Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Jangan Contohi Ahok!"

29 September 2015   09:57 Diperbarui: 29 September 2015   10:08 2954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 16 September 2015, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghimbau kepada seluruh kepala daerah untuk tidak mencontoh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang terus berkonflik dengan DPRD DKI Jakarta mengenai penggunaan anggaran dan program pembangunan daerah.

Menurut Mendagri, eksekutif dan legislatif harus bersinergi dalam rangka mengusung kerangka anggaran guna merealisasi program pembangunan daerah, bukannya malah terus berkonflik (Rimanews.com).


Saya merasa heran dengan pernyataan Mendagri ini, apakah ia tidak tahu kenapa Ahok berkonflik dengan legislatif selama ini? Bukankah puncak konflik itu terjadi justru ketika Ahok membongkar, dan berhasil mengagalkan anggaran siluman lebih dari Rp. 12 triliun yang hendak disusupi oleh DPRD DKI bekerja sama dengan sejumlah SKPD di RAPBD DKI 2015?

Keberhasilan Ahok menggagalkan penyusupan anggaran siluman di RAPBD DKI 2015 oleh DPRD DKI itu jelas merupakan suatu kerugian besar bagi mereka, karena sesungguhnya dari situlah sumber penghasilan terbesar yang mereka peroleh, yang selama ini, dari tahun-tahun sebelumnya, berlangsung lancar-lancar saja.

Sebaliknya pencoretan semua anggaran siluman itu oleh Ahok sangat menguntungkan rakyat DKI Jakarta pada khususnya, dan merupakan penyelamatan uang negara pada umumnya dari tindakan-tindakan yang diduga kuat merupakan upaya korupsi anggaran itu.

Selama ini, sudah merupakan suatu rahasia umum, dari tahun anggaran satu ke tahun anggaran berikutnya praktek anggaran siluman itu sudah merupakan suatu kelaziman, yang merupakan hasil kolaborasi yang baik, dan “bersinergi” dengan prinsip “TST” (‘tau sama tau’) antara eksekutif di DKI dengan legislatif DKI. Uang rakyat pun dirampok dengan sukses, aman sentosa, dan penuh kenikmatan.

Presiden Jokowi sendiri pun pernah mengakuinya. Dia bilang, dia tahu cara penyusupan anggaran di RAPBD yang disebutkan Ahok dengan istilah “anggaran siluman” itu, biasanya dikamuflasekan anggota legislatif dengan sebutan “pokir” (“pokok pikiran”) legislatif di RAPBD.

“Pokir” itu wujudnya adalah proyek-proyek siluman seperti pengadaan sejumlah UPS, dan peralatan olah raga sekolah-sekolah di RAPBD DKI 2015, yang kemudian dicoret semuanya oleh Ahok itu, yang membuat banyak anggota DPRD DKI itu meradang.

Akibatnya, tahun 2015 ini sejumlah anggota DPRD DKI pun hidupnya “merana” dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena tidak bisa menikmati penghasilan dari anggaran siluman itu. Maka, tak heran dendam membara selalu menyala-nyala di dalam dada mereka kepada Ahok. Konflik terbuka dengan Gubernur Ahok pun kerap terjadi, karena sikap Ahok yang tidak mau bertoleransi dan berkompromi dengan mereka untuk meloloskan anggaran siluman tersebut.

Diduga karena mengalami trauma dengan apa yang terjadi pada “perang” melawan Gubernur Ahok di RAPBD DKI 2015 itu, pada menjelang pembicaraan RAPBD DKI 2016, Wakil Ketua DPRD DKI dari Partai Gerindra Mohammad Taufik pun menyatakan keluhannya dengan gaya memelas mengenai gajinya sebagai pimpinan DPRD DKI yang dinilainya jauh dari cukup, meskipun sudah ditambah dengan berbagai macam tunjangan. Padahal ia yang sudah dua periode menjadi anggota DPRD DKI itu pasti lebih dari tahu sejak sebelum menjadi anggota Dewan, berapa penghasilan resmi (legal) sebenarnya dari anggota, maupun pimpinan DPR DKI Jakarta itu.

"Kuranglah orang gaji pokok cuma Rp 6 juta. Saya baru lihat tabungan di Bank DKI ya sebulan Rp 22 jutaan itu termasuk gaji sama tunjangan semuanya," ujar Taufik di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Senin (28/9/2015).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun