[caption id="attachment_297731" align="aligncenter" width="419" caption="Menlu AS< John Terry (Sumber: www.truthrevolt.org)"][/caption]
Pemerintah China menganggap penting rekonsialiasi dua Korea. Menurut warta Xinhua pada Kamis (27/2/2014), China melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan kalau Negeri Tembok Raksasa mendukung rekonsiliasi itu, termasuk kerja sama kedua negara.
Demikian berita di Kompas.com.
China yang selama ini membekingi Korea Utara mungkin juga sudah capek selama 50 tahun ini terus membekingi Korea Utara dalam menghadapi konflik dengan Korea Selatan yang dibekingi Amerika Serikat (AS). Sementara China sendiri sibuk luar biasa mengatasi konflik wilayah laut negaranya sendiri dengan Jepang dan Philipina.
Kedua Korea juga sudah pasti sebenarnya capek “memelihara” konflik antarsaudara itu. Resminya memang perang Korea belumlah selesai. Perang yang terjadi pada 1950-1953 dihentikan dengan terjadinya genjatan senjata antarkedua negara, bukan dengan suatu perjanjian damai.
Pada dasarnya pasti kedua negara juga ingin berdamai, menjadi dua negara tetangga yang bersahabat, apalagi keduanya sebenarnya adalah “saudara kandung.” Perbedaan ideologilah yang sebenarnya memisah keduanya. Tetapi, perdamaian, bahkan persatuan kembali (unifikasi) kedua Korea bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Bisa saja sejarah Jerman Barat dan Jerman Timur, yang awalnya juga terpisah antara lain karena faktor ideologi, tetapi kemudian bisa bersatu kembali itu, suatu ketika terulang di Korea.
China sudah memberi “restu” dan mulai mendorong perdamaian dan rekonsiliasi antarkedua negara, tetapi bagaimanakah dengan AS? Apakah AS juga sesungguhnya sangat ingin kedua Korea melakukan rekonsiliasi, mendantangani perjanjian damai, membuka hubungan diplomatik antar kedua negara, menjadi dua negara bersaudara yang benar-benar rukun, bahkan suatu unifikasi juga ingin AS terjadi di Korea?
Saya lebih percaya dengan jawaban “AS tidak ingin semua itu terjadi.” Saya lebih percaya AS lebih senang terjadi konflik terus antarlkedua negara dipelihara. Sama halnya dengan negara Paman Sam itu pasti lebih suka konflik perbatasan wilayah laut di Laut China Selatan, yang terjadi antara China dengan Jepang (memperebutkan Kepulauan Senkaku – nama Jepang/Diaoyu – nama China , dan antara China dengan Philipina, tak terselesaikan. Demikian juga dengan adanya hubungan yang kurang baik antara China dan Korea Selatan dengan Jepang menyangkut sejarah masa lalu, yaitu protes keras yang terus dilancarkan China dan Korea Selatan setiap kali ada perdana menteri Jepang yang berziarah di Kuil Yasukini, yang dianggap China dan Korea Selatan, di sana terdapat kuburan tentara Jepang yang menjadi penjahat perang di masa pendudukan Jepang di negara mereka masing-masing.
Termasuk juga yang paling penting bagi AS adalah hubungan antara China Daratan (Republik Rakyat China) dengan Republik China di Taiwan, yang akhir-akhir ini terus menunjukkan hubungan yang semakin baik. AS tidak suka itu terjadi.
Pada 14 Februari 2014 RRC dan Taiwan telah membuat sejarah baru yang terbesar bagi keduanya dengan melakukan pertemuan tingkat tinggi di Nanjing, China, antara Menteri Urusan China Daratan Wang Yu-chi dengan rekan sejawatnya dari China Daratan Zhang Zhujun. Setelah 65 tahun yang lalu kedua belah pihak terlibat perang saudara yang mengakibatkan terpecahnya kedua negara menjadi Republik Rakyat China dan Republik China (Taiwan).
![139351738133541074](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/02/139351738133541074.jpg?t=o&v=770)
![1393518114315617212](https://assets.kompasiana.com/statics/files/2014/02/1393518114315617212.jpg?t=o&v=770)
Pertemuan itu kemudian dilanjutkan dengan pertemuan puncaknya, yang semakin mengarah ke arah semakin positif adalah terjadinya pertemuan antara Presiden RRC dengan Xi Jinping dengan Ketua Kehormatan Partai Nasionalis China (Kuomintang) Lien Chan yang berlangsung pada 18 Februari 2014. Pengamat masalah China yang juga kolumnis senior Harian Kompas, Rene’ L Pattiradjawane, menulis di Kompas Minggu, 23 Februari 2014, bahwa pertemuan tersebut merupakan cerminan adanya kecenderungan terjadinya unifikasi Tiongkok kelak benar-benar menjadi kenyataan.
Apakah AS juga akan senang kalau unifikasi Tiongkok antara RRC dengan Taiwan itu benar-benar terjadi? Yang berarti akan berpotensi besar membawa dampak semakin digdayanya RRC di Asia. Saya yakin jawabannya juga adalah “AS sangat tidak senang.” Bisa jadi, AS juga selama ini dan akan selalu berada di belakang, siap sedia membantu semaksimal mungkin kaum yang pro-kemerdekaan di Taiwan untuk melawan kaum/masyarakat di Taiwan yang menginginkan unifikasi.
AS pasti tidak senang kalau terjadi perdamaian “besar-besaran” dan unifikasi di Asia. AS pasti gusar jika terjadi perdamaian dan hubungan yang sangat baik antara China dengan Jepang dan Philipina, jika terjadi hubungan yang baik bahkan unifikasi antara Korea Selatan dengan Korea Utara, dan adanya jika terjadi unifikasi Tiongkok. Karena jika itu sampai terjadi, berarti AS dengan kekuatan militernya tidak dibutuhkan lagi di Asia. Korea Selatan, Jepang, dan Philipina akan dengan senang hati mempersilakan AS untuk angkat kaki dari pangkalan militernya di wilayah negara mereka masing-masing.
Alhasil jika negara-negara di Asia bersatu dalam sebuah “Asia Raya” berdasarkan semangat kesetaraan yang saling membutuhkan dan mendukung, maka hampir dapat dipastikan kekuatan AS sebagai negara adi daya akan berakhir. RRC (unifikasi dengan Taiwan), Jepang dan Korea (unifikasi Selatan dan Utara) akan bersatu menjadi suatu kekuatan yang sangat digdaya, yang akan membuat AS dan sekutu-sekutunya di Eropa pun segan dan gentar.
Untuk mencegah kengerian itu terjadi bagi AS dan sekutunya, maka konflik antar negara di Asia, khususnya, antara negara-negara terbesar di Asia, seperti yang saat ini sedang terjadi, yakni, antara China, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utra, akan selalu dipelihara AS. Demikian juga negara-negara di Asia lainnya, akan tetap dipelihara untuk tetap tergantung kepadanya, baik secara ekonomi, maupun militer.
Maka itu, pada 27 Februari 2014, kemarin, misalnya, di Washington, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dalam pidatonya mengatakan bahwa ada banyak iblis di Korea Utara. Oleh karena itu kita (di Asia) diharapkan untuk selalu waspada.
"Korea Utara adalah tempat paling tertutup dan mengerikan di bumi. Tidak diragukan lagi ada Iblis yang tinggal di sana, dan kita harus mewaspadainya," ujar Menlu Kerry, seperti dikutip AFP / au.news.yahoo.com, 27/02/2014.
Padahal dalam sejarah juga telah terbukti secara nyata bahwa iblis yang bukan di Korea Utara pernah dengan sangat kejam membunuh dua ratusan ribu orang di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, dengan bom atomnya, pada 1945.
Bandingkan dengan sikap China yang dengan sabar, tanpa pernah mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dan provokatif selama ini, terus berupaya terjadinya perdamaian dan rekonsiliasi antara kedua bersaudara Korea itu. Seperti yang dikutip di awal tulisan ini.
AS tidak bakal mau kehilangan pengaruhnya di Asia Pasifik melalui negara-negara sekutunya selama ini, yakni, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Philipina. Jika tidak ada lagi perseteruan di Asia Pasifik, diganti dengan rekonsiliasi, persatuan, dan unifikasi di antara negara-negara yang selama ini bersengketa itu, bukankah sama saja dengan AS akan kehilangan pengaruhnya di kawasan ini? Pertanyaannya, apakah AS rela jika itu terjadi?
Apakah AS rela jika terjadi unifikasi Tiongkok, yang artinya Taiwan tidak butuh lagi sekutunya yang bernama AS -- Namun demikian AS tidak bakal mampu untuk mencegah terjadinya unifikasi itu. Unifikasi atau tidak tergantung dari diplomasi kedua negara, terutama pengaruh China yang semakin lama semakin kuat-- . Apakah AS rela terjadinya unifikasi Korea, yang artinya Korea Selatan tidak butuh lagi sekutunya yang bernama AS. Demikian juga dengan Jepang dan Philipina, kalau Jepang, Philipina, dan China sudah berdamai sepenuhnya, misalnya telah tercapai kesepakatan yang terbaik tentang wilayah sengketa, hubungan diplomatik di antara mereka menjadi semakin sangat baik, bahkan terjadi pula perjanjian persekutuan, apakah pangkalan AS masih dibutuhkan di Jepang dan di Philipina?
Jika persatuan dan persaudaraan “Asia Raya” sampai terjadi, maka itu merupakan mimpi paling buruk dalam sejarah AS. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI