[caption id="attachment_199422" align="aligncenter" width="565" caption="Foke-Nara di acara Metro TV: Jakarta Memlih: The Final Round (Sumber: Tribunnews.com) "][/caption] [caption id="attachment_199420" align="aligncenter" width="565" caption="Jokowi-Ahok di acara Metro TV: Jakarta Memilih: The Final Round (Sumber: Tribunnews.com)"]
Di acara “Jakarta Memilih: The Final Round”, yang diselenggarakan oleh Metro TV, Minggu, 16 September 2012, dengan dua host andalannya, Najwa Shihab dan Suryopratomo, kembali terlihat bahwa Fauzi Bowo sulit untuk mengendalikan emosinya.
Rupanya, karakter temperamental calon gubernur petahana ini terkuak setiap kali dikritik dan atau merasa disela pembicaraannya di dalam suatu dialog, debat, atau pertanyaan yang memojokkannya. Di dalam setiap debat antarcagub-cawagub pun terlihat bahwa dia selalu memposisikan dirinya berada di atas pesaingnya. Seolah-olah Jakarta itu punya dia, hanya dia yang berhak dan paling mengerti mengelola Jakarta.
Misalnya, di sesi terakhir acara “Jakarta Memilih: The Final Round” itu, yakni sesi tanya-jawab langsung di antara kedua pasangan calon, ketika Foke menjawab pertanyaan Ahok tentang persoalan busway, dia melontarkan kata-kata kerasnya kepada Ahok, “Yang membangun itu ‘kan saya, dan Pak Sutiyoso, bukan ente, ... bukan ente!”
Rupanya yang membuat emosi Foke terpancing itu perkataan Ahok yang bilang, kenapa bisnis busway bernilai triliun rupiah itu dikelola seperti warung Tegal, dan ketika Foke mulai menjelaskan bahwa proyek tersebut dimulai dengan pengembangan koridor sekaligus dengan standar pelayanan minimum secara bertahap, Ahok menyelanya dengan mengatakan bahwa proyek tersebut sudah dimulai sejak 2004, kok masih dalam tahapan mulai pengembangan seperti itu. Spontan emosi Foke berkobar, dan kata-kata itu pun keluar dari mulutnya. Seolah-olah karena pembangunan proyek busway itu dibangun di masa dia menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur DKI, maka tidak boleh ada yang mengkritisinya.
Sebelumnya, Ahok mengajukan pertanyaan dengan mengatakan bahwa pada 2009 ada studi banding di Bogota, sebagai kota yang dijadikan acuan proyek busway tersebut. Di Bogota dengan jumlah koridor yang sama-sama delapan buah, rata-rata bisa mengangkut 1,025 juta penumpang/hari, sedangkan di Jakarta sampai 2012 baru mampu mengangkut rata-rata 360.000 penumpang/hari.
Seharusnya, pertanyaan tersebut dijawab oleh cawagub Nachrowi Ramli (Nara). Karena sebelumnya, yang terjadi adalah antara cawagub Foke dengan cawagub Jokowi-lah. Kemudian cawagub Nara yang bertanya kepada cawagub Ahok. Giliran Ahok yang mengajukan pertanyaan tersebut, seharusnya yang jawab adalah sesama cawagub, Nara. Tetapi, Ahok masih berbaik hati, dengan mengatakan pertanyaannya itu boleh dijawab oleh Nara, maupun Foke. Maka, dengancepat Foke pun bilang, dialah yang menjawabnya. Mungkin dia khawatir kalau Nara yang jawab, jawabannya malah ngawur. Jadi, lebih baik, cari selamat dulu. Praktis, pada sesi terakhir itu, Nara tidak berkesempatan menjawab pertanyaan yang seharusnya dijawabnya.
Foke juga mungkin menahan emosinya karena melihat pertanyaan Nara kepada Ahok yang bermaksud menyudutkannya, malah dijadikan bumerang oleh Ahok, yang dengan telak menohok kembali Nara.
Karena emosi tak tertahan itulah ketika Ahok menyela jawabannya itu, Foke pun spontan mengeluarkan kata-kata tersebut di atas sambil menunjuk ke arah Ahok: “Yang membangun itu ‘kan saya, dan Pak Sutiyoso, bukan ente, ... bukan ente!” Belum puas, Foke melanjutkan, “Saya ngomong dulu, kalau sama Bang Nachrowi, ente boleh kurang ajar. Kalau dengan saya, nanti dulu, ya!”
[caption id="attachment_199423" align="aligncenter" width="468" caption="Foke sambil menunjuk-nunjuk Ahok: Saya ngomong dulu, kalau sama Bang Nachrowi, ente boleh kurang ajar. Kalau dengan saya, nanti dulu, ya!"]
Walaupun semua itu disampaikan dengan tawa, tetapi dari intonasinya kelihatan bahwa Foke memang sedang menahan tensinya yang meninggi. Pertanyaannya adalah apakah memang Ahok telah kurang ajar kepada Foke ketika dia mengingatkan Foke bahwa proyek busway itu telah dimulai sejak 2004, dan kenapa sampai sekarang belum kelar-kelar juga?
Juga, apakah Ahok telah berlaku kurang ajar kepada Nara? Di bagian mana? Apakah karena Ahok telah berhasil mensekak balik pertanyaan Nara, yang membuat Nara tidak bisa berkata-kata lagi itu dianggap sebagai tindakan kurang ajar dari Ahok?
Justru sebenarnya, yang kurang ajar itu adalah Nachrowi Ramli, dengan lagi-lagi menyinggung masalah etnis Ahok di forum yang begitu penting dan terbuka. Selain ratusan orang penonton di studio, ada jutaan pasang mata yang menyaksikan lewat tayangan langsung Metro TV itu.
Ketika gilirannya bertanya kepada Ahok, Nara memulainya dengan meniru suara cadel orang Tionghoa totok yang tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik, sambil tertawa, “Haiya, Ahok, laaa, haiyaaa ... kita sodala, .. sodala, sodala ...”
Kemudian Nara menanyakan perihal sosok Ahok yang suka pindah-pindah jabatannya itu. Sekarang, mau jadi wakil gubernur Jakarta. Jangan-jangan, nanti kalau sudah jadi, pindah lagi jabatannya. Nara pun menganggapnya itu sebagai suatu pengkhianatan terhadap warganya.
Mungkin maunya Nara itu mau melucu sekaligus memojokkan Ahok. Tetapi, ini sungguh bukan sesuatu yang lucu, tetapi cara penyampaian yang vulgar dan bernuansa rasis. Jauh dari substansi debat. Tidak pantas keluar dari mulut seorang calon pimpinan seperti dia. Nara lupa bahwa lelucon sarkastis seperti ini sudah kadaluarsa lama. Generasi muda WNI Tionghoa saat ini, sampai minimal tiga generasi sebelumnya tidak ada lagi yang berturur kata cadel seperti itu.
Di zaman Orde Baru, cara meniru berkata-kata cadel seperti ini merupakan salah satu cara mengejek dan melecehkan orang Tionghoa. Rata-rata orang Tionghoa kalau diperlakukan seperti ini akan tersinggung.
Foke patut khawatir bahwa Nara telah melakukan perusakan kubu mereka sendiri. Warga Tionghoa yang semula bertekad akan mencoblos Foke-Nara, bisa jadi ikut tersinggung dengan gaya melecehkan Nara seperti itu. Konsekuensinya, mereka akan mengalihkan suaranya kepada Jokowi-Ahok.
Pada momen ini, justru lagi-lagi, terlihat kembali kualitas jiwa kepimpinan seorang Ahok dibandingkan Nara. Dia sama sekali tidak terpancing dengan ejekan Nara itu. Sebaliknya, dengan meladeni gaya Nara, Ahok berkata bahwa dia curiga Nara itu menyontek pertanyaan yang pernah disampaikan oleh Najwa Shihab di acara “Mata Najwa” beberapa waktu lalu. Bahkan pertanyaan seperti itu sebelumnya juga pernah dia jawab. Kok, sekarang ditanya lagi? Seolah-olah Ahok mau bilang, apa Nara tidak punya pertanyaan yang bermutu yang berkaitan dengan maksud acara debat tersebut? Kok, yang ditanya soal pribadinya, yang pernah beberapa kali dijawab pula.
Namun demikian Ahok pun memberi jawabannya yang sekaligus menjadi bumerang bagi Nara. Maksud Nara memojokkan Ahok dengan pertanyaan tersebut, malah berbalik memojokkannya. Ketika dengan tepat sekali Ahok antara lain menjawab dengan analogi pemain sepak bola daerah yang berkualitas. Sedangkan di Jakarta kekurangan pemain seperti itu, maka direktutlah pemain dari daerah ke Jakarta. “Rupanya di Jakarta kagak ada pemain yang becus, maka dibawa (pemain dari daerah itu) ke sini!” Sungguh jawaban yang sangat jitu. Membuat Nara pun tak bisa berkata-kata lagi, selain tertawa. Bahkan, Jokowi pun sampai menepuk tangan Ahok, mengisyartakan apresiasinya kepada Ahok.
Pada sesi tanya-jawab langsung antara kedua pasang calon itu juga terlihat kualitas pertanyaan yang diajukan oleh mereka. Foke dan Nara seolah sudah sepakat bahwa mereka akan menyerang sisi pribadi dari Jokowi dan Ahok. Foke akan menyerang pribadi Jokowi, Nara akan menyerang pribadi Ahok. Kedua-duanya gagal. Sebaliknya, justru memperlihatkan kepada publik bagaimana kualitas prima jiwa kepimpinan dua orang yang kerap dilecehkan oleh kubu Foke-Nara hanya karena berasal dari daerah itu.
Sebelum Nara, Foke juga menyerang sisi pribadi Jokowi terlebih dulu, dengan mengajukan pertanyaan bagaimana perasaan Jokowi sebagai orang Jawa, tempo hari waktu menjadi Walikota Solo bilang, kepentingan warga Solo adalah yang paling utama. Ketika di acara debat di Polda Metro Jaya/Jak TV beberapa hari lalu bilang, kepentingan warga Jakarta adalah yang paling utama. “Konflik bathin apa yang ada pada diri anda? Meskipun saya bukan orang Jawa, saya tahu, bagi orang Jawa, soal roso itu sangat penting,” tanya Foke.
Jokowi menjawab bahwa persoalan tersebut adalah masalah aturan hukum yang ada. Soal demokrasi. Peraturan membolehkan dia untuk ke Jakarta, mencalonkan dirinya sebagai gubernur DKI Jakarta. Kalau undang-undang melarang, tentu dia tidak akan ke Jakarta untuk itu. Lagi pula, ini ‘kan juga masalah karier. Boleh saja untuk meningkatkan karier dia mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. “Masa harus di Solo terus, seumur hidup.”
(Bukankah warga Solo juga tidak ada yang mempermasalahkannya, bahkan mendukung pencalonan Jokowi itu? Kok yang terus mempermasalahkannya si Foke?)
Foke yang tidak puas dengan jawaban itu, menganggap Jokowi tidak menjawab pertanyaannya. Foke bilang, “Yang saya tanyakan bukan itu, Pak Djoko. Saya tidak tanya aturannya, yang saya tanyakan bagaimana perasaannya anda. Belum habis masa jabatan di Solo, kok sekarang mau jadi gubernur Jakarta?”
Beberapakali bolak-balik Foke berkata seperti itu. Tetapi dijawab dengan jawaban yang sama oleh Jokowi. Akhirnya, Foke berkata,, “Kesimpulan saya, pertanyan ini tidak dijawab. Jadi, saya serahkan kepada pemirsa saja.”
Foke rupanya tidak sadar, bahwa Jokowi sebenarnya tidak mau terpancing untuk menjawab hal-hal yang lebih bersifat pribadi, yang kurang substansial dengan maksud dan topik acara debat tersebut. Seharusnya bukan pertanyaan seperti itu yang diajukan, tetapi pertanyaan yang lebih fokus pada program.
Demkian juga yang disampaikan Jokowi seusai acara itu. Ketika menjawab pertanyaan wartawan. Jokowi menjawab, dalam debat seperti itu mestinya yang disampaikan program, bukan masalah perasaan. Tidak seharusnya memberikan pendidikan yang tak baik. Mestinya, yang ditanya itu program. Masak yang ditanya soal perasaan.” (Tribunnews.com, 16/09/2012)
*
Sebagai penutup, ketika Najwa Shihab dan Suryopratomo mengajukan pertanyan penutup kepada kedua cagub: “Hal positif apa yang anda lihat pada lawan kandidat anda?”
Foke yang mendapat giliran pertama, menjawab: “Paling tidak menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dilaksanakan, ..”
“Hal yang positif, Pak?” Sela Najwa Shihab.
“Ya, itu positif. Bagi saya, saya tidak bisa seperti itu. Mungkin saya juga perlu belajar pencitraan yang semakin baik. Terima kasih,” ujar Foke.
Giliran Jokowi menjawab pertanyaan yang sama, dia berkata, “Beliau ini kan sudah puluhan tahun di birokrasi Jakarta. Pernah menjadi Sekda, pernah menjadi Wakil Gubernur, pernah menjadi Gubernur. Dengan pengalamanya itu, seharusnya bisa langsung action, langsung memutuskan. Tidak dalam rencana, rencana dan rencana. Dan, tidak akan, akan ...”
“Positifnya apa, Pak?” Tanya Najwa Shihab lagi.
Seperti yang dijawab Foke, Jokowipun menjawab dengan mimik serius, “Ya, itu positif, itu positif ... Paling tidak, beliau sudah punya rencana, meskipun belum dikerjakan.”
Seluruh hadirin di studio, dan saya yakin seperti juga saya, seluruh pemirsa acara tersebut pun tertawa riuh. Jokowi pun tak bisa menahan tawanya, sehingga tertawa terpingkal-pingkal. Mungkin dia merasa lucu juga, berhasil membalas Foke dengan cara yang sama yang dipakai Foke.
Jokowi belum pernah menjadi gubernur DKI Jakarta, jadi mana mungkin dia bisa membuktikan bahwa dia bisa melaksanakan program-program yang dijanjikan itu? Jadi, seharusnya Foke tidak bisa bilang seperti itu. Bahwa Jokowi telah berjanji yang belum tentu bisa dilaksanakan. Bagaimana bisa dilaksanakan, jadi gubernur Jakarta saja belum pernah?
Sebaliknya, dengan Foke sendiri. Seperti yang dikatakan Jokowi itu, sudah puluhan tahun di birokrasi Jakarta. Sudah pernah menjadi Sekda, sudah pernah menjadi Wakil Gubernur, sudah pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta, kok masih belum bisa langsung action juga? Kok masih rencana, dan rencana saja, masih akan, dan akan terus?
Maka, di bel terakhir pun, lagi-lagi, jab Jokowi berhasil mendarat tepat di bagian “mematikan” dari Foke.
Tinggal, kita menunggu, pada 20 September 2012 nanti. Saat pertandingan dinyatakan berakhir, dan warga Jakarta memutuskan, siapakah yang paling layak memimpin mereka.
Bagi warga Jakarta yang ingin terjadi perubahan di kota/provinsinya, tentu saja akan mencoblos Jokowi-Ahok. Sedangkan, bagi mereka yang bukan warga Jakarta, tetapi sering datang ke Jakarta, dan ingin ikut menikmati Jakarta yang lebih baik, tentu saja seharusnya memberi dukungannya dengan cara lain kepada Jokowi-Ahok. Misalnya, dengan ide-ide dan kreatifitasnya melalui jaringan sosial di internet. Lewat kreatifitasnya itu disalurkan di Youtube, Twitter, Facebook, Mailing List, dan sebagainya. Termasuk melalui blog publik, seperti Kompasiana ini.
Jakarta adalah barometer dari Indonesia secara keseluruhan. Apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta ini, dipredeksikan yang bakal terjadi juga dalam skala nasional di Pemilu / Pilpres 2014. Saat mayoritas rakyat melawan status quo (yang korup).
Berikut cuplikan video dari Youtube yang saya bicarakan di artikel ini:
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H