Sampai dengan sekitar setahun lalu, sungai-sungai di wilayah DKI Jakarta lebih berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah raksasa ketimbang sebagai saluran air ke laut, apalagi untuk dilayari. Sedangkan bantaran sungainya malah dijadikan tempat pemukiman liar, sampai penuh sesak, lalu, sungainya “direklamasi” supaya bisa menampung penghuni liarnya lebih banyak lagi. Mereka inilah penyumbang terbesar dari sampah-sampah yang dibuang ke sungai-sungai tersebut, yang membuat air sungai berwarna hitam dengan bau yang menusuk hidung.
Sungai pun menyempit, endapannya semakin tinggi, membuat kedalaman sungai pun berkurang sampai lebih dari 50-60 persen dari normalnya.
Maka itu, tak heran ketika hujan deras turun, “sungainya” pun berpindah ke daratan, ke jalan-jalan dan pemukiman-pemukiman DKI Jakarta, yang disebut banjir besar itu.
Kondisi seperti itu sudah berlangsung puluhan tahun, dari gubernur satu ke gubernur yang lain, tidak pernah serius ditangani sampai tuntas. Sehingga selalu saja menjadi problem besar DKI Jakarta, yang semakin lama semakin ruwet dan kompleks.
Sampai datanglah Ahok, Gubernur DKI Jakarta saat ini, melihat kondisi yang sudah puluhan tahun dipelihara itu, Ahok pun tidak tahan dan tidak bisa sabar lagi, untuk membenahinya. Tiada cara lain selain cara yang tegas cenderung keras, bahkan kasar, karena sejarah membuktikan bahwa cara-cara lemah lembut, toleran, mengulur-ulur waktu dengan seremonial-seremonial “mari duduk bersama membicarakan masalah ini” yang berkepanjangan, terbukti hanya mengembalikan masalah terus ke titik awal lagi, yang kemudian berkembang menjadi lebih kompleks daripada sebelumnya.
Maka, Ahok pun mulai melakukan penertiban terhadap pemukiman-pemukiman liar itu dengan caranya sendiri, yang terkenal tegas dan tanpa kompromi, mereka dipindahkan ke rumah-rumah susun yang sudah disediakan Pemprov DKI sebelumnya, lengkap dengan berbagai fasilitas hidup layak termasuk mebel lengkap, bis sekolah antar-jemput gratis, bis TransJakarta gratis, dan sebagainya.
Ahok tak ambil pusing dengan pihak-pihak yang bersuara keras memprotes kebijakan dan caranya menangani sungai-sungai dan pemukiman-pemukiman liar itu, karena Ahok yakin dia berada di jalur yang benar, punya dasar hukum yang kuat, sebaliknya dengan mereka yang menentangnya, termasuk berbagai LSM, aktivis, partai politik, politikus, maupun pengacara. yang sesungguhnya punya pamrih besar, hanya memanfaatkan rakyat miskin tergusur itu demi kepentingan mereka masing-masing.
Lalu, sungai-sungai itu pun dibenahi Ahok; kepala dinas kebersihan, wali kota, lurah, pun diberi tanggung jawab untuk melakukan pembenahan-pembenahan itu, membersihkan sungai dari sampah-sampah yang berton-ton banyaknya itu, mengembalikan kedalaman sungai sampai ke batas normal, memasang turap, membangun ruang terbuka hijau (RTH), dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), dan sebagainya. Wali kota, lurah, kepala dinas, yang mengabaikan tugas yang sudah dipercayakan kepadanya itu pasti akan ditindak tegas, bilaperlu dipecat Ahok. Maka itu tak ada yang berani main-main.
Dahulu, semua orang pesimis bahwa sungai-sungai di Jakarta, apalagi seperti Sungai Ciliwung yang merupakan sungai yang paling parah sampahnya itu akan bisa dibersihkan, apalagi diperindah.
Sungai-sungai di Jakarta bisa bebas sampah, airnya jernih, asri, indah dipandang mata? Itu hanyalah ada dalam mimpi warga Jakarta. Bahkan ada yang bilang, dia tidak berani mimpi seperti itu, karena itu hanya sebuah utopia, yang pasti tak mungkin terjadi.
Di sini saya sertakan link contoh dua artikel yang penulisnya pernah bermimpi seandainya sungai-sungai di Jakarta bisa sebersih, sejernih, seindah, dan seasri sungai-sungai di luar negeri, terutama yang dijadikan pembanding adalah Sungai Cheonggyecheon/Ogansugyo di Seoul, Korea Selatan.