Ahok berjanji, jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materinya terhadap Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (mengenai wajib cuti petahana), sebagai petahana dia tidak akan cuti, dan tidak akan berkampanye sama sekali selama masa kampanye berlangsung di pilgub DKI Jakarta 2017.
Ahok akan lebih memilih fokus bekerja keras seperti biasa mengabdi kepada Provinsi DKI Jakarta yang dipimpinnya, apalagi di masa kampanye tersebut nanti bertepatan dengan pembahasan anggaran DKI Jakarat 2017. Ahok trauma berat bahwa jika tidak ia awasi sendiri, potensi besar permainan anggaran untuk menciptakan anggaran siluman akan berpotensi terjadi lagi.
Undang-Undang menentukan bahwa selama petahana gubernur cuti, maka ia akan digantikan oleh pejabat Eselon I dari Kemendagri.
Hal ini justru semakin mengerikan, karena ketika pelaksana tugas gubernur yang sama sekali tidak mendapat mandat langsung dari rakyat, yang secara instan, “sim salabim”, tak pernahteruji kemampuan dan integritasnya menjadi gubernur (plt) membahas RAPBD DKI 2017 bersama DPRD DKI Jakarta (yang sudah cukup lama sudah menahan air liurnya untuk bisa menikmati kembali anggaran siluman), padahal ia tak memahami seluk-beluk anggaran tersebut secara mendalam, dan tidak punya wewenang untuk mengambil keputusan strategis berkaitan dengan RAPBD DKI itu. Ia akan cenderung menjadi "Yes Man" di depan DPRD DKI.
Ahok tidak perlu kampanye, dan seharusnya kita juga tak perlu khawatir bahwa Ahok akan memanfaatkan fasilitas negara untuk melakukan kampanye terselubung, mengingat selama ini ia sudah menunjukkan integritasnya dan dedikasinya yang begitu tinggi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dan, juga bukankah ada Bawaslu yang akan selalu mengawasinya, sehingga jika ia melakukan pelanggaran (melakukan kampanye), sanksi berat menunggunya,termasuk didiskualisifikasikan dari pigub DKI 2017 (baca artikel saya: MK Seharusnya Menerima Permohonan Uji Materi dari Ahok)
Namun, seperti biasa, niat baik Ahok itu pun malah dicurigai dan diolok-olok oleh para pembencinya, termasuk yang di Kompasiana.
Beberapa pembenci Ahok di sini, mengolok-olok Ahok yang sudah menyatakan tekadnya untuk tidak berkampanye, dengan mengatakan Ahok takut berkampanye karena ia takut didemo dan dilempari batu lagi oleh massa.
Olok-olok ini merujuk pada kasus aksi unjuk rasa massa pada 23 Juni 2016, di Bandengan, Penjaringan, Jakarta Utara, saat Ahok meresmikan Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA) di wilayah tersebut.
Ketika itu memang ada unjuk rasa seratusan orang yang mengaku warga Penjaringan yang menolak kedatangan Ahok di kawasan tersebut, yang kemudian berlangsung anarkis, karena mereka menyerang polisi yang menghadang mereka mendekati lokasi acara di mana Ahok berada. Akibatnya dua orang anggota polisi mengalami cidera di kepalanya karena kena lemparan batu.
Apakah dengan kejadian tersebut lalu membuat Ahok ketakutan sebagaimana diolok-olok para pembencinya itu?