Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Ada Bakrie di Balik Runtuhnya Jembatan Kukar

3 Desember 2011   17:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:52 7490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

[caption id="attachment_146370" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu baut klem yang patah di Jembatan Kukar yang runtuh"][/caption]

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan bahwa dari hasil penyelidikan awal diketahui bahwa penyebab runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara (Kukar) adalah rusaknya bagian koneksi kabel hanger dengan klem.

Berdasarkan pengamatan, ternyata sebagian besar pin klem yang berfungsi menyambung kabel utama denga hanger rusak. “Juga, ada beberapa lengan hanger yang patah dan pin lengan hanger putus geser. Tim teknis PU melihat, penyebabnya ada di sambungan (klem), “ ujar Djoko (Jawa Pos, 3 Desember 2011).

Dari mana, atau buatan pabrik manakah klem-klem tersebut?

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, Direktur Utama PT Hutama Karya Tri Widjayanto Joedosastro menjelaskan bahwa klem-klem yang dipakai di Jembatan Kukar tersebut berasal dari pabrik PT Bakrie Tosanjaya. Pabrik baja tersebut adalah salah satu anak perusahaan dari Grup Bakrie.

“Kerusakan Jembatan Kutai Kartanegara terjadi pada bagian koneksi kabel hanger dengan klem. Bagian koneksi dengan klem tersebut berasal dari pabrik Bakrie Tosanjaya,” katanya di Jakarta, 2 Desember 2011.

Di Metro TV, 2 Desember 2011, juga memberitakan pernyataan Dirut Hutama Karya ini.

Bahwa Dirut PT Hutama Karya tersebut mengaku, ada puluhan klem penyangga kabel utama dan kabel hanger yang dibeli dari PT Bakrie Tosan Jaya rusak sebelum waktunya. Kerusakan klem diyakini sebagai salah satu penyebab runtuhnya jembatan itu.

Menurut Tri, saat dibeli dar PT Bakrie Tosan Jaya, secara fisik klem itu terlihat sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan kontraktor. Dia mengaku tidak mengerti, kenapa klem yang seharusnya bisa digunakan puluhan tahun ke depan itu, tiba-tiba rusak.

Sedangkan dari pihak Bakrie, Head of Public Relations PT Bakrie & Brothers Tbk, Bayu Nimpuno, berjanji akan mempelajari informasi tersebut sebelum mengambil sikap.

Kalau benar-benar dapat dipastikan kerusakan bagian koneksi kabel hanger dengan klem itu dikarenakan kualitas produk yang tidak memenuhi standar keamanan tentu saja pihak Bakrie harus bertanggung jawab.

Tetapi karena ini di Indonesia, maka yang namanya “seharusnya, atau harus, bertanggung jawab”, dalam kenyataannya, kalau yang “diharuskan” itu adalah pihak yang mempunyai kekuatan (power) baik karena kekuatan uang, dan/atau kekuasaan, maka akan berubah menjadi “Tidak harus bertanggung jawab”.

Contoh kongkrit adalah dalam kasus Lumpur Lapindo. Kebetulan pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah dari pihak anak perusahaan Grup Bakrie juga , tetapi karena – ya, itu tadi – karena Bakrie punya kekuatan besar baik uang, maupun kekuasaan, maka faktanya adalah mereka tidak harus bertanggung jawab.Hal ini semakin lengkap dan menyenangkan mereka karena di saat bersamaan sampai sekarang punya Presiden yang lemah. Maka negara pun yang harus menerima beban tanggung jawab tersebut, dengan membebankan sebagian besar beban tanggung jawab tersebut kepada pihak pemerintah. Anggaran dari APBN pun terpaksa dipakai. Pemerintah pun pusing tujuh keliling membangun berbagai infrastruktur vital yang rusak diterjang lumpur panas Lapindo.

Informasi tentang klem kabel yang rusak sebagai salah satu penyebab runtuhnya Jembatan Kukar, dan bahwa bagian tersebut berasal dari pabrik anak perusahaan Grup Bakrie , ternyata tidak ada beritanya di Kompas. Kenapa begitu? Mudah-mudahan bukan karena ada unsur “Bakrie” di situ. Sebagaimana tempo hari ketika media massa lainnya menggunakan istilah “Lumpur Lapindo” dalam kasus-kasus lumpur panas yang menenggelamkan sebagai wilayah Kabupaten Sidorajo itu, Kompas malah terkesan menghindari istilah tersebut, dengan menggunakan istilahnya sendiri, “Lumpur Sidoarjo”. Yang diberi singkatan “Susi”. Ketika banyak yang protes, karena istilah tersebut, dianggap seolah-olah hendak memenimalisir tanggung jawab pihak Bakrie. Seolah-olah lumpur petaka itu tanggung jawabnya pada kabupaten Sidoarjo. Barulah Kompas menggunakan sebutan yang sama: “Lumpur Lapindo”. Karena munculnya lumpur panas dari perut bumi Porong, Sidoaro itu, terkait erat dengan tanggung jawab PT Lapindo Brantas (milik Grup Bakrie waktu itu)sebagai pelaksana pengeboran di lapangan.

Sekarang, seolah terulang kembali, dengan skala yang jauh lebih kecil,namun tidak bisa dipandang enteng ini: Runtuhnya Jembatan Kukar. Ternyata “Ada Bakrie di Balik Runtuhnya Jembatan Kukar tersebut”.

[caption id="attachment_146371" align="aligncenter" width="640" caption="Clamp hanger yang aslinya konek ke kabel seling baja, jatuh teronggok di trotoar jembatan. Pada saat diangkat, bobotnya lumayan berat.. tapi dari penampakan sepertinya bukan terbuat dari baja, alias besi biasa.. "][/caption]

Tapi, seandainya pun runtuhnya Jembatan Kukar penyebab utamanya, selain karena tidak pernah dilakukan perawatan untuk memenuhi standar keamanan, adalah karena kualitas bagian koneksi kabel hanger dengan klem itu di bawah standar buatan PT. Bakrie Tosanjaya itu, maka mampukah, atau beranikah pemerintah mendesak supaya mereka ikut bertanggung jawab? Karena mengingat bahwa ternyata sebenarnya baru selesai jembatan itu dibangun sudah timbul masalah di bagian ini.

Sangat diragukan. Kalau dalam kasus sangat besar, Lumpur Lapindo saja Penguasa SBY tidak berdaya di kaki Pengusaha Bakrie, apalagi dalam kasus yang jauh lebih kecil daripada itu, runtuhnya Jembatan Kukar ini. Apalagi “hanya” gara-gara klem. Lagi, apalagi hanya sebuah jembatan saja yang runtuh. Sedangkan di Porong, Sidoarjo mereka “sukses” menenggelamkan ratusan desa dan berbagai infrasruktur vital, termasuk jalan tol, dengan ribuan orang yang mendadak kehilangan rumah dan mata pencahariannya.

Sedangkan belasan orang yang tewas, termasuk satu keluarga yang terdiri dari sepasang orangtua bersama tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, karena runtuhnya jembatan itu, pasti tidak akan mampu menggugah perasaan baik penguasa, maupun pengusaha macam begini.

[caption id="attachment_146427" align="aligncenter" width="470" caption="Keluarga ini ditambah satu anak bungsunya yang tidak ada di foto ini, semuanya tewas. Korban runtuhnya Jembatan Kukar."][/caption]

Lihat saja, selain sejak awal proyek ternyata diabaikan perawatannya, dan diduga kuat terjadi praktik manipulasi dan korupsi di baliknya, setelah malapetaka itu terjadi pun, para penguasa itu bukannya bahu membahu mengatasi masalah, tetapi malah satu sama lain saling menyalahkan, lepas tangan.

Kompas, 30 November 2011 mencatat: Djoko Murjanto, Direktur Jenderal Bina Marga Kemneterian Pekerjaan Umum, mengatakan pada 28 November lalu, bahwa yang harus bertanggung jawab adalah Pemerintah Kabupaten Kartanegara. Katanya, “Pengawasan terhadap Jembatan Kartanegara bukan tugas Kemnetrian PU karena jembatan tersebut merupakan milik Kabupaten Kutai Kartanegara”.

Lanjur Djoko, “ Ada tanggung jawab kontraktor terhadap konstruksi dan pemeliharaan, di mana masa pemeiiharaan setelah konstruksi biasa 1 atau 2 tahun saja. Tapi, jaminan terhadap konstruksinya 10 tahun. Jadi, PT Hutama Karya masih diminta pertanggungjawabannya.”

Gubernur Kaltim, AwangFaroek Ishak: “Harus ada pihak bertanggung jawab terhadap runtuhnya jembatan itu. Jembatan jika diperbaiki seharusnya ditutup.”

Kalau tahu begitu, kenapa waktu jembatan itu sedang diperbaiki, tetapi tidak ditutup, Pak Gubernur ini tidak memberi peringatn seperti ini sejak awal?

Didi Ramyadi, Kepala Dinas PU Kabupaten Kutai Kartanegara: “Jembatan Kartanegara ambruk saat berusia 10 tahun. Usianya semestinya sampai 25 tahun.”

Ari Widiyantoro, Sekretaris Perusahaan PT Hutama Karya: “Kami sudah melaksanakan proyek dan sudah diserahterimakan, jadi seharusnya sudah tidak ada masalah. Tanggung jawab kami selesai setelah kontrak selesai”

[caption id="attachment_146424" align="alignleft" width="369" caption="Rita Widyasari (jpnn.com)"][/caption]

Irsal Kamaruddin, Presiden Direktur PT Bukaka Teknik Utama: “Dalam proyek pemeliharaan Jembatan Kartanegara terdapat permintaan penggantian dan pemeliharaan baut klem atas dan bawah jembatan. Bukaka hanya melakukan pengencangan baut sesuai dengan permintaan pemeliharaan dalam kontrak senilai lebih dari Rp 2 miliar.”

Sedangkan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari, di Jawa Pos, pun tak mau kalah dalam berkilah: Dia mengatakan bahwa soal perawatan Jembatan Kukar itu adalah tanggung jawab pemerintah pusat. “Saya tidak tahu-menahu mengenai itu ... Saya sendiri tidak pernah pegang yang namanya baut jembatan, dan sebagainya.” (jpnn.com, 2 Desember 2011).

Sebuah pernyataan yang sama sekali tidak menunjukkan mentalitas seorang pimpinan yang baik, sekaligus tidak menunjukkan adanya rasa empati dan simpatik terhadap korban.

Jadi, apa yang bisa kita harapkan dari mereka? ***

Sumber gambar klem/baut yang patah diambil dari:

http://www.kaskus.us/showpost.php?p=564893164&postcount=652

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun