Dari penjelasannya itu tampaknya Jonathan tidak merasa bersalah sedikitpun telah main hakim sendiri dengan menendang seorang bocah berusia 9 tahun itu. Baginya bocah laki-laki itu patut diberi ganjaran tendangan darinya itu, dengan entengnya dia berkata, "Saya langsung refleks nendang bocah itulah!."
Dari reklaman CCTV kita juga bisa melihat permainan ayunan bocah berbaju biru itu wajar-wajar saja, tidak ngawur, tidak terlalu tinggi sampai 90 derajat, sebagaimana ditutur Jonathan.
Jonathan mengaku berada di jarak sekitar 5 meter saat anaknya tersenggol ayunan, lalu refleks menendang bocah itu (sebagai balasannya). Bagaimana bisa suatu refleks terjadi saat seseorang berada di jarak sekitar 5 meter itu? Dari rekaman CCTV pun terlihat ada jedah sekitar 5 detik antara anaknya tersenggol ayunan dengan saat ia menendang bocah laki-laki itu dari belakang. Suatu refleks tidak mungkin mempunyai jarak dan jedah seperti itu.
Jika benar itu refleks, orang yang melakukannya sejatinya lalu merasa menyesal. Sedangan Jonathan jelas tidak merasa menyesal, bahkan ngotot perbuatannya menendang bocah itu sudah semestinya.
Dari kejadian ini, kelihatannya Jonathan adalah tipe seorang yang temperamental, Â yang sulit mengendalikan emosinya, pada seorang bocah berusia 9 tahun sekalipun. Apa yang dia lakukan itu jelas sudah termasuk pada kategori tindak pidana penganiayaan anak di bawah umur. Rasanya, hanya orang dewasa berjiwa pengecut saja yang bisa begitu tega dan enteng melakukan penganiayaan terhadap orang tak berdaya semacam seorang bocah berusia 9 tahun itu.
Tindak pidana penganiayaan, apalagi pada anak, bukan termasuk delik aduan, maka seharusnya pihak kepolisian dalam hal ini Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara proaktif memproses kasus tersebut.
Pihak Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pun diharapkan untuk tidak mendiamkan kasus ini, agar kasus-kasus serupa jangan sampai terulang lagi tanpa ada ganjaran hukuman apapun dari pelakunya.
Penyelesaian kasus penganiayaan anak tidak cukup hanya dilakukan secara kekeluargaan, karena jika diselesaikan begitu saja di antara para pihak, pelakunya berpotensi untuk mengulanginya di lain waktu, apalagi tidak ada perasaan bersalah dan menyesal darinya.
Pembiaran kasus itu berlalu tanpa penyelesaian hukum merupakan ancaman bagi masyarakat, khususnya bagi anak-anak di bawah umur yang setiap saat dapat saja dianiaya orang dewasa tanpa khawatir dihukum pidana, karena ada preseden peristiwa serupa cukup diselesaikan secara kekeluargaan. Â
Pasal 13 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 (Undang Undang Perlindungan Anak), menegaskan: setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;