[caption id="attachment_338373" align="aligncenter" width="640" caption="Ahok dan megawati, di acara pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, di Istana Negara, Rabu, 19/11/2014 (Okezone.com/antara)"][/caption]
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok benar-benar adalah seorang driver sekaligus “si pembelah batu”.
Dua istilah tersebut; “driver” dan “pembelah batu” adalah istilah yang berasal dari Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen ternama dan pemilik Rumah Perubahan, yang terus bersemangat mendorong orang-orang Indonesia agar selalu termotivasi untuk menjadi sosok yang mandiri, berkreasi dan berinovasi tinggi, untuk melakukan melakukan perubahan-perubahan besar menuju kesuksesan-kesuksesan yang signifikan.
Istilah “driver” mengaju kepada sosok seseorang yang pada intinya mempunyai tiga prinsip yang selalu dijalankan secara otomatis dari dirinya sendiri, yaitu selalu:
-Berinisiatif: Bekerja tanda ada yang menyuruh. Berani mengambil langkah berisiko, responsif, dan cepat membaca gejala.
-Melayani: Orang yang berpikir tentang orang lain, mampu mendengar, mau memahami, peduli, dan berempati.
-Navigasi: Memiliki keterampilan membawa gerbong ke tujuan, tahu arah, mampu mengarahkan, memberi semangat, dan menyatukan tindakan. Memelihara “kendaraan” untuk mencapai tujuan.
Bangsa yang hebat adalah a driver nation. “Driver nation” sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut “driver”, yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan, dan pemimpin-pemimpinnya sadar bahwa ia mendapatkan mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan.
Jadi, ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive yourself), men-drive orang lain (drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). ...
Demikian yang ditulis Rhenald Kasali di bukunya yang berjudul Self Driving, Menjadi Driver atau Passenger? (Mizan, 2014) itu.
Ahok adalah sosok pimpinan yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas.
Sedangkan “si pembelah batu” adalah sebutan Rhenald yang khusus ditujukan kepada Ahok, ketika menghadiri acara Kick Andy, Metro TV, pada Jumat, 29 Agustus 2014.
Di penghujung acara talk show yang diberi judul “Mr. Governor” itu, Andy Noya meminta komentarnya mengenai gaya kepimpinan Jokowi dan Ahok – khususnya Ahok.
Rhenald berkomentar sebagai berikut:
“Keduanya ini adalah figur perubahan. Ketika semua orang ucapkan perubahan sebagai suatu slogan, mereka melaksanakannya. Dan, ketika mereka melaksanakannya, kita semua terkejut, sebetulnya, termasuk saya yang pernah mengritik – saya kira Ahok tahu itu. Saya katakan, Ahok jangan membelah batu. Kalau membelah batu itu ada serpihan.
Ibaratnya, kalau kita bicara di pintu air Pluit. Itu mati di situ. Mau dibuka pintunya di situ, tidak bisa, pilihannya ada dua. Dikasih minyak, sehingga ini bisa dibuka, atau dikampak sekalian, sehingga langsunglah terbuka di sana. Dan, Ahok mengambil cara, dengan membelah batu itu, dikampak. Semula kita semua terkejut, karena figurnya macam-macam. Ini memang perubahan asli seratus persen. Dari segi etnik, agama, yang tadi kita sudah bahas. Termasuk juga pemimpin yang tidak ada sembunyi-sembunyinya.
Awalnya, saya terkejut, tetapi karena dia konsisten seperti itu, saya langsung sadar, oh, ini genuine ini, ini bukan dibuat-buat. Ini sesuatu yang kita rindukan semua. Ini sesuatu yang kita cari selama ini.”
Demikian Rhenald Kasali tentang sosok kepimpinan seorang Ahok.
Keaslian karakter Ahok sebagai “driver” dan “si pembelah batu” itu terus berlanjut sampai sekarang. Seperti yang dikatakan Rhenald tersebut di atas, gebrakan-gebrakan yang dilakukan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta terus masih membuat banyak orang terkejut. Ia berani melakukan gebrakan-gebrakan yang menurutnya adalah benar dan demi kebaikan semua orang, dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta.
Ahok adalah seorang “driver” sejati yang telah berhasil men-drive dirinya sendiri, berusaha terus menjadi seorang yang mampu men-drive orang lain (PNS dan warga DKI Jakarta), untuk menuju Jakarta yang mampu men-drive provinsinya sendiri, yang pada akhirnya bermuara kepada bangsa Indonesia yang menjadi driver yang tangguh bagi bangsanya sendiri.
Salah satu contoh karakter driver yang dilakukan oleh Ahok adalah dalam menghadapi masalah pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta yang terkesan bertele-tele, apalagi ketika harus menghadapi politikus-politikus ambisius oportunis pragmatis di DPRD DKI Jakarta dari KMP, terutama sekali Muhammad Taufik dari Gerindra dan Haji Lulung dari PPP. Dua sosok yang sangat kelihatan ingin melengserkan Ahok secara paksa, untuk digantikan oleh mereka berdua.
Ketika pemilihan dan penentuan bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta itu masih terus kasak-kusuk, dengan bersiliwerannya nama-nama calon yang berasal dari PDIP dan Gerindra, dan diganggu terus oleh KMP, M Taufik dan Haji Lulung, Ahok langsung bertindak bak seorang “pembelah batu” dengan mengambil langkah terobosan yang sangat berani, yaitu memutuskan bakal calon wakilnya itu bukan dari kader politik manapun juga, termasuk Boy Sadikin dari PDIP. Padahal hubungan Ahok dengan PDIP, khususnya dengan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri sangat baik. Sedangkan PDIP sebenarnya sangat ingin Boy Sadikin-lah yang menjadi pendamping Ahok. Hal ini antara lain tercermin dari pernyataan Tjahjo Kumolo, mantan Sekjen PDIP, yang mengatakan bahwa PDIP bakal mengajukan Boy Sadikin untuk posisi tersebut.
Meskipun Tjahjo Kumolo sudah menyatakan demikian, tanpa sungkan Ahok dengan berani menyatakan putusannya menolak Boy Sadikin sebagai bakal calon pendampingnya di pemerintahan Pemprov DKI Jakarta. Dia mengatakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (Perppu No. 1 Tahun 2014), sebagai gubernur dialah yang paling berhak menentukan siapa pendampingnya, bukan Menteri Dalam Negeri. Menurut Ahok, pernyataan Tjahjo itu hanya merupakan pernyataan pribadinya.
Untuk mengatasi kesalahpahaman, memelihara komunikasi yang sehat, serta menghormati Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, Ahok langsung dengan berani menemui Megawati di rumahnya, di Jalan Teuku Umur, Menteng, Jakarta Pusat, khusus untuk mengutarakan kehendaknya itu.
Luar biasanya, langkah berani Ahok ini membuahkan hasil positif. Menurut Ahok, seperti yang ditulis Harian Jawa Pos, Jumat, 28/11/2014, dalam pertemuan itu, Megawati membantah telah mengajukan Boy Sadikin sebagai bakal calon wakil gubernur. Megawati juga dapat memahami alasan Ahok menolak Boy Sadikin, Bambang Dwi Hartono, dan Djarot Saiful Hidayat.
Kepada Megawati, Ahok juga menjelaskan dia membutuhkan figur yang berpengalaman di birokrasi Pemprov DKI Jakarta agar bisa langsung bekerja maksimal. Karena itu, kepada Megawati, Ahok menyampaikan bahwa Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUP2) Sarwo Handayani-lah yang paling pantas mengisi posisi wakil gubernur DKI Jakarta. Megawati, menurut Ahok, bisa memahami keputusan dan alasan-alasan yang dikemukakan itu.
“Bu Mega juga tidak ingin saya kerja setengah mati kayak dikawinkan paksa gitu. Kalian pasti juga tidak mau kan punya suami atau istri yang enggak cocok gitu, enggak naksir?” kata Ahok kepada para wartawan.
Pengalaman Sarwo Handayani di birokrasi memang tidak diragukan lagi. Dia menjadi kepala dinas sejak Gubernur Sutiyoso, kepala Bappeda di era Fauzi Bowo, dan di era Jokowi, dia menjadi tim TGUP2, tim delivery unit gubernur. Sedangkan karier Boy Sadikin paling mentok sebagai anggota DPRD DKI Jakarta.
Menurut Ahok, ia lebih memilih kriteria berdasarkan pengalaman seseorang di pemerintahan. Kriteria itu dinilainya lebih masuk akal. Ahok mengatakan, dengan pengalaman di pemerintahan, kredibilitas seseorang telah teruji. Ia pun mengutip pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln bahwa dibutuhkan kekuasaan untuk menguji karakter asli seseorang.
"Kalau kamu tidak pernah jadi pejabat, kamu bisa ngomong apa aja hebat. Tapi kalau kamu sudah jadi pejabat ketahuan korupsi atau enggak, KKN atau enggak. Semua kelihatan," ujar dia (Kompas.com).
Ahok juga mengatakan meskipun dia telah menemui Megawati untuk meminta persetujuannya terhadap keputusan yang telah diambilnya itu, yaitu memilih bakal calon wakilnya dari profesional internal Pemprov DKI, tidak dari kader parpol manapun juga, termasuk dari PDIP, namun keputusan akhirnya tetap berada di tangannya. Dengan kata lain, Ahok hendak menegaskan bahwa soal penggunaan haknya sebagai gubernur itu tidak bisa dipengaruhi oleh siapa pun juga, termasuk Megawati. Tindakannya menemui Megawati di rumahnya itu, hanyalah merupakan suatu tindakan sopan-santun politik, dan rasa hormatnya kepada Megawati. ***
Artikel terkait:
Boy Sadikin Tidak Cocok dengan Ahok
Boy Sadikin dan M Taufik-lah yang Harus Tahu Diri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H