukan, maka secara otomatis dokumen pendukung calon perseorangan tersebut dinyatakan gugur.

Peraturan yang tidak masuk akal ini bukan saja tidak bisa diterima oleh kubu Ahok, tetapi juga dipertanyakan oleh KPU sendiri, karena sejatinya ketentuan tersebut juga akan sangat merepotkan bagi KPU, terutama menyangkut batas waktu klarifikasi yang hanya 3 hari itu. Ketentuan itu dinilai membatasi ruang gerak petugas PPS dalam melakukan verifikasi, apalagi tenaga PPS pun jumlahnya masih belum memadai untuk menjalankan ketentuan baru tersebut.

"Sulit untuk memahami (urgensi di balik keputusan DPR membatasi masa klarifikasi). Seharusnya penyelenggara tetap diberi ruang. Yang penting, kan, semua proses verifikasi faktual selesai dalam waktu 14 hari," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, pada 6 Juni lalu (Kompas).

Niat jahat DPR juga terlihat dari dibuatnya ketentuan bahwa hasil verifikasi faktual dengan metode sensus tersebut tidak diumumkan data-datanya oleh KPU, yang diumumkan hanya apakah pengumpulan KTP dukungan tersebut jumlahnya memenuhi syarat ataukah tidak. Sehingga jika dinyatakan tidak memenuhi syarat, publik tidak bisa mengakses data-data  itu untuk mengetahui detail alasan tak memenuhi syarat tersebut.

Untuk menindaklanjuti keberatan KPU ini, ditambah dengan keberatan KPU lainnya menyangkut ketentuan baru UU Pilkada ini, yaitu ketentutan tentang peraturan KPU harus mendapat persetujuan dari DPR, KPU berencana akan mengajukanjudicial review(uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan itu, segera setelah Undang-Undang tersebut diberi nomor.

Selain KPU, Fadjroel Rahman dan kawan-kawannya juga sudah memastikan diri akan mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal yang sama di UU Pilkada 2016 itu,  yang dinilai bertolak belakang dengan aspirasi rakyat, atau hanya memenuhi kepentingan politik sesaat partai-partai politik, yang semakin ketakutan dengan fenomena Ahok dengan calon perseorangannya.

Pada 29 September 2015, MK mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Fadrjoel dan kawan-kawannya terhadap ketentuan syarat minimal pencalonan kepala daerah perseorangan dari persentase berdasarkan jumlah penduduk menjadi persentase berdasarkan jumlah Daftar Pemilik Tetap (DPT) dari pilkada sebelumnya di daerah pilkada tersebut diadakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun