Kasus 2 pendiri Teman Ahok, Amalia Ayuningtyas dan Richard Saerang, yang ditolak masuk Singapura, diinterogasi, dan kemudian dideportasi kembali ke Indonesia oleh Otoritas Imigrasi Singapura (Immigration & Checkpoints Authority of Singapore/ICA), karena dianggap hendak melakukan kegiatan politik di negera tersebut, sebenarnya bukan suatu kasus yang terlalu luar biasa.
Hukum di negara yang terkenal dengan tingkat kepastian hukum, ketegasan, dan kedisplinannya yang sangat tinggi itu melarang setiap aktifitas politik apapun oleh warganegara asing di negaranya. Apapun alasannya, Teman Ahok itu salah ketika hendak ke Singapura memenuhi undangan komunitas WNI di Singapura, dengan agenda acara yang mengandung unsur politik tersebut, di antaranya kegiatan pengumpulan KTP warga DKI yang mendukung Ahok, dan penjualan merchandise untuk pengumpulan dana.
Meskipun dikarenakan adanya peringatan dari pemerintah Singapura acara tersebut sempat diubah menjadi hanya merupakan Festival Bazaar Makanan khas Indonesia, tetapi tetap saja unsur politis yang sudah terlanjur meresap dan merebak tidak bisa disingkirkan begitu saja, pemerintah Singapura yang tidak toleran terhadap setiap pelanggaran hukum itu, tentu saja tidak mau mengambil risikonya.
Maka itulah imigrasi Singapura menetapkan Amalia dan Richard sebagai unwanted person, dan tak diperbolehkan masuk Singapura. Untuk mendapat informasi yang lebih detail, kedua aktivis Teman Ahok itu pun harus menjalani interogasi selama 3 jam.
Tidak lebih dari itu kasusnya. Buktinya setelah menjalani semua proses pemeriksaan imigrasi Singapura itu, Amalia dan Richard dilepas bebas di dalam Terminal. Mereka bahkan sempat diterapi singkat oleh pihak imigrasi setempat karena mengalami shock akibat peristiwa tersebut.
Acara Festival Makanan oleh komunitas WNI di Singapura itu pun diizinkan berjalan seperti biasa tanpa kegiatan lainnya.
Sesungguhnya, kasus ini adalah akibat dari terlalu bersemangatnya para anak muda itu dalam mendukung Ahok, baik itu dari komunitas WNI di Singapura, maupun Teman Ahok, tetapi tidak disertai dengan pengetahuan dan pengalaman politik yang cukup, dan ketidaktahuan mengenai hukum di Singapura. Kalau tahu, tentu mereka tidak melakukan tindakan bodoh dengan secara terang-terangan melanggar hukum Singapura itu.
Komunitas WNI di Singapura mengira persoalan selesai jika mereka mengubah acaranya, demikian juga dengan Teman Ahok (Amanah dan Richard), padahal dengan terlebih dahulu sudah ada niat melakukan kegiatan politik di sana, maka apa pun yang dilakukan kemudian, tidak akan mengubah keadaan, sikap dan tindakan pemerintah Singapura.
Oleh karena itu perubahan acara yang dilakukan oleh komunitas WNI di Singapura itu lebih tepat disebut dikarenakan ketidaktahuan mereka ketimbang menuduh mereka bermaksud menipu pemerintah Singapura, sebagaimana disebut oleh seorang penulis di Kompasiana, yang saya tanggapi artikelnya di tulisan ini
“Keluguan” politik Teman Ahok juga terlihat jelas ketika mereka dilanda kepanikan dan sempat mengalami spontanitas emosional begitu mendengar Amanda dan Richard ditahan oleh Otoritas Imigrasi Singapura itu, sampai-sampai sempat terlontar ancaman lewat akun Twitter-nya, akan mengerahkan massa ke Kedutaan Besar Singapura di Jakarta untuk melakukan protes.
Setelah kasus tersebut menjadi jelas duduk perkaranya, dan mereka bisa berpikiran tenang, rekan-rekan Amalia dan Richard pun menyadari kesalahan mereka, lalu menyatakan permintaan maafnya kepada pemerintah Singapura.