Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bila Perlu Wisnu Sakti Buana-lah yang Dipecat

23 Februari 2014   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_296916" align="aligncenter" width="620" caption="Warga Surabaya melakukan unjuk rasa mendukung Risma agar tidak mundur (Tempo.co)"][/caption]

Tekanan dan intrik politik yang kian hebat yang melanda Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) sampai-sampai membuatnya nyaris tak tahan dan ingin mundur itu sebenarnya merupakan masalah lokal kota Surabaya. Lebih khusus lagi sebenarnya merupakan masalah politik bercampur urusan proyek dan bisnis antara – ironisnya – PDIP Surabaya sendiri plus “rekan-rekan” mereka dengan Risma.

Tetapi, karena tak kunjung diselesaikan oleh DPP PDIP, akhirnya melebar dan membesar, dan kini perhatian nasional. Tingkat kontamidasi pun meningkat menjadi konsumsi politik nasional, apalagi Pemilu Legislatif hanya tinggal satu setengah bulan lagi.

Mulai dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Presiden SBY, sampai DPR pun ikut melibatkan diri dengan alasan untuk membantu menyelesaikan kasus ini. Sementara itu justru DPP PDIP masih berdiam diri hingga kini.

Sampai sekarang, Ketua Umum PDIP Megawati belum terdengar akan memanggil Risma untuk didengar persoalannya secara langsung, demikian juga, bilamana perlu,  pemanggilan terhadap Wisnu Sakti Buana dan segenap pengurus DPC PDIP Surabaya.

Sedangkan Risma sendiri sudah mengemukakan kehendaknya untuk bertemu dengan Megawati untuk membicarakan persoalan ini. Seusai bertemu dengan Wakil ketua DPR dari Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso (Kamis, 20/02/2014),  Risma mengatakan keinginannya itu, tetapi, katanya, dia tak berani mengambil inisiatif untuk menghubungi Megawati. Meskipun sangat ingin bertemu dengan Megawati, Risma mengaku sebagai orang yang tahu diri.

“Ya ‘kan ndak semudah itu (ketemu Megawati). Ndak berani lah aku. Ya, aku ke Presiden saja juga ndak berani. Ditelepon, kok (sama presiden). Lah, mana berani aku,” ujarnya ketika itu (Tempo.co).

Dengan kata lain Risma sangat mengharapkan dipanggil Ketua Umum PDIP itu untuk keperlian tersebut. Kedatanganya ke DPR bertemu Priyo Budi Santoso saja berdasarkan undangan dari Priyo itu. Demikian juga ketika sempat menyampaikan permasalahannya itu kepada Presiden SBY, SBY-lah yang memanggilnya untuk menanyakan persoalan tersebut. Menurut Risma, SBY mengatakan kepadanya supaya jangan mundur, karena SBY ingin melihat kota Surabaya menjadi kota yang semakin bagus.

Jadi, Megawati-lah yang entah mengapa sampai sekarang belum berinisiatif memanggil Risma untuk membicarakan sekaligus memecahkan permasalahan Wali Kota Surabaya itu dengan Wisnu Sakti Buana dan PDIP Surabaya. Apa yang ditunggu Megawati? Ataukah DPP PDIP kali ini mau berpihak kepada Wisnu, mengingat Risma pernah menolak titipan nama-nama camat dan lurah yang dikehendaki PDIP untuk dipromosikan di jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya? Atau, karena Risma selama ini menolak arahan PDIP dalam mengurus kota Surabaya?

Kalau sampai DPP PDIP berpihak kepada Wisnu dan PDIP Surabaya dalam konflik dengan Risma, sampai akhirnya berhasil membuat Risma mundur dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, maka ini suatu blunder politik paling konyol yang diperbuat PDIP menjelang Pemilu Legislatif yang tinggal satu setengah bulan lagi ini. Karena masyarakat Surabaya secara mayoritas lebih mendukung Risma. Menjadikan Risma sebagai “lawan” dan mendepaknya, akan berpotensi berdampak buruk pada perolehan suara PDIP di Surabaya. Bukan tak mungkin berpengaruh secara nasional pula.

Tak kunjung ada reaksi signifikan dan substantif  dari DPP PDIP, tak usahlah ada petinggi PDIP yang kebakaran jenggot menyaksikan Risma  dipanggil Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso, seperti yang dipertunjukkan oleh Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu PDIP Arif Wibowo yang menuding ada motif politik di balik pemanggilan Wali Kota Surabaya oleh Priyo Budi Santoso itu. “Ini sudah over politisasi,” kata Arif gerah di komples parlemen Senayan, Jumat, 21 Februari 2014 (Tempo.co).

Lha, bagaimana dengan sikap DPP PDIP sendiri, kenapa masih diam sekian lama? Jangan salahkan pihak lain kalau kemudian memanfaatkan situasinya.

Titik pangkal permasalahan ini sebenarnya terletak pada Wisnu Sakti Buana dan PDIP Surabaya, bukan pada Risma. Bukankah permasalahan ini mulai terpicu begitu secara kontroversial Wisnu Sakti Buana terpilih dan dilantik sebagai Wakil Wali Kota Surabaya mendampingi Risma? Padahal jelas, terang-benderang sejak lama boleh dikatakan Risma adalah “musuh politik” paling utama dari Wisnu.

Selain itu visi dan misi Risma dengan Wisnu dalam mengurus dan membangun kota Surabaya sangat saling bertolak belakang. Risma sangat tidak setuju pembangunan jalan tol tengah kota, sebaliknya, Wisnu sangat setuju, -- bahkan diduga karena faktor proyek inilah yang membuat Wisnu dan kawan-kawannya ingin memakzulkan Risma.

Ketika sudah menjabat sebagai Wakil Wali Kota pun Wisnu masih melontar pernyataan yang bertolak belakang dengan kebijakan Risma, dengan kata-kata sindiran yang cukup pedas. Kata dia, “Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada,” katanya. “Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja.” (Majalah Tempo, 17/02/2014).

Karakter Wisnu yang sangat tidak disukai Risma juga diperlihatkan Wisnu setelah dilantik sebagai Wakil Wali Kota. Sejak dilantik pada 24 Januari 2014, Wisnu tidak pernah bertemu dengan Risma sampai tanggal 5 Februari 2014. Mereka akhirnya bertemu di dalam sebuah acara jamuan makan siang di Balai Kota. Begitu bertemu dengan Risma, Wisnu malah langsung bicara tentang proyek. Yakni, mengenai tanah di Jalan Bogowonto, milik TNI Angkatan Laut yang mau ditukarguling dengan pihak swasta. Pihak swasta hendak membangun hotel di tanah itu, sedangkan tanah itu termasuk jalur hijau kota Surabaya, tidak boleh ada bangunan di sana. Wisnu mau berunding dengan Risma agar Risma mau mengubah peruntukan tanah itu, sehingga tanah itu boleh dibangun bangunan di atasnya. Dengan tegas Risma menolaknya.

Jelas sekali karakter Risma dengan Wisnu saling tidak cocok. Sangat janggal malah PDIP Surabaya memilih Wisnu sebagai pendamping Risma. Kejanggalan itu kian kentara, ketika dalam pemilihan Wisnu itu Risma sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, di dalam PP Nomor 49 tahun 2008 disebutkan untuk mengganti wakil kepala daerah  yang lama, kepala daerah mengajukan dua calon wakil wali kota berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah.

Dari mulai menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, Risma sudah dijadikan lawan utama Wisnu dan kawan-kawannya di PDIP Surabaya. Baru sekitar empat bulan Risma dilantik sebagai Wali Kota Surabaya, atau pada Januari 2011, Wisnu adalah pelopor utama di DPRD Surabaya untuk memakzulkan Risma dengan alasan Risma telah melanggar hukum dengan menerbitkan Perda yang menaikkan pajak reklame secara drastis. Jika tidak dihentikan PDIP Pusat, Wisnu belum menyerah untuk terus melengserkan Risma.

Padahal diduga kuat alasan Perda Pajak Reklame itu untuk melengserkan Risma itu hanyalah kamuflase. Alasan sebenarnya adalah gaya kepimpinan Risma yang mulai kelihatan lurus, tegas. Menolak untuk dikendalikan,  dan tanpa kompromi terhadap semua pihak pelanggar hukum, termasuk para pejabat dan politisinya, dinilai menjadi ancaman bagi mereka yang selama ini menikmati jabatannya itu untuk kepentingan politik dan bisnisnya. Proyek tol tengah kota, salah satu di dalamnya. Karena ketegasan Risma yang tanpa kompromi tidak setuju dengan proyek ini telah menghilangkan impian keuntungan besar yang sudah di depan mata banyak pejabat dan investor/pengusaha.

Sekarang, seolah-olah tidak punya malu, Wisnu kok mau menjadi wakil wali kota Surabaya mendampingi “musuh”-nya itu? Kok Wisnu tidak merasa gerah dan gelisah bahwa sesungguhnya bertolak dari dirinyalah permasalahan ini terpicu dan kian membesar? Bahwa sebenarnya Risma tidak menghendaki dirinya menjadi pendamping Risma? Seandainya saja sekarang Wisnu cukup punya jiwa besar, menyatakan mundur sebagai wakil wali kota, agar DPRD Surabaya dapat memilih wakil wali kota Surabaya baru dengan cara-cara yang prosedural, dan yang cocok dengan Risma, maka persoalan ini selesailah. Tetapi karena mungkin Wisnu sudah kebelet jabatan, maka beginilah yang terjadi.

DPP PDIP juga, seandainya mereka mengulangi sikap tegas mereka seperti pada kejadian tiga tahun yang lalu itu, kasus ini juga tak bakal membesar seperti sekarang. Sementara itu mereka bisa berbanggakan diri punya kader seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, yang diakui sebagai salah satu wali kota terbaik di dunia dan telah menerima berbagai penghargaan nasional, maupun dunia. Baru-baru ini mendapat penghargaan lagi sebagai wali kota terbaik di dunia dari citymajors.com.

Imbasnya juga akan sangat besar pada bidang politik. Risma adalah Wali Kota Surabaya yang diusung oleh PDIP. Dia sudah punya nama besar, baik secara nasional, maupun internasional. Risma adalah salah satu pimpinan terbaik bangsa ini, dia, meskipun bukan kader pDIP, adalah aset berharga PDIP. Sama nilainya dengan kepala daerah terbaik lainnya yang  kader PDIP, yakni,  Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Eksistensi mereka berpotensi sangat besar untuk mendongkrak perolehan suara PDIP di dalam Pemilu Legislatif 2014 ini. Sangat sayang jika PDIP malah "membuang" salah satu asetnya yang paling berharga ini.

Ketika itu, Februari 2011, puncak dari upaya PDIP Surabaya yang dikomandani oleh Wisnu Sakti Buana untuk memakzulkan Risma dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya, meskipun sudah diperingatkan DPP PDIP. Maka DPP PDIP pun menunjukkan sikap tegasnya dengan mengirim “surat ultimatum” kepada DPC PDI Surabaya, agar berhenti dengan upayanya itu. Jika masih membandel DPC Surabaya akan dibekukan (detik.com). Barulah Wisnu dan kawan-kawannya itu berhenti dengan upaya mereka memakzulkan Risma. Sampai di November 2013, upaya itu dihidupkan lagi, tapi kali ini DPP PDIP masih diam.

Entah kenapa DPP PDIP bersikap lain. Mereka hanya diam menyaksikan sandiwara politik di Pemkot  dan DPRD Surabaya itu yang kini telah menjelma menjadi isu nasional, yang ujung-ujungnya berpotensi merugikan PDIP secara politik di dalam pemilu 2014 ini.

Seharusnya DPP PDIP, Megawati sebagai Ketua Umum mau bersikap tegas kepada Wisnu dan kawan-kawannya itu di DPC PDIP seperti tiga tahun yang lalu itu, untuk tidak lagi meneruskan blunder politik mereka di Surabaya. Bilamana perlu memerintahkan Fraksi PDIP untuk menarik kembali Wisnu dari jabatannya sebagai Wakil Wali Kota Surabaya, agar sitauasi dan kondisi bisa dikembalikan ke situasi dan kondisi yang normal.

Bila masih membandel, bila perlu DPP PDIP mengambil sikap tegas dengan membekukan DPC PDIP, dan memecat Wisnu Sakti Buana! Tetapi, masalahnya, Pemilu sudah terlalu dekat. Jadi, apa yang akan dilakukan DPP PDIP, apa yang akan dilakukan Megawati untuk menyelesaikan persoalan Risma dengan Wisnu ini? ***

Artikel-artikel terkait:

Semoga Bu Risma Ingat Kisah Nabi Yunus

Lewat Drama Tekanan Politik kepada Ibu Risma, Kita Bisa Menilai Mereka

Ibu Risma Kombinasi Jokowi dan Ahok

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun