Jumat malam (18/5/2018), di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, Surabaya, salah satu dari tiga gereja yang menjadi korban serangan teroris dengan bom bunuh diri, mengadakan acara jagongan (berbincang-bincang) dan doa bersama lintas iman bagi para korban dan keluarga korban bom di tiga gereja di Surabaya.
Menurut penjelasan dari Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Diponegoro, Daniel Thephilus Hage, acara tersebut bukan inisiatif GKI Diponegoro, melainkan justru inisiatif dari komunitas lintas agama di Surabaya. GKI Diponegoro tentu saja menyambutnya dengan penuh suka cita. Maka bersama dengan dengan Roemah Bhinneka dan Jaringan Gusdurian Surabaya diselenggarakanlah acara doa lintas iman pada Jumat malam tersebut.
Secara resmi undangan untuk sekitar 200 orang, tetapi yang datang jauh di atas itu, yakni, sesuai dengan data pada buku tamu, yang hadir ada 1.719 orang dari 102 organisasi kemasyarakatan lintas agama (Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Khong Fu Cu, Penghayat Kepercayaan), Banser NU, Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) pimpinan Gus Aan Anshori, FKUB, Komunitas Akademik, Perwakilan Media, Polri, TNI, dan lain-lain.
Maka ruang gereja yang tidak besar itu pun penuh sesak, mulai dari muda-mudi yang lesehan di lantai, sampai di dua balkon kiri dan kanan, dan tangga dua balkon tersebut.
Selain mendoakan korban dan keluarga korban serangan bom bunuh diri di tiga gereja itu, tujuan diadakan acara itu adalah untuk semakin memperat kerukunan antar umat beragama, terutama masyarakat kota Surabaya, Â dan menyerukan pesan kasih dan perdamaian.
Diharapkan pula dengan adanya acara doa lintas iman yang dihadiri oleh mereka dari berbagai latar belakang agama itu, bisa menghilangkan trauma pasca terjadinya serangan bom bunuh diri itu.
Di dalam kesaksiannya, seorang Penatua GKI Diponegoro, Yosua Poli, yang menyaksikan peristiwa bom bunuh diri oleh seorang ibu dan dua orang anak perempuannya yang mengenakan jubah (burqa) di halaman parkir GKI Diponegoro itu, ia melihat potongan-potongan tubuh yang berserakan di halaman parkir, ia membantu beberapa jemaat yang luka-luka, lalu melihat beberapa sepeda motor yang terkena percikan darah dan ada serpihan-serpihan daging manusia yang melekat di sana, dari situ ia mengaku sempat mengalami trauma yang cukup berat sehingga harus mengikuti trauma healing.
Di GKI Diponegoro sendiri tak ada korban jiwa selain para pelaku bom bunuh diri itu sendiri. Ada seorang sekuriti Gereja  dan beberapa umat yang mengalami luka-luka terkena serpihan bom, setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, mereka sudah kembali ke rumahnya masing-masing, kecuali sekuriti yang bernama Yesaya Bayang (40) itu, karena menderita luka-luka yang parah.
Pahlawan Gereja
Yesaya Bayang lah yang berlari mencegah seorang ibu dan dua orang anak perempuannya yang masih kecil dan mengenakan burqa hitam itu saat mereka melangkah cepat-cepat hendak memasuki Gereja.
Ketika melihat mereka yang berbusana tak biasa di lingkungan Gereja sambil membawa tas di tangannya itu terburu-buru menuju Gereja, Yesaya curiga dan menegur ibu itu, "Mau ke mana Bu?" Tetapi pertanyaan Yesaya itu tidak digubris, Ibu itu justru semakin cepat melangkah sampai setengah berlari membawa kedua anaknya menuju ke dalam Gereja.